Beijing (Antaranews Sulsel) - Suku Uighur sebagai etnis mayoritas beragama Islam di Daerah Otonomi Xinjiang kembali menyita perhatian dunia internasional.

Bukan gencarnya pembangunan dan pesatnya pertumbuhan ekonomi di wilayah barat China itu yang menjadi pusat perhatian, melainkan isu lama yang dibuka kembali.

Sebagai wilayah setingkat provinsi di China, Xinjiang tidak hanya dinamis dalam segi pembangunan fisik dan nonfisik, melainkan juga strategis karena berbatasan langsung dengan Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kirgizstan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan.

Pesatnya pembangunan infrastruktur sejalan dengan Prakarsa Satu Sabuk, Satu Jalan (One Belt, One Road) karena Xinjiang merupakan pangkalan utama (hub) komoditas ekspor China menuju Eropa hingga Afrika melalui jaringan kereta api. Pada 2015 saja, nilai ekspor dari Xinjiang telah mencapai angka 19,3 miliar Dolar AS.

Selain itu, Xinjiang yang dihuni 21,8 juta jiwa yang 45,84 persen penduduknya beretnis Uighur menyimpan kekayaan sumber daya alam berupa gas alam, objek-objek wisata yang sangat menarik, dan sumber daya manusia berdaya saing.

Pada 2017, GDP Xinjiang mencapai 1,09 triliun RMB, meningkat dibandingkan dengan 2015 yang hanya 932,4 miliar RMB. Penghasilan minimun masyarakat setempat juga naik signifikan dari 3.000 RMB menjadi 4.000 RMB per bulan seiring dengan makin banyaknya kawasan-kawasan ekonomi baru, terutama di Urumqi sebagai Ibu Kota Xinjiang.

Walaupun memiliki catatan "mentereng" di bidang perekonomian, Xinjiang memiliki catatan kelam sebagai wilayah yang pernah menjadi sasaran terorisme, separatisme, dan radikalisme.

Bahkan suku Uighur, yang memiliki bahasa tersendiri dan postur fisik yang berbeda dengan orang-orang dari suku Han sebagai etnis mayoritas di China, juga mengalami pasang-surut sejak masa pra-kekaisaran China hingga pascaperang sipil yang dimenangkan Partai Komunis.

Saat ini di tengah perang dagang yang melibatkan dua pemimpin ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, isu Uighur kembali mengemuka. Lalu timbul pertanyaan, apakah kemunculan kembali isu Uighur tersebut sebagai alat tawar bagi AS dan sekutunya untuk menekan China yang mulai menunjukkan gejala superioritasnya dalam perdagangan global?  

Sampai saat ini belum ada jawaban yang pasti atas pertanyaan tersebut. Namun tidak ada salahnya jika merunut beragam peristiwa yang melatari isu tersebut selama periode 2017-2018.

Pada 10 September 2017, Human Rights Watch, merilis laporan yang mendesak pemerintah China segera membebaskan orang-orang yang ditahan di pusat pendidikan politik di Xinjiang yang bertentangan dengan hukum.

Organisasi independen perlindungan Hak Asasi Manusia yang bermarkas di New York, AS, itu juga meminta pemerintah China menghapuskan sistem pendidikan tersebut.

Disusul kemudian oleh Senator Marco Rubio dan anggota legislatif Chris Smith mengirimkan surat instruksi pada 3 April 2018 terhadap Duta Besar AS untuk China Terry Branstad untuk melakukan investigasi atas laporan penahanan massal etnis Uighur di barak pendidikan politik yang mereka sebut "political re-education camps" itu.

  Sebelum itu ada pembebasan warga Kazakhstan yang migrasi dari Xinjiang Kayrat Samarkand dari barak di Xinjiang itu pada 15 Februari 2018 bertepatan dengan Menteri Luar Negeri Kazakhstan Kairat Abdrakhmanov mengirimkan nota diplomatik kepada Kemenlu China pada 15 Februari 2018.

Samarkand dan beberapa warga Xinjiang yang melarikan diri ke beberapa negara di Amerika dan Eropa, memberikan testimoni mengenai penahanan di barak-barak di Wilayah Otonomi Xinjiang itu.

Lalu beberapa pakar HAM PBB pada 10 Agustus 2018 memperingatkan China atas dasar laporan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa pemerintah China telah menahan lebih dari satu juta etnis Uighur di Xinjiang.

Laporan demi laporan atas indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh China terus berkembang di Barat selama periode Januari-September 2018, termasuk desakan anggota Kongres yang dimotori oleh Marco Rubio agar AS memberikan sanksi keras terhadap para pejabat China yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Xinjiang dan pembahasan di sidang parlemen Inggris.

China pun bereaksi atas tuduhan-tuduhan Barat yang dianggapnya tidak berdasarkan fakta tersebut. Delagasi China dalam pertemuan PBB di Jenewa, Swiss, pada 13 Agustus 2018 mengklaim bahwa masyarakat Xinjiang, termasuk etnis Uighur, telah mendapatkan persamaan hak dan kebebasan seperti warga daratan Tiongkok lainnya.

Delegasi itu menyebutkan bahwa beberapa orang yang diidentifikasi sebagai ekstremis agama dan golongan separatis ditempatkan di pusat pendidikan kejuruan dan pelatihan keterampilan sebagai bagian dari program rehabilitasi dan deradikalisasi.

Sehari kemudian, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Lu Kang menuding kelompok-kelompok anti-China sedang membuat tuduhan palsu untuk tujuan politis.

Kemudian pada 11 September 2018, China meminta Ketua Komisi HAM PBB Michelle Bachelet menghormati kedaulatan negaranya setelah dia mengizinkan para pemantau HAM memonitor situasi di Xinjiang.

China bersikeras bahwa tindakan yang dilakukan di Xinjiang tersebut tidak ada yang melanggar HAM. Justru Beijing tidak ingin Xinjiang seperti Suriah dan Libia.

Oleh karena mayoritas etnis Uighur beragama Islam, maka isu tersebut bergulir ke berbagai negara di luar Amerika dan Eropa, termasuk ke Indonesia yang  sebagian kelompok menganggapnya sebagai isu berlatar belakang agama.

Pewarta : M. Irfan Ilmie
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024