Hong Kong (ANTARA) - Kericuhan di lapangan  Victoria Park, Hong Kong, saat Pemilu Presiden RI pada 2014 belum  beranjak dari ingatan saat pencoblosan untuk Pemilu 2019 segera dilaksanakan.

Jejak digital peristiwa yang terjadi pada  Minggu, 6 Juli 2014, itu mudah ditemukan di media-media sosial, terutama Youtube, dan media berita daring lainnya.

Kekisruhan yang dipicu oleh kekecewaan ratusan warga negara Indonesia yang gagal mencoblos karena 16 tempat pemungutan suara (TPS) ditutup tepat pada pukul 17.00 waktu setempat (16.00 WIB) seiring dengan jam berakhirnya perizinan di Victoria Park itu menyisakan pelajaran yang sangat berharga.

"Hal penting yang saya lakukan adalah mengevaluasi apa yang terjadi pada 2014," kata Konsul Jenderal RI di Hong Kong, Tri Tharyat,  minggu pertama Maret. 

Ia cermati satu-persatu pokok persoalan yang menjadi pemicu terjadinya insiden yang tidak saja menjadi perhatian rakyat Indonesia, melainkan juga warga Hong Kong pada lima tahun silam itu.

"Hasil 'review' kami salah satunya (faktor) ketidaknyamanan kalau mereka harus mencoblos di tempat terbuka. Panaslah, hujanlah, dan faktor alam lainnya sangat memengaruhi kenyamanan (para pemilih)," ujarnya.


  Konjen RI di Hong Kong Tri Tharyat memberikan arahan dan sosialisasi Pemilu 2019 didampingi jajaran PPLN dan Panwaslu-LN. (M. Irfan Ilmie)
Dikumpulkanlah pihak-pihak terkait pemilu, termasuk mantan anggota Panitia Pemilu Luar Negeri (PPLN) dan Panitia Pengawas Pemilu Luar Negeri (Panwaslu-LN) Hong Kong yang mengetahui insiden lima tahun lalu itu untuk dimintai masukan atas penyelenggaraan ajang sejenis pada tahun ini.

Didapati kesimpulan bahwa Victoria Park yang merupakan tempat favorit bagi para WNI di Hong Kong dalam mengisi libur akhir pekan sudah tidak kondusif lagi dijadikan sarana penghimpunan aspirasi WNI dalam hajatan politik lima tahunan itu.

KJRI bersama-sama PPLN dan Panwaslu-LN bersepakat bahwa pemungutan suara  yang dilaksanakan 14 April  harus digelar di tempat tertutup.

Queen Elizabeth Stadium, fasilitas olahraga tertutup berkapasitas 3.500 tempat duduk di kawasan Wanchai, menjadi pilihan utama penyelenggaraan pemilu serentak tahun ini. Dua gedung lainnya di kawasan Kowloon dan New Territories juga dipilih.

Ketiga kawasan itu memang menjadi tempat konsentrasi para tenaga kerja Indonesia di Hong Kong sehingga menjadi pertimbangan utama dalam memudahkan mereka menggunakan hak konstitusional sebagai WNI dalam memilih calon pemimpin bangsa untuk lima tahun ke depan.

Di ketiga wilayah itulah nantinya akan dibangun 32 unit TPS dalam memaksimalkan tingkat partisipasi pemilih di Hong Kong yang pada pemilu tahun ini Daftar Pemilih Tetap-nya (DPT) mencapai 180.232 orang.

Dari segi jumlah TPS dan DPT, tahun ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan lima tahun lalu yang hanya 16 unit TPS dan sekitar 140.000-an orang sebagai DPT.

Ancaman sanksi

Melonjaknya jumlah TPS dan DPT itu menjadikan KJRI dan PPLN Hong Kong terpacu untuk memaksimalkan tingkat partisipasi pemilih.

Pada Pemilu 2014, tingkat partisipasi pemilih Pilpres sekitar 16 persen, sedangkan pemilu legislatifnya hanya menghasilkan 14 persen.

Pada Pemilu 2019, PPLN dibantu KJRI mematok target partisipasi pemilih di atas 50 persen. Pertimbangannya, penyebaran TPS yang lebih merata, termasuk satu TPS di Makau, dan jumlah pemilih yang makin banyak.  

Jangan dilupakan juga, pemilu tahun ini digelar secara bersamaan, memilih capres-cawapres dan caleg dari Daerah Pemilihan DKI Jakarta II.

Persiapan pemilu di negeri orang itu  tergolong mulus karena adanya dukungan penuh dari Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam Cheng Yuet-ngor.

"Masalah perizinan dan bantuan fasilitas dari pemerintah sini jadi isu penting dan saya masukkan dalam 'pointers' pembicaraann Bapak Presiden Joko Widodo dan 'Chief Executive' Hong Kong dalam kunjungannya ke Jakarta pada 27 April tahun lalu," ujar Tri.

Penyediaan sarana dan prasarana termasuk perpanjangan izin sewa gedung hingga 12 jam pada 14 April sudah bukan masalah lagi setelah Madam Carrie memberikan instruksi kepada pengelola gedung berikut petugas pengamanannya.

Sementara untuk penghitungan surat suara pada 17 April tidak perlu sewa gedung karena Peraturan Komisi Pemilihan Umum RI Nomor 3 Tahun 2018 memerintahkan kegiatan tersebut dilakukan di kantor perwakilan RI di luar negeri.

Pada bulan Juni 2018, izin resmi dari pemerintah pusat Republik Rakyat China di Beijing mengenai kegiatan politik WNI di Hong Kong sudah turun.

"Walaupun izin prinsip sudah disampaikan kepada Pak Dubes (Duta Besar RI untuk China merangkap Mongolia Djauhari Oratmangun) waktu beliau 'courtesy call' tapi legalitas tetap harus kita pegang karena izin itu memudahkan kami untuk bergerak dalam mempesiapkan pemilu di Hong Kong," kata Tri.

Kini, pencoblosan tinggal menghitung hari. Logistik pemilu dari Jakarta yang bobotnya mencapai 7,2 ton dikemas dalam 362 kantong diplomatik telah disimpan di tempat yang aman di KJRI Hong Kong.

Konjen juga telah mengeluarkan surat edaran kepada para majikan dan agen penyaluran TKI dalam tiga bahasa, Kanton, Inggris, dan Indonesia.

Isi dari surat edaran itu adalah pemberian izin berikut paspor para TKI agar bisa memberikan hak suaranya di TPS atau melalui surat suara yang dikirimkan via pos.

Meskipun tidak diatur secara khusus dalam regulasi ketenagakerjaan asing di Hong Kong, sudah lazim para majikan atau agen menahan paspor para TKI.

Paspor tersebut menjadi salah satu prasyarat bagi WNI di luar negeri yang ingin mendapatkan surat suara pada Pemilu 2019.

Namun dengan adanya surat edaran Konjen, paling tidak para TKI tidak takut lagi meminta paspor kepada majikan atau agen.

"Kalau mereka sudah minta tapi tidak dikasih, agen baru kita beri sanksi," ancam Tri yang rela bertahan di Hong Kong demi suksesnya penyelenggaraan pemilu, meskipun sudah dilantik sebagai Duta Besar RI untuk Kuwait oleh Presiden Jokowi di Istana Negara pada Januari lalu.  
 

Pewarta : M. Irfan Ilmie
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024