"Doa ibu menyelamatkan saya," kata seorang korban selamat dari gempa bumi dan tsunami di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah dalam suatu program tayangan acara di salah satu televisi nasional.
Sebanyak dua korban gempa dan tsunami Palu memiliki jalan cerita yang nampaknya sama. Pertama, seorang korban selamat dari bencana gempa Palu bernama Suratno yang mendapatkan kesempatan sebagai salah satu di antara sejumlah narasumber tayangan acara di stasiun televisi nasional, Indonesia Lawyers Club (ILC) dan diwawancara langsung oleh salah satu pembawa acara terkemuka, Karni Ilyas.
Dalam perbincangan itu, Suratno berkesempatan menuturkan tentang beberapa jam sebelum kejadian nahas pada Jumat (28/9) petang di kota itu.
Ia bercerita bahwa secara tiba-tiba wajah ibunya terbayang dalam benaknya dan rasa kangen yang amat sangat kuat sehingga membawanya untuk menelepon ibunya yang berada di Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.
"Saya meminta agar ibu mendoakan saya," kata Suratno dengan suara terdengar serak itu.
Ternyata, kekuatan doa seorang ibu diyakini telah menyelamatkan ia dan keluarga dari terjangan bencana tsunami pascagempa dengan kekuatan 7,4 Skala Richter (SR) di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Sementara itu, nama korban selamat yang kedua adalah Rachmah yang tak lain adalah teman dekat saya, sesama almamater di SMP Negeri 4 dan SMA Negeri 5 Makassar, bahkan di Universitas Hasanuddin Makassar meski kami berbeda jurusan.
Selama dua hari sepulang dari Bali untuk meliput Konser Kebangsaan LPP RRI, saya mendapat pesan WA dari Surviyani, teman yang juga berstatus sebagai sealmamater dengan Rachmah dan saya.
"Sur, bagaimana kabar dari rumahnya Rachmah?" demikian pertanyaan itu aku peroleh dari dia.
Kujawab, "masih `lost contact` (hilang kontak)".
Esok harinya, Yani begitu sapaan akrab kami, mengirim pesan WA lagi, "Jadi ke rumahnya `ko` Rachmah kemarin di Maccini?".
Langsung aku jawab, "Ada ka di rumahnya sekarang," foto bersama mama dan adiknya Rachmah pun kukirim sebagai tanda bukti.
"Alhamdulillah," ujar Yani. Kabar bahagia itu pun selanjutnya aku kirim di grup Nu_Bio SMAN5.
Rasa syukur teman-teman grup WA, tak kalah dengan rasa syukur saya ketika mendengar penuturan dari mama Rachmah yang menceritakan secara kronologis percakapannya melalui telepon, berselang dua jam sebelum bencana alam berupa gempa dan tsunami itu mengguncang Kota Palu.
"Sekitar jam tiga sore saya ditelepon Rachmah. Katanya cuaca Palu sangat panas, mau ka sedikit istiharat di kantor, tidur di lantai," kata perempuan yang kukenal selalu berpenampilan sangat bersahaja itu, menirukan kalimat anaknya.
Dengan mata tampak berkaca-kaca dia menyebutkan bahwa pada akhir berkomunikasi melalui telepon itu Rachmah meminta didoakan. Permintaan itu diulang berkali-kali, sehingga membuat ibunya penasaran dan kemudian menanyakan tentang keadaan yang sebenarnya sedang dihadapi sang anak tersebut.
Akan tetapi, Rachmah hanya menjawab dengan logat Makassar, "Tidak ada ji apa-apa, doakan ma saja ma, doakan ka ma".
Setelah lewat pukul 17.00 Wita, tiba-tiba muncul "breaking news" di televisi dan memberitakan bahwa Kota Palu dan Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah dilanda bencana alam berupa gempa dan tsunami.
"`Ammoang lompoka` (berteriak histeris, red.) kodong, kubilang mana mi itu anakku sama cucu-cucuku," namun, adik Rachmah mengingatkan ibunya agar beristigfar dan terus berdoa saja agar semua keluarga di Palu beroleh selamat dari kejadian musibah tersebut.
Setelah tiga hari tidak bisa menelepon Rachmah karena sinyal di Palu mati total akibat bencana alam itu, kegundahan terus melanda keluarga yang tinggal di bilangan Maccini, Makassar, Sulawesi Selatan itu.
Syukurlah memasuki hari keempat pascagempa, secara tiba-tiba Rachmah menelepon dengan nomor telepon seluler yang lain karena mendapatkan pinjaman dari korban gempa lainnya.
Rasa syukur yang tak terhingga mendengar kabar bahwa Rachmah dengan suami dan tiga orang anaknya selamat. Mereka sedang mengungsi ke tempat yang lokasinya lebih tinggi di kawasan yang terkena bencana untuk menyelamatkan diri.
Tanpa banyak pertimbangan lagi, kakak Rachmah diminta ke lanud setempat untuk mendaftar sebagai calon penumpang pesawat Hercules, untuk diberangkatkan ke Palu guna mencari Rachmah dan keluarganya.
Dari dua penggalan cerita korban selamat ini, barangkali dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuatan doa ibu dapat menjadi tameng bagi anaknya, ketika akan tertimpa musibah.
Wajarlah jika dalam ajaran agama Islam disebutkan bahwa peran dan posisi ibu sebagai hal yang sangat penting, sehingga Rasulullah Muhammad SAW menekankan dengan tiga kali menyebut "ibumu" yang patut dihormati setelah itu "ayahmu".
Kini berbagai penggalan cerita duka dari Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tengah yang bertebaran akan menjadi kisah penutup menjelang akhir 2018. Semoga ke depan, tidak ada lagi cerita duka.
Sebanyak dua korban gempa dan tsunami Palu memiliki jalan cerita yang nampaknya sama. Pertama, seorang korban selamat dari bencana gempa Palu bernama Suratno yang mendapatkan kesempatan sebagai salah satu di antara sejumlah narasumber tayangan acara di stasiun televisi nasional, Indonesia Lawyers Club (ILC) dan diwawancara langsung oleh salah satu pembawa acara terkemuka, Karni Ilyas.
Dalam perbincangan itu, Suratno berkesempatan menuturkan tentang beberapa jam sebelum kejadian nahas pada Jumat (28/9) petang di kota itu.
Ia bercerita bahwa secara tiba-tiba wajah ibunya terbayang dalam benaknya dan rasa kangen yang amat sangat kuat sehingga membawanya untuk menelepon ibunya yang berada di Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.
"Saya meminta agar ibu mendoakan saya," kata Suratno dengan suara terdengar serak itu.
Ternyata, kekuatan doa seorang ibu diyakini telah menyelamatkan ia dan keluarga dari terjangan bencana tsunami pascagempa dengan kekuatan 7,4 Skala Richter (SR) di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Sementara itu, nama korban selamat yang kedua adalah Rachmah yang tak lain adalah teman dekat saya, sesama almamater di SMP Negeri 4 dan SMA Negeri 5 Makassar, bahkan di Universitas Hasanuddin Makassar meski kami berbeda jurusan.
Selama dua hari sepulang dari Bali untuk meliput Konser Kebangsaan LPP RRI, saya mendapat pesan WA dari Surviyani, teman yang juga berstatus sebagai sealmamater dengan Rachmah dan saya.
"Sur, bagaimana kabar dari rumahnya Rachmah?" demikian pertanyaan itu aku peroleh dari dia.
Kujawab, "masih `lost contact` (hilang kontak)".
Esok harinya, Yani begitu sapaan akrab kami, mengirim pesan WA lagi, "Jadi ke rumahnya `ko` Rachmah kemarin di Maccini?".
Langsung aku jawab, "Ada ka di rumahnya sekarang," foto bersama mama dan adiknya Rachmah pun kukirim sebagai tanda bukti.
"Alhamdulillah," ujar Yani. Kabar bahagia itu pun selanjutnya aku kirim di grup Nu_Bio SMAN5.
Rasa syukur teman-teman grup WA, tak kalah dengan rasa syukur saya ketika mendengar penuturan dari mama Rachmah yang menceritakan secara kronologis percakapannya melalui telepon, berselang dua jam sebelum bencana alam berupa gempa dan tsunami itu mengguncang Kota Palu.
"Sekitar jam tiga sore saya ditelepon Rachmah. Katanya cuaca Palu sangat panas, mau ka sedikit istiharat di kantor, tidur di lantai," kata perempuan yang kukenal selalu berpenampilan sangat bersahaja itu, menirukan kalimat anaknya.
Dengan mata tampak berkaca-kaca dia menyebutkan bahwa pada akhir berkomunikasi melalui telepon itu Rachmah meminta didoakan. Permintaan itu diulang berkali-kali, sehingga membuat ibunya penasaran dan kemudian menanyakan tentang keadaan yang sebenarnya sedang dihadapi sang anak tersebut.
Akan tetapi, Rachmah hanya menjawab dengan logat Makassar, "Tidak ada ji apa-apa, doakan ma saja ma, doakan ka ma".
Setelah lewat pukul 17.00 Wita, tiba-tiba muncul "breaking news" di televisi dan memberitakan bahwa Kota Palu dan Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah dilanda bencana alam berupa gempa dan tsunami.
"`Ammoang lompoka` (berteriak histeris, red.) kodong, kubilang mana mi itu anakku sama cucu-cucuku," namun, adik Rachmah mengingatkan ibunya agar beristigfar dan terus berdoa saja agar semua keluarga di Palu beroleh selamat dari kejadian musibah tersebut.
Setelah tiga hari tidak bisa menelepon Rachmah karena sinyal di Palu mati total akibat bencana alam itu, kegundahan terus melanda keluarga yang tinggal di bilangan Maccini, Makassar, Sulawesi Selatan itu.
Syukurlah memasuki hari keempat pascagempa, secara tiba-tiba Rachmah menelepon dengan nomor telepon seluler yang lain karena mendapatkan pinjaman dari korban gempa lainnya.
Rasa syukur yang tak terhingga mendengar kabar bahwa Rachmah dengan suami dan tiga orang anaknya selamat. Mereka sedang mengungsi ke tempat yang lokasinya lebih tinggi di kawasan yang terkena bencana untuk menyelamatkan diri.
Tanpa banyak pertimbangan lagi, kakak Rachmah diminta ke lanud setempat untuk mendaftar sebagai calon penumpang pesawat Hercules, untuk diberangkatkan ke Palu guna mencari Rachmah dan keluarganya.
Dari dua penggalan cerita korban selamat ini, barangkali dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuatan doa ibu dapat menjadi tameng bagi anaknya, ketika akan tertimpa musibah.
Wajarlah jika dalam ajaran agama Islam disebutkan bahwa peran dan posisi ibu sebagai hal yang sangat penting, sehingga Rasulullah Muhammad SAW menekankan dengan tiga kali menyebut "ibumu" yang patut dihormati setelah itu "ayahmu".
Kini berbagai penggalan cerita duka dari Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tengah yang bertebaran akan menjadi kisah penutup menjelang akhir 2018. Semoga ke depan, tidak ada lagi cerita duka.