Makassar (ANTARA) - Direktur Keluarga Perempuan Anak Pemuda dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Wono Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan masih membutuhkan dukungan kebijakan. 

Wono Srihastuti menjadi pembicara dalam konferensi internasional bertajuk “The 2nd International Conference on Women and Societal Perspective on Quality of Life (Wosqual) 2020” yang digelar Pascasarjana dan FK Unhas secara virtual, Kamis.

Ia menjelaskan kualitas hidup perempuan tidak terlepas dari isu ketimpangan gender, terlebih dalam konteks pandemi COVID-19 yang kembali menjadikan perempuan sebagai kelompok rentan.

Menurut Global Gap Report (World Economic Forum, 2020) indeks kesenjangan gender Indonesia masih berada pada urutan ke-85 dari 153 negara.

Hal ini berdasarkan pada empat dimensi sebagai tolak ukur, yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik. Ketertinggalan terbesar perempuan adalah pada partisipasi di bidang politik dan ekonomi.

Dalam bidang ekonomi, selama dua dekade terakhir tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia cenderung stagnan dan termasuk rendah di Asia Pasifik.

Rata-rata TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan hanya 52 persen, sementara laki-laki sudah mencapai 83 persen. Stagnasi ini tentunya menyebabkan terhambatnya potensi ekonomi Indonesia.

"Jika kesenjangan partisipasi kerja perempuan dikurangi seperempatnya saja, Indonesia dapat menikmati tambahan pertumbuhan GDP sebesar 0,7 persen atau sekitar 123 triliun dollar pada tahun 2025, hal ini sesuai kajian prospek tahun 2020," jelas Wono.

Pada era industri 4.0, perkembangan teknologi tentunya berdampak pada pemerintahan, ekonomi dan ketenagakerjaan. Diperkirakan 90 persen pekerjaan masa depan akan digantikan oleh keterampilan teknologi, informasi dan komunikasi.

Olehnya itu, perempuan dalam bidang sains maupun teknologi tentunya memiliki peranan penting di masa mendatang.

Dibanding dengan negara lain, kata dia, perempuan Indonesia masih tertinggal jauh di bidang sains, teknologi, engineering, dan matematika atau STEM.

"Meskipun proporsi perempuan yang belajar di program studi STEM sangat besar antara 57-88 persen, namun tidak banyak yang bekerja dalam bidang tersebut," kata Wono.

Lebih lanjut, Wono juga menuturkan di masa pandemi semakin meningkatkan kerentanan perempuan.

Berbagai kajian dan survei menunjukkan bahwa kebijakan PSBB meningkatkan beban gender perempuan dalam rumah tangga dan resiko mengalami KDRT semakin besar.

Hal itu mengingat jika ada korban yang tidak melek teknologi informasi, maka menjadi semakin sulit mengakses layanan karena perubahan mekanisme aduan dan layanan kasus dari tatap muka menjadi daring.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan pengarusutamaan gender (PUG). Hal ini membutuhkan peran dan keterlibatan aktif masyarakat.

Kebijakan untuk peningkatan kualitas hidup perempuan harus didesain untuk mengatasi berbagai hambatan sosial dan budaya yang menjadi akar permasalahan ketimpangan gender.

Olehnya itu, kolaborasi multipihak sebagai strategi percepatan peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sangat dibutuhkan.

"Saya berharap diskusi hari ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai pengetahuan. Menggali ide dan gagasan terbaik dari berbagai pihak guna menjadi masukan kebijakan dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan," ujar Wono.

Pewarta : Abdul Kadir
Editor : Redaktur Makassar
Copyright © ANTARA 2024