Jakarta (ANTARA) - Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali mencapai 4.500 kasus hingga September 2021 dibanding tahun 2020.
Melalui siaran pers, Jakarta, Senin, Andy mengatakan kriminalisasi masih terjadi terhadap penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual pada tahun 2021.
"Peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dapat ditangani dengan baik karena tidak sebanding dengan kapasitas penanganan," kata Andy.
Menurutnya darurat kekerasan seksual bukan hanya persoalan peningkatan angka kekerasan seksual maupun soal kompleks dan semakin ekstrimnya kasus tetapi justru karena daya penanganannya yang belum memadai di seluruh wilayah.
"Kesulitan perempuan korban untuk mendapatkan keadilan inilah menjadi dasar pemikiran RUU TPKS," tambahnya.
Sementara Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Sulityowati Irianto menambahkan bahwa Indonesia membutuhkan instrumen hukum yang melindungi perempuan dari kekerasan, namun pada praktiknya justru banyak kebijakan daerah yang diskriminatif dan berlawanan dengan kebutuhan masyarakat.
Selain itu literasi hukum masyarakat Indonesia pun masih kurang sehingga terdapat banyak problematika dalam proses pembuatan produk hukum.
Prof. Sulistyowati mengatakan masyarakat masih banyak miskonsepsi terkait isi dari Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
Dia menegaskan bahwa kekerasan seksual terjadi karena ketiadaan persetujuan dan relasi kuasa dan dua unsur tersebut yang perlu ditekankan dalam rangka menghapus kekerasan seksual.
Sementara normalisasi kekerasan seksual terjadi karena masyarakat kurang peka terhadap isu-isu kekerasan yang dialami perempuan sehingga menghambat proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Komnas Perempuan menambahkan bahwa sikap masyarakat merupakan penopang terbaik dari pemulihan korban dan akses keadilan bagi korban kekerasan.
Melalui siaran pers, Jakarta, Senin, Andy mengatakan kriminalisasi masih terjadi terhadap penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual pada tahun 2021.
"Peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dapat ditangani dengan baik karena tidak sebanding dengan kapasitas penanganan," kata Andy.
Menurutnya darurat kekerasan seksual bukan hanya persoalan peningkatan angka kekerasan seksual maupun soal kompleks dan semakin ekstrimnya kasus tetapi justru karena daya penanganannya yang belum memadai di seluruh wilayah.
"Kesulitan perempuan korban untuk mendapatkan keadilan inilah menjadi dasar pemikiran RUU TPKS," tambahnya.
Sementara Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Sulityowati Irianto menambahkan bahwa Indonesia membutuhkan instrumen hukum yang melindungi perempuan dari kekerasan, namun pada praktiknya justru banyak kebijakan daerah yang diskriminatif dan berlawanan dengan kebutuhan masyarakat.
Selain itu literasi hukum masyarakat Indonesia pun masih kurang sehingga terdapat banyak problematika dalam proses pembuatan produk hukum.
Prof. Sulistyowati mengatakan masyarakat masih banyak miskonsepsi terkait isi dari Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
Dia menegaskan bahwa kekerasan seksual terjadi karena ketiadaan persetujuan dan relasi kuasa dan dua unsur tersebut yang perlu ditekankan dalam rangka menghapus kekerasan seksual.
Sementara normalisasi kekerasan seksual terjadi karena masyarakat kurang peka terhadap isu-isu kekerasan yang dialami perempuan sehingga menghambat proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Komnas Perempuan menambahkan bahwa sikap masyarakat merupakan penopang terbaik dari pemulihan korban dan akses keadilan bagi korban kekerasan.