Makassar (ANTARA) - Pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPN) Gerbang Tani menolak rencana Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) menerapkan penangkapan ikan terukur berbasis kuota bagi investor asing karena akan berdampak pada penurunan potensi pendapatan nelayan lokal dan tradisional.

“Kebijakan ini dinilai tergesa-gesa dan belum ada kajian yang mendalam. Hal ini akan sangat mungkin menimbulkan gesekan antara nelayan besar dan nelayan tradisional," ungkap Ketua Umum Gerbang Tani, Idham Arsyad, melalui siaran persnya diterima, Kamis.

Menurut dia, rencana kebijakan itu nantinya ada pembagian zona wilayah penangkapan ikan dengan dibagi kuota komersial, nonkomersial, dan tradisional.

Kategori pembagian ini kata dia, mudah diskenariokan, namun akan menimbulkan banyak masalah di lapangan, apalagi di Indonesia selama ini pengelolaan lautnya masih dengan cara unregulated dan unreported.

"Semestinya KKP mulai mempersiapkan tata kelola laut yang baik dan regulasinya terlebih dahulu karena membutuhkan kajian dan persiapan yang mendalam," katanya.

Idham mengemukakan pernyataan Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono yang menyampaikan bahwa dalam penerapan penangkapan ikan terukur nanti dibagi kedalam enam zona wilayah penangkapan dengan potensi yang sangat besar kurang lebih 12 juta ton.

"Penentuan zonasi dan kebijakan semata-mata hanya mempertimbangkan faktor ekonomi, tetapi tanpa dibarengi program-program penguatan nelayan tradisional, itu sama aja dengan menjual laut kita kepada pihak asing," katanya.

Saat pemulihan dampak pandemi COVID-19, katanya, mesti dikedepankan strategi penguatan nelayan lokal. Di mana selama pandem mereka sangat terpukul karena impor ikan tidak berjalan efektif akibat aturan pembatasan sosial ataupun faktor lainnya.

"Jika dalam tahap pemulihan ini nelayan-nelayan tradisional dihadapkan pada investor asing, maka mereka pasti akan kesulitan bangkit," beber dia.

Selain itu, ujar dia, penangkapan ikan secara besar besaran akan menyebabkan program "blue carbon" terancam terganggu karena laut semakin ramai dan dikotori  kapal penangkap ikan dengan gross ton yang sangat besar.

"Alih-alih kita memanfaatkan blue carbon, tapi nantinya malah Indonesia akan tercatat sebagai negara dengan peningkatan emisi karbon tertinggi dari sektor kelautan. Ini bertentangan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menargetkan 'net zero emmision' pada tahun 2050," tambahnya.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Redaktur Makassar
Copyright © ANTARA 2024