Jakarta (ANTARA) - Ketika Shinzo Abe menjadi perdana menteri Jepang pada 2012, salah satu gebrakan dia adalah mendorong Tokyo menjadi tuan rumah Olimpiade 2020.

Abe ingin Olimpiade menjadi panggung guna menggaungkan pesan kepada dunia bahwa Jepang telah bangkit dari puluhan tahun stagnasi ekonomi, telah membuat transformasi besar dalam statusnya sebagai kekuatan demokrasi sejak menjadi tuan rumah Olimpiade Tokyo 1964, dan sebagai simbol rekonstruksi nasional setelah dihantam bencana tsunami dan nuklir sepuluh tahun silam.

Abe turun langsung mengkampanyekan Tokyo sampai berhasil menyisihkan Madrid dan Istanbul.

Jumat ini pukul 18.00 WIB Olimpiade yang sudah diperjuangkan Abe itu pun bakal dibuka.

Hanya 950 orang hadir di stadion guna menyaksikan upacara pembukaan itu. Perhelatan ini akan tetap seagung seperti yang sudah-sudah, namun bakal terus diganggu oleh pertanyaan, untuk apa semua ini? Toh seisi Tokyo lumpuh oleh keadaan darurat COVID-19 dan oleh krisis ekonomi selama satu setengah tahun terakhir.

Pun tak ada orang asing yang datang ke Jepang guna menyaksikannya, bahkan warga Jepang tak boleh masuk kawasan lomba, sementara orang-orang terkait Olimpiade, termasuk atlet, diisolir di dalam gelembung.

Olimpiade ini gagal mendapatkan dukungan penuh dari rakyat Jepang. Kaisar Naruhito saja tak mau menghadiri pembukaannya.

Pesan kebangkitan ekonomi pun menjadi tak masuk akal, apalagi Abe sudah lengser tahun lalu. Demikian pula dengan pesan rekonstruksi Jepang yang penyintas tsunami 2011 pun tak setuju Olimpiade dikait-kaitkan dengan malapetaka dahsyat itu.

“Saya tak mau lagi penyelenggara menggunakan kata ‘rekonstruksi’ untuk Olimpiade ini,” kata Akihiro Ono seperti dikutip Asahi Shimbun, sehari sebelum upacara pembukaan.

Sepuluh tahun lalu Ono adalah mahasiswa teknik di kota Iwaki di Prefektur Fukushima yang parah dihantam tsunami yang kemudian diikuti bencana nuklir yang dahsyat sekali.

Tetapi pengganti Abe, yakni Yoshihide Suga, tidak begitu.

Dia melihat Olimpiade adalah simbol kemenangan dunia dalam perang melawan COVID-19. Dia bilang, “dunia telah bertarung melawan kesulitan besar yang diakibatkan COVID-19 dan berhasil mengatasinya bersama. Kami ingin mengirimkan pesan itu dari Jepang kepada dunia." Dan oleh karena itu, menyelenggarakan OIimpiade "akan menjadi pesan mengenai harapan dan keberanian."

Tetapi retorika ini terpupus oleh fakta bahwa Tokyo sendiri dalam keadaan darurat akibat meningkatnya kasus COVID-19. Berbeda dengan Euro 2020 atau Wimbledon 2021 misalnya, Olimpiade Tokyo tak memperlihatkan suasana selebrasi umat manusia yang menang perang. Sebaliknya, menjadi simbol untuk apa yang hilang karena direnggut COVID-19.

Perjudian besar Suga

Sebagian kalangan menyebut Suga lebih politis ketimbang meninggikan kebangkitan, rekonstruksi, dan keolahragaan.

"Suga membuat perjudian besar. Sekalipun nanti berjalan relatif lembut yang mana diragukan oleh pakar-pakar medis Jepang dan internasional, pemilih Jepang mungkin marah kepada Suga karena menganggap dia lebih memprioritaskan Olimpiade ketimbang kesehatan masyarakat," kata profesor studi internasional Craig Mark dari Kyoritsu Women’s University di Tokyo seperti dikutip South China Morning Post.

Sejumlah analis di Jepang, seperti pakar politik Kinjo University di Prefektur Ishikawa, Masatoshi Honda, lebih sinis lagi. “Masyarakat punya pertanyaan besar, apa yang sedang diupayakan Suga? Satu-satunya jawaban adalah sukses Olimpiade,” kata Honda.

Peringkat kesetujuan publik kepada Suga memang rendah sekali yang menurut poling terakhir NHK berada pada angka 33 persen. “Sukses Olimpiade adalah kondisi yang membuat Suga bisa terpilih lagi menjadi presiden Partai Demokrat Liberal (yang berkuasa) September nanti. Saya kira itulah alasan dia ngotot melanjutkan Olimpiade ini,” kata Honda, semakin sinis.

Tapi Suga sebenarnya maju kena, mundur kena. Membatalkan Olimpiade akan membuat Jepang makin besar menanggung rugi ekonomi dan politik. Terus melanjutkannya bisa menekan kerugian itu tapi taruhannya tingkat infeksi COVID-19.

Olimpiade ini, seperti disebut Universitas Oxford, adalah Olimpiade termahal sepanjang masa. Taksiran Desember tahun lalu menyebut angka 15 miliar dolar AS (Rp217,7 triliun). Tetapi setelah diaudit resmi membengkak menjadi 26 miliar dolar AS (Rp377,4 triliun). Padahal saat hak tuan rumah Olimpiade kepada Tokyo diumumkan pada 2013, proyeksi dana Olimpiade adalah “hanya” 7,5 miliar dolar AS (Rp108,8 triliun).

Membatalkan Olimpiade juga bisa membuat Jepang kehilangan muka, terutama dalam kaitannya dengan Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang paling ngotot acara ini tetap digelar, bukan saja demi menyelamatkan agenda olahraga, namun juga demi komitmen sponsor dan kepentingan bisnis olah raga.

Kemudian, apa jadinya kalau Olimpiade ini dibatalkan ketika tahun depan China mungkin menggelar Olimpiade Musim Dingin lebih agung lagi. Jepang pasti tak mau kalah gengsi. Semua faktor ini membuat Suga ngotot menggelar Olimpiade Tokyo, sekalipun bagian besar rakyatnya tetap memprotesnya.

Dan protes ini dilancarkan tanpa komando, tapi didengar elemen-elemen terpenting Jepang, dari keluarga kerajaan sampai kalangan bisnis. Bahkan sponsor-sponsor Olimpiade dari Jepang tak ingin terlalu terlihat menyibukkan diri dalam Olimpiade.

Menurut Asahi Shimbun, semakin banyak para pejabat perusahaan sponsor Olimpiade yang tak menggubris undangan menghadiri upacara pembukaan, salah satunya Masakazu Tokura yang mengetuai kamar dagang dan industri yang amat berpengaruh di Jepang, Keidanren.

Pun demikian dengan nama-nama besar seperti Panasonic Corp, Toyota Motor Corp, Procter & Gamble, Toto, NTT, dan Nomura Holding, kecuali mereka yang masuk kepanitiaan Olimpiade seperti bos Panasonic Kazuhiro Tsuga yang menjadi ketua penyelenggara Olimpiade.

Mayoritas penduduk Jepang menjadi kritis terhadap Olimpiade ini padahal sebelum pandemi mereka terbeli oleh pesan-pesan kebangkitan Jepang yang digaungkan Shinzo Abe.

Kasus COVID-19 yang terus bertambah, sekalipun jauh di bawah negara-negara seperti Indonesia, membuat mereka semakin khawatir. Munculnya varian baru dan keraguan terhadap tingkat kesadaran kesehatan warga negara lain termasuk atlet, sekalipun penyelenggara Olimpiade menerapkan protokol kesehatan super ketat, membuat kekhawatiran itu membesar.

The show must go on

Rakyat Jepang adalah masyarakat yang peduli sekali kepada kesehatan yang bahkan selalu bersiap menghadapi hal buruk yang terjadi kemudian. Bencana alam yang datang setiap waktu, termasuk rangkaian wabah, memaksa mereka awas apalagi jika nalar melihat hal buruk bakal meluas karena melihat keadaan buruk yang tengah terjadi.

Jepang berhasil mengendalikan pandemi lebih karena kepedulian masyarakatnya terhadap kesehatan. Kebiasaan-kebiasaan seperti mengenakan masker dan menjaga jarak fisik, jauh sudah tertanam di Jepang sebelum ada pandemi COVID-19.

Mengutip survei yang diterbitkan jurnal Public Library of Science (PLOS) pada 11 Juni 2020 di bawah judul “Japanese citizens' behavioral changes and preparedness against COVID-19”, warga Jepang memiliki pola hidup higienis yang preventif jauh sebelum pandemi menghajar dunia.

Budaya mereka sudah social distancing jauh sebelum ada pandemi COVID-19, salah satunya ditandai oleh cara mereka memuliakan tamu dengan salam membungkuk, bukan bersalaman atau apalagi berciuman.

Mereka juga memiliki etiket bersin dan mencuci tangan jauh lebih sering dibandingkan dengan masyarakat mana pun. Menaruh sabun dan hand sanitizer di fasilitas-fasilitas umum sudah mereka lakukan jauh sebelum pandemi COVID-19 menyapu dunia.

Mungkin mereka khawatir etiket-etiket ini tak dipedulikan oleh puluhan ribu orang terkait Olimpiade Tokyo, entah atlet atau non atlet, apalagi mereka datang dari latar budaya berbeda. Oleh karena itu kabar seorang atlet Uganda yang sempat hilang ketika salah satu anggota timnya terpapar COVID-19 kian memperbesar kekhawatiran rakyat Jepang atas etiket itu.

Tak heran saat media massa asing fokus memberitakan kesiapan atlet dan kemungkinan medali serta rekor yang bakal tercipta, media massa Jepang anteng memberitakan prilaku pendatang asing, apakah mereka menaati protokol kesehatan. Situasi ini sampai mendorong Presiden IOC Thomas Bach memohon masyarakat Jepang agar tak pesimistis dan menyambut hangat para Olimpian.

Suga sendiri berusaha mempertemukan kekhawatiran rakyatnya dan tuntutan politik, bisnis dan sport untuk terus menggelar Olimpiade Tokyo, dengan protokol kesehatan super ketat yang mesti dipahami semua kontingen, termasuk ketika protokol ini memupus impian memperoleh medali.

Tetap saja, sampai sehari sebelum Olimpiade dibuka, sambutan rakyat Jepang dingin-dingin saja, termasuk di daerah-daerah di mana venue Olimpiade berada, seperti Koto di metropolitan Tokyo.

“Tak ada yang mempedulikan Olimpiade ini, bahkan orang yang berada dekat venue Olimpiade saja tak tertarik,” kata Noboru Kashiwagi, penduduk Koto berusia 79 tahun, seperti dikutip AFP. “Saya prihatin kepada atlet. Ini bukan salah mereka.”

Meskipun begitu, dunia memang wajib bersimpati dan punya tanggung jawab moral untuk mempedulikan kekhawatiran rakyat Jepang, tetapi the show must go on.

Mungkin masih banyak nilai positif jika Olimpiade tetap digelar, di luar insentif politiknya bagi Suga dan insentif ekonominya bagi IOC.

Salah satu nilai positif itu adalah apa yang dilakukan Jepang bisa menjadi benchmark bagaimana sebuah negara seharusnya menggelar perhelatan multicabang pada era pandemi. Tapi, jika Olimpiade ini berhasil tanpa menjadi super-spreader COVID-19. Semoga.

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024