Makassar (ANTARA) - Sebanyak 500 relawan siap mengawal sekaligus memantau jalannya proses Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan berlangsung pada 17 April 2019. Ratusan pemantau pemilu ini didominasi dari kaum milenial yang masih duduk di bangku kuliah.
"Kami menyiapkan pemantau 500 orang untuk 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Ini program relawan, jadi kita sangat tergantung pada yang ingin dan berminat melakukan pemantauan secara sukarela, tanpa ada upah yang disiapkan," jelas Direktur Implementasi Program Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP), Salma Tadjang, di Makassar, Senin.
Ratusan pemantau sukarela ini berasal dari publik dengan latar belakang yang berbeda, mulai dari mahasiswa, fresh graduate (lulusan baru), tenaga pendidik hingga wiraswasta. Sebab pada perekrutannya terbuka untuk umum.
Pemantau sukarela paling banyak hadir di Makassar dengan total 135 orang, sementara jumlah di masing-masing kabupaten lainnya variatif, namun tetap dipastikan ada.
"Semua kabupaten di Sulsel pasti ada tetapi memang jumlahnya tidak sama. Kita sudah ada pemetaannya. Ternyata animo masyarakat dan kawan-kawan milenial tinggi mengawal pemilu dan ini perlu diapresiasi," ungkap Salma.
Bicara soal tugas pokok dan fungsi (tupoksi), kata Salma, begitu sederhana, merujuk pada UU 7 nomor 17, tugas pemantau hanya boleh mencatat dan tidak boleh menggangu proses. Hanya saja, jika ada hal-hal yang tidak sesuai di lapangan, bisa melaporkan ke pengawas atau saksi di lapangan.
"Kita harus membedakan tupoksi antara pengawas, pemantau dan saksi. Kalau pengawas bisa langsung menyelesaikan persoalan, sedangkan pemantau hanya mencatat dan melaporkan ke pihak yang punya kewenangan. Kita tidak boleh langsung mengeksekusi apalagi mengambil keputusan," papar Salma.
Oleh karena itu, sebelumnya telah dilakukan bimbingan teknis secara online oleh LSKP Sulawesi Selatan sebagai bekal pemantau memonitoring jalannya proses demokrasi yang digelar sekali lima tahun ini.
Agar lebih efektif, kordinasi digital dengan membuat grup pemantau di masing-masing kabupaten adalah salah satu strategi meningkatkan intensitas kordinasi jelang Pemilu 2019.
"Kita telah menyiapkan instrumen bersumber dari UU 7 itu, misalnya jam berapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibuka. Jadi terkait sistem operasional prosedur (SOP) pemungutan suara semuanya sudah dicatat," ungkapnya.
"Kita berharap 500 orang ini bisa mengawal proses sehingga hasilnya baik, sebab terkadang masih ada hal-hal yang bisa saja berpengaruh di lapangan dan akan berdampak pada hasil akhir demokrasi," katanya.
"Kami menyiapkan pemantau 500 orang untuk 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Ini program relawan, jadi kita sangat tergantung pada yang ingin dan berminat melakukan pemantauan secara sukarela, tanpa ada upah yang disiapkan," jelas Direktur Implementasi Program Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP), Salma Tadjang, di Makassar, Senin.
Ratusan pemantau sukarela ini berasal dari publik dengan latar belakang yang berbeda, mulai dari mahasiswa, fresh graduate (lulusan baru), tenaga pendidik hingga wiraswasta. Sebab pada perekrutannya terbuka untuk umum.
Pemantau sukarela paling banyak hadir di Makassar dengan total 135 orang, sementara jumlah di masing-masing kabupaten lainnya variatif, namun tetap dipastikan ada.
"Semua kabupaten di Sulsel pasti ada tetapi memang jumlahnya tidak sama. Kita sudah ada pemetaannya. Ternyata animo masyarakat dan kawan-kawan milenial tinggi mengawal pemilu dan ini perlu diapresiasi," ungkap Salma.
Bicara soal tugas pokok dan fungsi (tupoksi), kata Salma, begitu sederhana, merujuk pada UU 7 nomor 17, tugas pemantau hanya boleh mencatat dan tidak boleh menggangu proses. Hanya saja, jika ada hal-hal yang tidak sesuai di lapangan, bisa melaporkan ke pengawas atau saksi di lapangan.
"Kita harus membedakan tupoksi antara pengawas, pemantau dan saksi. Kalau pengawas bisa langsung menyelesaikan persoalan, sedangkan pemantau hanya mencatat dan melaporkan ke pihak yang punya kewenangan. Kita tidak boleh langsung mengeksekusi apalagi mengambil keputusan," papar Salma.
Oleh karena itu, sebelumnya telah dilakukan bimbingan teknis secara online oleh LSKP Sulawesi Selatan sebagai bekal pemantau memonitoring jalannya proses demokrasi yang digelar sekali lima tahun ini.
Agar lebih efektif, kordinasi digital dengan membuat grup pemantau di masing-masing kabupaten adalah salah satu strategi meningkatkan intensitas kordinasi jelang Pemilu 2019.
"Kita telah menyiapkan instrumen bersumber dari UU 7 itu, misalnya jam berapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibuka. Jadi terkait sistem operasional prosedur (SOP) pemungutan suara semuanya sudah dicatat," ungkapnya.
"Kita berharap 500 orang ini bisa mengawal proses sehingga hasilnya baik, sebab terkadang masih ada hal-hal yang bisa saja berpengaruh di lapangan dan akan berdampak pada hasil akhir demokrasi," katanya.