Makassar (ANTARA News) - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) meminta PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV mengoptimalkan produksi gula lokal untuk memenuhi kebutuhan Sulsel akan 120 ton gula pasir per tahun
"Pabrik ini hanya menghasilkan 80 ribu ton, sangat tidak optimal. Swasta saja bisa untung dari perkebunan gula dengan teknologi yang minimalis," kata Wakil Sekertaris Jenderal HKTI Kamhar Lakumani di Makassar, Selasa.
Dia menjelaskan, situasi saat ini perkebunan nasional mengoperasikan Pabrik Gula Takalar serta Arasoe dan Camming di Kabupaten Bone yang berproduksi rata-rata 60-80 ribu ton per tahun.
Belakangan operasional ketiga pabrik diserahkan ke PTPN X Surabaya dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). PTPN XIV sendiri lebih fokus bermain di bisnis perkebunan aneka tanaman, seperti kelapa sawit, karet, dan kakao.
Menurutnya, sebagai pabrik peninggalan kolonial sudah waktunya dilakukan reformasi perluasan lahan tanam, modernisasi mesin, peningkatan varitas bibit dan perombakan manajemen produksi.
Terutama lahan dan produksi yang harus mencapai rendemen tebu 8-9 persen. Selama ini rendemen tanaman sangat rendah dikisaran 7-7,4 persen yang tidak mampu mendongkrak produksi.
?Gula ini merupakan peninggalan kolonial yang dulu terkenal seantero dunia. Namun heran kalau sekarang kita tak mampu meningkatkan produksi,? ujarnya.
Pengurus Ikatan Sarjana Pertanian Indonesia ini mengatakan pemerintah telah menetapkan swasembada gula di 2014.
Namun hal itu sulit dijalankan mengingat produksi gula nasional baru mencapai 2,3 juta ton. Sedangkan kebutuhan pasar lokal berkisar 4,3 ? 4,5 juta ton per tahun.
Kondisi produksi yang tidak kondusif inilah yang memaksa pemerintah melakukan impor sebesar 50 persen atau 2,2 juta ton dari sejumlah negara produsen gula.
"Kalau ingin pabrik gula dibuat bagus maka rendemen tanaman harus ditingkatkan. Maka produksinya akan meningkat pesat," katanya. (T.KR-AAT/M009)
"Pabrik ini hanya menghasilkan 80 ribu ton, sangat tidak optimal. Swasta saja bisa untung dari perkebunan gula dengan teknologi yang minimalis," kata Wakil Sekertaris Jenderal HKTI Kamhar Lakumani di Makassar, Selasa.
Dia menjelaskan, situasi saat ini perkebunan nasional mengoperasikan Pabrik Gula Takalar serta Arasoe dan Camming di Kabupaten Bone yang berproduksi rata-rata 60-80 ribu ton per tahun.
Belakangan operasional ketiga pabrik diserahkan ke PTPN X Surabaya dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). PTPN XIV sendiri lebih fokus bermain di bisnis perkebunan aneka tanaman, seperti kelapa sawit, karet, dan kakao.
Menurutnya, sebagai pabrik peninggalan kolonial sudah waktunya dilakukan reformasi perluasan lahan tanam, modernisasi mesin, peningkatan varitas bibit dan perombakan manajemen produksi.
Terutama lahan dan produksi yang harus mencapai rendemen tebu 8-9 persen. Selama ini rendemen tanaman sangat rendah dikisaran 7-7,4 persen yang tidak mampu mendongkrak produksi.
?Gula ini merupakan peninggalan kolonial yang dulu terkenal seantero dunia. Namun heran kalau sekarang kita tak mampu meningkatkan produksi,? ujarnya.
Pengurus Ikatan Sarjana Pertanian Indonesia ini mengatakan pemerintah telah menetapkan swasembada gula di 2014.
Namun hal itu sulit dijalankan mengingat produksi gula nasional baru mencapai 2,3 juta ton. Sedangkan kebutuhan pasar lokal berkisar 4,3 ? 4,5 juta ton per tahun.
Kondisi produksi yang tidak kondusif inilah yang memaksa pemerintah melakukan impor sebesar 50 persen atau 2,2 juta ton dari sejumlah negara produsen gula.
"Kalau ingin pabrik gula dibuat bagus maka rendemen tanaman harus ditingkatkan. Maka produksinya akan meningkat pesat," katanya. (T.KR-AAT/M009)