Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai NasDem Willy Aditya meminta pemerintah Indonesia tidak terpancing dengan langkah-langkah provokasi China terkait dengan polemik yang terjadi di perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
"Pemerintah tidak boleh terprovokasi sehingga kita harus hati-hati melihat situasi yang berkembang di Natuna. Hukum laut internasional tidak memberi celah untuk terjadinya konflik yang mengeras dan berujung perang," kata Willy di Jakarta, Ahad.
Menurut dia, apa yang dilakukan Coastal Guard China yang mengawal nelayannya masuk wilayah NKRI adalah upaya provokasi.
Selain itu, pernyataan Kementerian Luar Negeri China yang berkeras dengan konsep internalnya menunjukkan arogansi untuk memprovokasi Indonesia masuk dalam dispute internasional wilayah laut.
"China sangat tahu dan cukup cerdik membaca situasi yang ada dan kekuatan yang dimilikinya. Semua negara akan bersepakat untuk menghindari perang karena akan mendorong penyelesaian melalui mekanisme negosiasi. China punya pengaruh yang cukup untuk digunakan 'memaksa' Indonesia," ujarnya.
Willy mengingatkan bahwa tahun depan akan ada persiapan periodic review UNCLOS yang bisa menjadi celah masuk China memasukkan isu-isu kelautannya.
Menurut dia, dalam catatan ratifikasi UNCLOS tahun 2006, China tidak memilih International Court of Justics (ICJ), International Tribunal, International Arbitral Tribunal, maupun Special Arbitral Tribunal sebagai upaya penyelesaian sengketa wilayah laut dengan negara lain.
"Namun, China memilih menggunakan perangkat yang disediakan pada Pasal 298 (Paragraf 1, a, b, dan c) UNCLOS yang pada intinya menunjuk juru damai dan langsung berhubungan dengan negara bersengketa. Itulah kenapa China tidak mengakui putusan arbitrase sengketa China dengan Filipina," katanya.
Jika Indonesia belajar dari apa yang terjadi di Sipadan dan Ligitan, menurut dia, tidak perlu mengikuti provokasi China untuk menegosiasikan Natuna, tidak atas dasar ekonomi, investasi, atau sejenisnya.
Bersamaan dengan itu, pemerintah Indonesia juga harus menghadirkan negara di Natuna sebagai bukti klaim Indonesia yang telah diakui internasional.
"Pewacanaan seolah-olah Indonesia harus bernegosiasi dan beruding apa lagi perang sangat tidak tepat dalam kondisi saat ini. Media sebaiknya juga mampu membantu pemerintah untuk membangun narasi kedaulatan RI di Natuna," ujarnya.
Menurut dia, masyarakat Indonesia sepakat bahwa Natuna tidak untuk di negosiasi dengan siapa pun karena sepenuhnya milik Indonesia dan diakui dunia internasional.
Indonesia bisa bersahabat dengan siapa pun, seperti Indonesai bisa tegas berkenaan dengan kedaulatan NKRI terhadap negara mana pun sehingga provokasi China harus ditepis bersama dengan menguatkan spiral lobi internasional.
"Pemerintah tidak boleh terprovokasi sehingga kita harus hati-hati melihat situasi yang berkembang di Natuna. Hukum laut internasional tidak memberi celah untuk terjadinya konflik yang mengeras dan berujung perang," kata Willy di Jakarta, Ahad.
Menurut dia, apa yang dilakukan Coastal Guard China yang mengawal nelayannya masuk wilayah NKRI adalah upaya provokasi.
Selain itu, pernyataan Kementerian Luar Negeri China yang berkeras dengan konsep internalnya menunjukkan arogansi untuk memprovokasi Indonesia masuk dalam dispute internasional wilayah laut.
"China sangat tahu dan cukup cerdik membaca situasi yang ada dan kekuatan yang dimilikinya. Semua negara akan bersepakat untuk menghindari perang karena akan mendorong penyelesaian melalui mekanisme negosiasi. China punya pengaruh yang cukup untuk digunakan 'memaksa' Indonesia," ujarnya.
Willy mengingatkan bahwa tahun depan akan ada persiapan periodic review UNCLOS yang bisa menjadi celah masuk China memasukkan isu-isu kelautannya.
Menurut dia, dalam catatan ratifikasi UNCLOS tahun 2006, China tidak memilih International Court of Justics (ICJ), International Tribunal, International Arbitral Tribunal, maupun Special Arbitral Tribunal sebagai upaya penyelesaian sengketa wilayah laut dengan negara lain.
"Namun, China memilih menggunakan perangkat yang disediakan pada Pasal 298 (Paragraf 1, a, b, dan c) UNCLOS yang pada intinya menunjuk juru damai dan langsung berhubungan dengan negara bersengketa. Itulah kenapa China tidak mengakui putusan arbitrase sengketa China dengan Filipina," katanya.
Jika Indonesia belajar dari apa yang terjadi di Sipadan dan Ligitan, menurut dia, tidak perlu mengikuti provokasi China untuk menegosiasikan Natuna, tidak atas dasar ekonomi, investasi, atau sejenisnya.
Bersamaan dengan itu, pemerintah Indonesia juga harus menghadirkan negara di Natuna sebagai bukti klaim Indonesia yang telah diakui internasional.
"Pewacanaan seolah-olah Indonesia harus bernegosiasi dan beruding apa lagi perang sangat tidak tepat dalam kondisi saat ini. Media sebaiknya juga mampu membantu pemerintah untuk membangun narasi kedaulatan RI di Natuna," ujarnya.
Menurut dia, masyarakat Indonesia sepakat bahwa Natuna tidak untuk di negosiasi dengan siapa pun karena sepenuhnya milik Indonesia dan diakui dunia internasional.
Indonesia bisa bersahabat dengan siapa pun, seperti Indonesai bisa tegas berkenaan dengan kedaulatan NKRI terhadap negara mana pun sehingga provokasi China harus ditepis bersama dengan menguatkan spiral lobi internasional.