Makassar (ANTARA) - Pengusaha industri pembuatan kapal Pinisi mengeluhkan mulai kesulitan mendapat bahan baku kayu khusus jenis Vitex Cofasus atau dikenal kayu Binti yang digunakan sebagai bahan utama membangun kapal tersebut di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

"Sekarang sudah susah dapat kayu Binti, kalau ada itu pun dipesan dari luar Sulsel, harganya pun mahal. Kalau bahan baku sudah tidak ada tentu pembuatan kapal bisa berhenti," ujar Sukardi, seorang pelaku industri kayu di Bulukumba saat dikonfirmasi, Sabtu.

Menanggapi hal itu, Direktur perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan (JURnal) Celebes Mustam Arif membenarkan bahwa kini perajin maupun pengusaha pembuat kapal Pinisi kekurangan bahan baku kayu. 

Ia mengungkapkan, data tersebut dari riset dan pemantauan tim di lapangan terkait keberlangsungan industri kayu serta hasil pertemuan menghadirkan para pelaku industri kayu bersama pembuat kapal Pinisi, bahwa kondisinya memang mengalami kesulitan bahan baku.

Sejauh ini, produksi kapal Pinisi masih berlangsung, tetapi ada keprihatinan dari kalangan pembuat kapal khas Sulsel itu, produksi akan terhenti apabila tidak dicarikan solusi dari pemerintah. Kemungkinan Pinisi yang tersohor ini sebagai produk kebudayaan Bugis tersebut akan tinggal nama.

Selain itu, jenis kayu Binti kini sangat sulit ditemukan di Bulukumba. Untuk  mendapatkan bahan baku, para pembuatnya mencari pasokan dari daerah lain di Sulsel. Tetapi, ketika daerah lain juga kesulitan, pembuat perahu harus mendatangkan bahan baku itu dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara hingga Papua. 

"Tetapi ketergantungan ke daerah lain tidak bisa menjamin pasokan kayu Bitti itu bisa berlanjut. Tentu ini menjadi keprihatinan kita bersama dan pemerintah daerah," ujar Mustam Arif.

Dulunya, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai dan Gowa juga awalnya menjadi basis pengadaan kayu Bitti. Namun, sejak puluhan tahun menjadi bahan utama Pinisi, ketersediaan kayu Binti sudah sangat berkurang, kecuali di hutan adat Kajang, Bulukumba, kayu itu masih terjaga dengan baik.

  Pekerja menyelesaikan pembuatan kapal pinisi di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/wsj.

Pihaknya khawatir ke depan, kawasan hutan adat Kajang, bisa saja menjadi ancaman penebangan secara ilegal ketika masing-masing pihak sudah terdesak akan kebutuhan  ketersediaan kayu khusus tersebut.

Sebagai produk kebudayaan dari peradaban bahari Bugis, Mustam Arif berharap Pemerintah Provinsi Sulsel perlu memikirkan keberlanjutan perahu pinisi berbahan baku kayu Binti yang sudah sulit didapatkan.

"Jangan sampai suatu ketika, Pinisi terpaksa dibuat dari fiber glass. Lantas apa perbedaan industri kapal fiber lainnya. Kapal Pinisi sudah menjadi produk kultural bernilai tinggi tersohor di dunia bahari, menjelajahi berbagai samudera, dengan teknologi tradisional berbasis kearifan lokal, sebelum adanya kapal modern berteknologi canggih," ujarnya.

Ia pun berharap Pemprov Sulsel segera mengambil langkah untuk keberlanjutan industri perahu Pinisi. Industri Pinisi tidak boleh tergantung pada ketersediaan kayu Bitti di hutan alam akan habis. 

Perlu upaya budidaya, tetapi tantangannya bukan hanya lahan atau teknologi budidaya, tetapi perkembangan kayu jenis ini yang membutuhkan waktu sekitar 30 hingga 40 tahun untuk mencapai ukuran dan kualitas terbaik dalam pembuatan Pinisi.

JURnal, Celebes mengusulkan salah satu caranya dengan mengembangkan program konservasi berbasis kayu Bitti yang bermanfaat ganda, untuk keberlanjutan industri Pinisi sekaligus berfungsi ekologis. Pengembangan melalui budidaya silvikultur untuk menjamin proses secara ekonomi dan ekologi.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024