Mamuju (Antaranews Sulsel) - Kawasan pusat perniagaan yang terletak di Kelurahan Boya dan Kelurahan Tanjung Batu, Kecamatan Banawa, yang menjadi ikon Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah sebagai kota tua, kini tengah dilanda duka setelah diterjang gempa dan tsunami pada Jumat (28/9) pukul 18. 02 WITA.

Kota yang dulunya disebut sebagai Kota Pelabuhan dan pernah diusulkan menjadi kawasan wisata kuliner itu, kini terlihat seperti kota mati yang menunjukkan betapa dahsyatnya gempa dan tsunami yang menyapu kawasan itu.

Hingga tiga hari pascagempa dan tsunami menerjang kawasan itu, tepatnya pada Senin (1/10) puing-puing bangunan masih terlihat berserakan di jalan.

"Sampai saat ini belum ada bantuan yang datang, begitupun dengan petugas yang membersihkan reruntuhan bangunan," kata Warga RT 3, Kelurahan Boya, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Ashar, ditemui saat mencari sisa-sisa barang yang masih bisa dipergunakan dibalik reruntuhan bangunan.

Ia bersama warga lainnya terus mengais serpihan-serpihan gedung yang luluh lantak diguncang gemba disusul terjangan tsunami yang menerobos dan merobek gedung-gedung berarsitektur Belanda itu.

"Sebelum gempa dan tsunami menerjang, tempat ini sangat ramai, sebab gudang dan ruko juga ada pelabuhan. Namun sekarang bapak-bapak lihat sendiri, bagaimana ganasnya gempa dan stunami merobek-robek bangunan hanya dalam beberapa menit saja," ujar Ashar.

Ia pun menceritakan kenangan pahit bagaimana warga di kawasan perniagaan di Kabupaten Donggala itu menghadapi maut ketika gempa berkekuatan 7,4 magnitude menggoyang daerah itu.

"Petang itu, kami bersiap-siap melaksanakan shalat Magrib. Namun, tiba-tiba terjadi gempa yang cukup kuat sehingga warga langsung berhamburan keluar rumah. Suasana semakin mencekam saat air laut bermuruh kemudian menerkam bangunan yang ada di sekitar sini," ucapnya.

"Kalau di kawasan ini, Alhamdulillah tidak ada warga yang meninggal, tetapi di Labuan Bajo banyak. Walaupun tidak ada yang meninggal tetapi rumah kami hancur sehingga kami terpaksa mengungsi di kawasan Pekuburan Cina," tutur Ashar.

Tak jauh berbeda dengan kisah pilu warga yang berada di Kompleks Pergudangan Pelabuhan Donggala juga dirundung duka yang sangat mendalam.

Ada sekitar 24 warga, umumnya perempuan dan anak-anak di kawasan itu sudah ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa dan 13 orang lainnya masih belum diketahui nasibnya.

"Saat terjadi gempa kemudian disusul tsunami, ada 37 warga saya, umumnya perempuan dan anak-anak dan hanya empat orang laki-laki yang menjadi korban. Mereka hilang saat tsunami datang dan menggulung rumah-rumah yang berada di samping gudang cengkeh, kopra dan coklat," kata Ketua RT. 3, RW.5, Kelurahan Boya, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Andi Gopal.

Ia melukiskan betapa dahsyatnya murka alam sehingga melumat bangunan yang ada di sekitar Pelabuhan Donggala itu.

"Kami tidak menyangka betapa dahsyatnya gempa dan tsunami yang terjadi saat itu. Cucu saya juga menjadi salah satu korban yang kami temukan meninggal," ujar Andi Gopal.

Kota tua Donggala pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda pada abad awal 20.

Setelah Belanda menguasai Sulawesi Tengah pada tahun 1905, Gubernur Jenderal W. Rooseboom di Batavia yang menetapkan perubahan pembagian administrasi di pulau Sulawesi.

Pelabuhan Donggala dulunya merupakan pelabuhan niaga dan penumpang sehingga masih banyak bangunan tua tersisa di kota ini.

Donggala telah dikenal sebagai pelabuhan laut yang hal itu disebut dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck milik Buya Hamka dan Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang menyebut nama Donggala sebagai tempat singgah para pelaut nusantara dan mancanegara.


Trauma

Gempa dan tsunami yang mengguncang Kabupaten Donggala, Kota Palu dan Sigi, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9) lalu, menyisakan duka yang menorehkan kenangan pahit yang sangat kelam.

Gempa yang kemudian disusul tsunami menyebabkan hampir seluruh infrastruktur terkoyak di Kabupaten Donggala.

Walaupun kerusakan tidak separah dibandingkan dengan Kota Palu, namun petaka di Jumat petang itu tetap mengoyak keceriaan warga yang berada di perbatasan Kabupaten Pasangkayu Provinsi Sulawesi Barat itu.

"Walaupun rumah saya tidak sampai ambruk dan hanya bagian dapur yang rusak, tetapi gempa dan tsunami itu membuat kami sangat ketakutan dan tidak berani tidur di rumah. Apalagi, masih seringnya terjadi gempa susulan, membuat kami dan warga disini sangat trauma dan terpaksa mendirikan tenda di samping rumah," kata salah seorang warga Kecamatan Benawa Kabupaten Donggala, Wia.

Dampak gempa disertai tsunami tersebut, tidak hanya mengoyak kawasan Sulawesi Tengah, tetapi juga berdampak pada rusaknya setidaknya 800 rumah di wilayah Kabupaten Pasangkayu Provinsi Sulawesi Barat.

Di sepanjang perjalanan dari Kabupaten Pasangkayu Sulawesi Barat, sejumlah rumah warga terlihat "mencium" tanah akibat diguncang gempa yang tidak lama kemudian disusul tsunami.

Namun, kondisi rumah-rumah warga yang berada di sepanjang jalan antarprovinsi itu tidaklah separah di kawasan pesisir khususnya di sekitar Pelabuhan Donggala.

Walaupun masih banyak rumah warga yang berdiri kokoh, namun tiang-tiang listrik yang berada di sisi kanan terlihat roboh yang juga menjadi salah satu penyebab terputusnya suplai listrik di Kabupaten Pasangkayu.

Di sepanjang jalan, puluhan warga terlihat berdiri di pinggir jalan, menunggu dan meminta uluran tangan dari relawan yang mendistribusikan bantuan bagi korban gempa dan tsunami.

"Kami tidak menjarah atau merampas logistik yang akan dibawa ke Palu. Kami hanya meminta sumbangan karena sudah beberapa hari ini setelah gempa terjadi kami belum mendapatkan bantuan apa-apa padahal setiap hari banyak mobil pengangkut bantuan yang hanya melintas," ujar Wia.

Walaupun banyak rumah-rumah warga di Kecamatan Benawa Tengah Kabupaten Donggala yang terlihat masih utuh, namun guncangan gempa dan tsunami juga menghentakkan tanah-tanah di kawasan itu.

"Tidak ada yang bisa kami lakukan saat itu, hanya berlari keluar rumah menyelamatkan diri. Guncangan gempa terasa sangat kuat dan beberapa saat kemudian terjadi tsunami. Kami tidak berfikir lagi menyelamatkan harta benda yang penting bisa selamat," lanjut Wia.

"Rumah saya tidak terlalu parah tetapi kami sangat trauma dan tidak berani tinggal di rumah karena gempa susulan masih terus terjadi. Kami membangun tenda di samping rumah karena takut bermalam di rumah. Kami hanya mengandalkan pemberian dari relawan yang melintas karena stok kebutuhan sudah sangat terbatas. Yang paling penting kami butuhkan adalah air bersih, pakaian, perlengkapan bayi dan air minum," tambahnya.

Senada dengan Wia, warga Donggala lainnya yang terpaksa harus mengungsi di di halaman Kantor Pengrajin Tenun Donggala, Kecamatan Benawa Tengah juga mengaku sangat trauma dengan bencana yang menerjang kawasan itu.

Ia bersama ratusan warga dari tiga desa yang mengungsi, yakni, Desa Limboro, Tiale dan Desa Mekar Baru Kecamatan Banawa Tengah harus tidur di alam terbuka bersama puluhan anak-anak pascagempa dan tsunami.

"Kami sangat membutuhkan selimut, makanan, perlengkapan bayi dan air bersih. Kalau mau mandi, terpaksa kami harus ke sungai," kata Siti Khadijah.

Di tempat Khadijah mengungsi, puluhan tenda yang terbuat dari alat seadanya didirikan di kawasan kantor pengrajin tenun Donggala tersebut.

Selain orang tua, di tenda-tenda darurat itu juga terdapat bayi dan anak-anak. Mereka terlihat tidur dengan beralaskan alat seadanya.

Para warga yang mengungsi di tempat itu juga terpaksa berdiri di sepanjang jalan poros yang menghubungkan Kota Palu Sulteng dengan Pasangkayu Sulbar untuk meminta bantuan setiap pengendara.

Bahkan, saat wartawan mendatangi tenda-tenda mereka, para warga tersebut langsung berteriak meminta bantuan.

"Bantuannya, Pak. Tolong perhatikan juga kami disini karena kami juga sangat membutuhkan bantuan," teriak warga di setiap tenda.

Di kawasan ini merupakan salah satu jalur distribusi logistik yang kerap terjadi perampasan oleh warga akibat berebut berbagai kebutuhan yang dibawa oleh para relawan dari berbagai daerah.


Merangkai Harapan

Gempa berkekuatan 7,4 magnitudo kemudian disusul tsunami yang menerjang wilayah Palu, Donggala dan Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, telah mengundang rasa kemanusiaan jutaan orang, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga dari berbagai belahan bumi lainnya.

Duka yang dialami warga Sulawesi Tengah membuat jutaan orang terenyuh yang tidak sekedar menyampaikan kata-kata simpati tetapi langsung menyumbangkan berbagai daya dan upaya, termasuk datang langsung ke lokasi bencana untuk membantu para korban.

Walaupun sempat dilanda "kegundahan" akibat sebagian korban belum mendapatkan bantuan, namun secara berangsur, luka dan duka warga korban benca di Palu, Donggala dan Sigi perlahan terobati.

"Situasi keamanan di Kota Palu dan sekitarnya saat ini sudah relatif sangat aman. Hanya di media saja banyak sekali yang beritanya tentang penjarahan. Itu mungkin terjadi pada hari pertama dan kedua hingga ketiga karena memang saat itu infrastruturnya belum pulih," kata Kapolri Tito Karnavian saat berkunjung di Mamuju Provinsi Sulawesi Barat, Kamis lalu.

Penanganan gempa dan tsunami di Palu dengan penanganan gempa yang terjadi Lombok Nusa Tenggara Barat, kata Tito Karnavian, berbeda.

"Problemnya itu tadi, akses disana beda dengan Lombok. Di Lombok itu terdapat dua bandara dan tidak terdampak, pelabuhan tidak terdampak jalur logistik juga sangat cepat bisa dari Denpasar Bali dan Surabaya Jawa Timur. Jalan-jalan di sepanjang Lombok juga semua bagus," tuturnya.

"Kalau ini kan tidak, bandaranya cuma satu dan terdampak sehingga pesawat besar sekelas Boeing 800 dan 900 tidak bisa masuk, kemudian jalur darat juga sempat ada gangguan seperti longsor dan lain-lain," terang Tito Karnavian.

Kapolri menyatakan, telah meminta Kapolda Sulbar untuk mengamankan jalur dari Pasangkayu Provinsi Sulbar menuju Donggala.

"Penanganan korban gempa dan tsunami di Donggala juga sudah dilakukan sehingga masyarakat tidak lagi menghambat jalur pasokan dari Donggala ke Palu," kata Tito Karnavian.

"Nanti pak Kapolda juga akan mengirimkan pasukan bersama ibu-ibu Bhayangkari untuk menstimulasi ekonomi dengan memberikan bantuan kepada masyarakat. Kalau logistik masyarakat cukup listrik hidup, otomatis pelaku ekonomi semua akan bergerak dan terpenting jaminan keamanan terjamin maka proses rekonstruksi di Sulteng pascabencana akan cepat selesai," kata Tito Karnavian.

Optimisme Kapol dan seluruh masyarakat Indonesia tentu juga menjadi harapan bagi warga Sulteng agar dapat bangkit dari duka yang menggelayut pasca gempa dan tsunami memporak-porandakan kawasan itu.

Sencuil senyum keceriaan anak-anak korban gempa yang berada di pengungsian menjadi pengobat lara di tengah duka yang masih menyelimuti orang tua dan kerabat mereka.

Semangat untuk bangkit warga Palu, Donggala dan Sigi, umumnya Sulawesi Tengah tetap harus ditopang dan didukung oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia.

Pewarta : Amirullah
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024