Makassar (ANTARA) - Organisasi masyarakat desa dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Rakyat (APR) Salipolo Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan memprotes kehadiran aktivitas tambang galian C dikelola PT Alam Sumber Rezeki (ASR) di bantaran Sungai Saddang diduga telah merusak lingkungan setempat.
"Tolak tambang pasir oleh PT ASR di Desa Salipolo, Kecamatan Cempa, Kabupaten Pinrang. Hentikan segala bentuk intimidasi warga Desa Salipolo yang menolak tambang diduga dilakukan oknum aparat di Kabupaten Pinrang," ujar Koordinator APR Salipolo, Apriadi, di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.
Ia menyebutkan, penambangan tersebut telah dimulai sejak tahun 2017 diduga secara ilegal, dibuktikan dengan tidak lengkapnya dokumen perizinan yang dimiliki oleh PT APR di Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang.
Namun, setelah mendapatkan penolakan keras dari warga setempat yang bermukim di sekitaran Sungai Saddang, pihak penambang malah berusaha untuk memindahkan kegiatan penambangannya ke Desa Salipolo, Kecamatan Cempa.
Berdasarkan hasil temuan APR Salipolo, wilayah Konseso lahan tambang seluas 182 hektare di Desa Salipolo. Padahal, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pinrang, Kecamatan Cempa tidak termasuk kawasan yang diperuntukkan sebagai Zona Tambang.
Dari luasan lokasi tambang dan ketidaksesuaian ruang, dapat dipastikan bahwa kerusakan lingkungan dan penghilangan wilayah kelola rakyat akan semakin masif, sehingga membuat masyarakat Desa Salipolo terus melakukan penolakan.
"Sampai saat ini, ada lima orang warga Desa Salipolo yang telah mendapatkan intimidasi dari suruhan pemilik tambang. Mereka malah mendapat surat panggilan dari Polres Pinrang dengan tuduhan menghalangi aktivitas penambangan dan diancam mendapat denda jika menolak," ujar Apriadi.
Sebelumnya, mahasiswa dan warga yang tergabung dalam APR Salipolo Pinrang menggelar aksi di depan Kantor Gubernur Sulsel. Mereka menyuarakan protes agar tambang tersebut dihentikan karena sudah merusak lingkungan sekitar.
Secara terpisah, anggota DPRD Sulsel dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Azhar Arsyad menanggapi aksi protes warga Pinrang atas keberadaan tambang galian C yang mengelola pasir di bantaran Sungai Saddang di Kabupaten Pinrang.
"Kerusakan lingkungan itu menjadi tanggung jawab kita bersama dan yang merusak lingkungan menjadi musuh kita bersama pula. Saya mendukung aksi mereka," kata Ketua Fraksi PKB DPRD Sulsel ini.
Ia secara serius menanggapi aspirasi dan keinginan masyarakat Pinrang atas penolakan tambang setempat.
Pihaknya mengapresiasi aspirasi mahasiswa yang menolak tambang pasir di Sungai Saddang dengan sejumlah tuntutan.
Mereka menolak tambang pasir, menghentikan kriminalisasi warga Salimpolo dan Bababinanga diduga dilakukan oknum serta segera meminta pemulihan lingkungan.
Ketua DPW PKB Sulsel ini meminta Pemprov Sulsel dapat memfasilitasi aspirasi tersebut dengan duduk bersama antara warga didampingi mahasiswa, serta stakeholder dan pihak-pihak terkait lainnya termasuk Pemerintah Kabupaten Pinrang dan pihak pemilik tambang.
"Sebaiknya harus duduk bersama membicarakan hal ini untuk mencari solusi konkret, karena kerusakan lingkungan atau ekosistem itu adalah tanggung jawab kita semua, bukan hanya warga setempat, tapi para penambanga dan pemberi izinnya," ujar dia pula.
"Tolak tambang pasir oleh PT ASR di Desa Salipolo, Kecamatan Cempa, Kabupaten Pinrang. Hentikan segala bentuk intimidasi warga Desa Salipolo yang menolak tambang diduga dilakukan oknum aparat di Kabupaten Pinrang," ujar Koordinator APR Salipolo, Apriadi, di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.
Ia menyebutkan, penambangan tersebut telah dimulai sejak tahun 2017 diduga secara ilegal, dibuktikan dengan tidak lengkapnya dokumen perizinan yang dimiliki oleh PT APR di Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang.
Namun, setelah mendapatkan penolakan keras dari warga setempat yang bermukim di sekitaran Sungai Saddang, pihak penambang malah berusaha untuk memindahkan kegiatan penambangannya ke Desa Salipolo, Kecamatan Cempa.
Berdasarkan hasil temuan APR Salipolo, wilayah Konseso lahan tambang seluas 182 hektare di Desa Salipolo. Padahal, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pinrang, Kecamatan Cempa tidak termasuk kawasan yang diperuntukkan sebagai Zona Tambang.
Dari luasan lokasi tambang dan ketidaksesuaian ruang, dapat dipastikan bahwa kerusakan lingkungan dan penghilangan wilayah kelola rakyat akan semakin masif, sehingga membuat masyarakat Desa Salipolo terus melakukan penolakan.
"Sampai saat ini, ada lima orang warga Desa Salipolo yang telah mendapatkan intimidasi dari suruhan pemilik tambang. Mereka malah mendapat surat panggilan dari Polres Pinrang dengan tuduhan menghalangi aktivitas penambangan dan diancam mendapat denda jika menolak," ujar Apriadi.
Sebelumnya, mahasiswa dan warga yang tergabung dalam APR Salipolo Pinrang menggelar aksi di depan Kantor Gubernur Sulsel. Mereka menyuarakan protes agar tambang tersebut dihentikan karena sudah merusak lingkungan sekitar.
Secara terpisah, anggota DPRD Sulsel dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Azhar Arsyad menanggapi aksi protes warga Pinrang atas keberadaan tambang galian C yang mengelola pasir di bantaran Sungai Saddang di Kabupaten Pinrang.
"Kerusakan lingkungan itu menjadi tanggung jawab kita bersama dan yang merusak lingkungan menjadi musuh kita bersama pula. Saya mendukung aksi mereka," kata Ketua Fraksi PKB DPRD Sulsel ini.
Ia secara serius menanggapi aspirasi dan keinginan masyarakat Pinrang atas penolakan tambang setempat.
Pihaknya mengapresiasi aspirasi mahasiswa yang menolak tambang pasir di Sungai Saddang dengan sejumlah tuntutan.
Mereka menolak tambang pasir, menghentikan kriminalisasi warga Salimpolo dan Bababinanga diduga dilakukan oknum serta segera meminta pemulihan lingkungan.
Ketua DPW PKB Sulsel ini meminta Pemprov Sulsel dapat memfasilitasi aspirasi tersebut dengan duduk bersama antara warga didampingi mahasiswa, serta stakeholder dan pihak-pihak terkait lainnya termasuk Pemerintah Kabupaten Pinrang dan pihak pemilik tambang.
"Sebaiknya harus duduk bersama membicarakan hal ini untuk mencari solusi konkret, karena kerusakan lingkungan atau ekosistem itu adalah tanggung jawab kita semua, bukan hanya warga setempat, tapi para penambanga dan pemberi izinnya," ujar dia pula.