Jakarta (ANTARA) - Praktisi kanker paru dr. Sita L Andarini mengimbau para perokok aktif melakukan pemeriksaan tahunan sebagai bentuk pencegahan dan deteksi dini terjadinya panyakit kanker paru.

“Perokok aktif 14 kali lipat potensi terjadi kanker paru, sementara perokok pasif atau terpapar asap rokok empat kali lipat berpotensi terkena kanker,” jelas Sita di Jakarta, Rabu.

Upaya deteksi dini kanker paru wajib dilakukan pada mereka dengan usia menengah atau di atas 35 tahun, perokok aktif atau pasif atau memiliki risiko tinggi karena pajanan bahan kimia, polusi, riwayat kanker pada keluarga, riwayat penyakit fibrosis paru hingga bekas TB.

Kemudian memililiki gejala respirasi seperti batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada, pembengkakan di dada, suara serak dan berat badan turun yang tidak kunjung sembuh dengan pengobatan biasa. Selain itu, kewaspadaan pada penderita tersangka TB Paru dengan status bakteriologis negatif yang memiliki risiko kanker.

Sita menjelaskan upaya deteksi dini melalui pemeriksaan ke layanan primer dengan mendapatkan rujukan foto toraks dan CT-Scan toraks serta konsultasi ke dokter spesialis paru untuk mendapatkan diagnosis dan terapi kanker paru.

“Lebih dari 80 persen pasien yang datang sudah stadium 3, kita upayakan adalah pencegahan dengan deteksi dini,” harap Sita.

Di Indonesia pria perokok aktif berada di peringkat pertama penderita kanker paru, sementara wanita yang terpapar asap rokok atau perokok pasif berada di peringkat lima.

Sementara itu, Ketua Umum PDPI, dr Agus Dwi Susanto mengatakan satu dari lima kematian seluruh kanker disebabkan kanker paru. Faktor risiko terbesar terjadinya kanker paru adalah pajanan asap rokok.

Faktor risiko lain yakni tinggal atau bekerja di daerah yang terpapar bahan karsinogen (silika, pertambangan, bahan kimia, dan lainnya), polusi tinggi, radon dan riwayat penyakit paru fibrosis, serta pajanan radon.

“Pencegahan kanker paru melalui tindakan pengurangan faktor risiko penyebab kanker itu,” ujar Agus.

PDPI menghimbau pemerintah untuk peduli kanker paru, melalui sistem perundangan pengurangan pajanan tembakau dan upaya pengurangan polusi udara dan industri, serta upaya perlindungan pekerja yang terpapar karsinogen.

Pengobatan kanker paru di Indonesia telah maju dan setara dengan pedoman pengobatan internasional. Pemerintah telah memberikan perhatian yang sangat besar dengan tersedianya seluruh fasilitas diagnosis kanker paru dan pengobatan kanker paru melalui sistem jaminan kesehatan nasional yang terstandar.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah membuat Pedoman Penatalaksanaan Kanker Paru di Indonesia sejak 1995 dan saat ini Pedoman terbaru tahun 2019. Pengobatan dan pelayanan kanker paru, berupa pelayanan menyeluruh multidisiplin, baik pencegahan, dan terapi dan tatalaksana paliatif, misaI pengobatan nyeri dan gejala lain yang berkaitan dengan kanker paru.

Pengobatan kanker paru, tergantung kepada stadium, jenis dan kondisi pasien. Secara umum pengobatan yang ada adalah pembedahan, radioterapi, kemoterapi, targeted therapy dan imunoterapi, yang seluruhnya bisa dilakukan di Indonesia dan hampir keseluruhannya terjamin melalui sistem jaminan kesehatan nasional.

PDPI mengapresiasi pemerintah melalui pembiayaan sistem jaminan kesehatan nasional dalam diagnosis dan terapi kanker paru, dan menghimbau keberlanjutan serta ketersediaan fasilitas tersebut baik di Iayanan primer maupun rujukan.
Baca juga: PDPI ingatkan kesadaran masyarakat bahaya kanker paru
Baca juga: Risiko kanker paru-paru naik 25 persen pada perokok pasif


Pewarta: Fauzi
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019