Makassar (ANTARA News) - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan meminta bantuan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung memburu daftar pencarian orang (DPO) Soedirjo Aliman alias Jen Tang, tersangka dugaan korupsi penyewaan lahan negara.

"Khusus untuk kasus Jen Tang kita sudah berkoordinasi dengan Kejagung serta KPK. Untuk Jen Tang selanjutnya akan diincar oleh KPK," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Tarmizi di Makassar, Jumat.

Ia mengatakan untuk beberapa tersangka, terdakwa maupun terpidana yang menjadi buronan DPO itu hanya dikoordinasikan dengan semua pemangku kepentingan, terkecuali dengan KPK.

Tarmizi mengatakan untuk DPO yang memang sulit dilacak keberadaannya itu akan dimintakan bantuan ke KPK karena alat pelacak dan penyadap milik KPK jauh lebih bagus dibandingkan dengan instansi lainnya.

"Kita di kejaksaan itu punya alat canggih dan itu ada di Kejagung. Tapi alat pelacak milik KPK jauh lebih bagus dan prosesnya juga berbeda tanpa harus izin dari pengadilan," katanya.

Dia menuturkan berbagai cara telah dilakukan oleh pihaknya untuk bisa menghadirkan Jen Tang di kejati, mulai dari cara persuasif ke keluarganya hingga menetapkannya sebagai DPO juga tidak dihiraukannya.

Tarmizi mengatakan proses hukum dari Jen Tang belum sepenuhnya betul karena yang menetapkan benar dan salahnya seseorang harus melalui peradilan.

Sedangkan Jen Tang yang sejak dari awal ditetapkan tersangka tidak lagi pernah muncul dan bahkan jejaknya juga sudah tidak diketahui oleh pihak kejaksaan maupun kepolisian.

"Ini adalah tahapan-tahapan yang telah kami ambil dari mulai cara persuasif ke keluarga hingga penetapan DPO. Biarkan KPK saja yang bantu kita melacaknya, semoga ada kabar dan diketahui keberadaannya," terangnya.

Sebelumnya, Jen Tang dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara kepada PT Pembangunan Perumahan (PP) pada proyek Makassar New Port di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.

Jen Tang menjadi tersangka dengan pasal dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.

Pewarta : Muh. Hasanuddin
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024