Makassar (ANTARA) - Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, menyebut, kondisi ekologi pada tutupan lahan hutan di Provinsi Sulawesi Selatan berada dalam situasi krisis atau menuju kolaps berdasarkan hasil riset dan penelitian sepanjang tahun 2021.
"Ada beberapa faktornya, seperti mudahnya izin usaha pertambangan, tutupan lahan hutan berkurang hingga dampak dari Daerah Aliran Sungai (DAS). Saat ini kondisi Sulsel sedang Kolaps," ungkap Direktur Eksekutif WALHI Sulsel Muhammad Al Amin saat ekspos Catatan Akhir Tahun 2021, di Makassar, Rabu.
Dari hasil penelitian kondisi tutupan lahan hutan di Sulsel hanya tersisa 32 persen atau sekitar 1.479.181 hektare lebih. Sedangkan sisanya, 68 persen atau 3.180.562 hektare masuk dalam kategori tutupan non hutan.
Selain itu, ada tiga faktor yang melatarbelakangi krisis lingkungan di Sulsel. Seperti, izin usaha pertambangan, dengan ekspansi pariwisata di kawasan hutan dan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM). Krisis tersebut berdampak pada kondisi DAS di Sulsel.
Ada tiga DAS, yang terdampak atas kondisi ekologi saat ini seperti DAS Saddang, DAS Bila Wallanae dan DAS Jeneberang. Amin menyebutkan, tutupan hutan di DAS Saddang kini tinggal 17,09 persen, disusul DAS Bila Wallanae 14,32 persen dan DAS Jeneberang 16,82 persen.
"Pemerintah dinilai tidak merefleksikan dan tidak melihat situasi terkini dampak bencana ekologi seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi. Padahal, tutupan hutan di tiga DAS itu sudah sangat kritis hingga mengalami degradasi atau penurunan kondisi yang sangat signifikan," bebernya.
Selain itu, imbas bencana ekologis akibat kerusakan tutupan hutan di kawasan DAS kata dia, sudah berdampak pada 24 kabupaten dan kota di wilayah Sulsel. Belum lama ini, bencana banjir rob hingga tanah longsor terjadi merata pada semua daerah di Sulsel.
Begitupun daerah daerah pesisir ikut rusak karena masifnya proyek pembangunan seperti reklamasi yang tidak berpihak pada lingkungan. Imbasnya, masyarakat pesisir paling terdampak mulai dari bencana ekologis hingga mata pencaharian mereka di laut sangat terganggu akibat tambang pasir laut.
Selain itu, bencana kekeringan dan ketersediaan air bersih, juga terjadi di beberapa titik pada wilayah Kota Makassar, saat memasuki musim kemarau. Seperti di bagian Utara, Kecamatan Tallo dan Ujung Tanah. Parahnya, masyarakat harus mengantre kebutuhan air bersih
Sejumlah perempuan pulau dan pesisir mengangkat spanduk dan pamplet disela ekspos Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2021 Walhi Sulsel di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (29/12/2021). ANTARA/Darwin Fatir.
Dari catatan Walhi, sepanjang 2021, bencana ekologi seperti banjir Rob di Sulsel yang menimbulkan kerusakan seperti 5.950 hektare sawah rusak terendam air, 3.742 hektare lahan perkebunan, 738 hektare lahan tambak, 18.816 unit rumah, 10 unit kendaraan, 15 ekor hewan ternak mati/hilang.
Selanjutnya, 12.018 penduduk terdampak, lima luka-luka, dan enam orang meninggal dunia, satu orang hilang serta 20.413 orang terdampak bencana. Kerusakan pada infrastruktur, masing-masing, 14 unit perkantoran, 45 unit fasilitas pendidikan, 24 unit fasilitas kesehatan, tiga ruas jalan penghubung, sembilan jembatan, 30 unit masjid dan tiga kantor desa ikut terdampak.
Melihat kondisi tersebut, Walhi Sulsel merekomendasikan kepada Pemerintah Provinsi untuk segera menentukan langkah tepat dan cepat dengan meminimalisir dampak bencana agar tidak terjadi dampak lebih besar di tahun mendatang.
Walhi juga mendesak pemerintah agar meninjau ulang Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 362 tahun 2019, tentang Penetapan Kawasan Hutan Sulsel. Kemudian, merevisi Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di Sulsel serta menghapus alokasi ruang reklamasi dan tambang pasir laut.
Pihaknya pun menuntut agar segera hapus alokasi ruang tambang dan Ranperda RTRW di Sulsel. Hentikan pengusutan pelepasan kawasan hutan di Sulsel untuk kepentingan bisnis. Lindungi masyarakat, nelayan dan perempuan di pulau kecil dan pesisir, cabut izin pertambangan di kawasan hutan serta reforestasi DAS di Sulsel.
"Tindak pengusaha dan perusahaannya mencemari lingkungan, terapkan Hak Asasi Manusia dan jangan mengabaikan hak rakyat atas lingkungan hidup," ucapnya menegaskan .
"Ada beberapa faktornya, seperti mudahnya izin usaha pertambangan, tutupan lahan hutan berkurang hingga dampak dari Daerah Aliran Sungai (DAS). Saat ini kondisi Sulsel sedang Kolaps," ungkap Direktur Eksekutif WALHI Sulsel Muhammad Al Amin saat ekspos Catatan Akhir Tahun 2021, di Makassar, Rabu.
Dari hasil penelitian kondisi tutupan lahan hutan di Sulsel hanya tersisa 32 persen atau sekitar 1.479.181 hektare lebih. Sedangkan sisanya, 68 persen atau 3.180.562 hektare masuk dalam kategori tutupan non hutan.
Selain itu, ada tiga faktor yang melatarbelakangi krisis lingkungan di Sulsel. Seperti, izin usaha pertambangan, dengan ekspansi pariwisata di kawasan hutan dan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM). Krisis tersebut berdampak pada kondisi DAS di Sulsel.
Ada tiga DAS, yang terdampak atas kondisi ekologi saat ini seperti DAS Saddang, DAS Bila Wallanae dan DAS Jeneberang. Amin menyebutkan, tutupan hutan di DAS Saddang kini tinggal 17,09 persen, disusul DAS Bila Wallanae 14,32 persen dan DAS Jeneberang 16,82 persen.
"Pemerintah dinilai tidak merefleksikan dan tidak melihat situasi terkini dampak bencana ekologi seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi. Padahal, tutupan hutan di tiga DAS itu sudah sangat kritis hingga mengalami degradasi atau penurunan kondisi yang sangat signifikan," bebernya.
Selain itu, imbas bencana ekologis akibat kerusakan tutupan hutan di kawasan DAS kata dia, sudah berdampak pada 24 kabupaten dan kota di wilayah Sulsel. Belum lama ini, bencana banjir rob hingga tanah longsor terjadi merata pada semua daerah di Sulsel.
Begitupun daerah daerah pesisir ikut rusak karena masifnya proyek pembangunan seperti reklamasi yang tidak berpihak pada lingkungan. Imbasnya, masyarakat pesisir paling terdampak mulai dari bencana ekologis hingga mata pencaharian mereka di laut sangat terganggu akibat tambang pasir laut.
Selain itu, bencana kekeringan dan ketersediaan air bersih, juga terjadi di beberapa titik pada wilayah Kota Makassar, saat memasuki musim kemarau. Seperti di bagian Utara, Kecamatan Tallo dan Ujung Tanah. Parahnya, masyarakat harus mengantre kebutuhan air bersih
Dari catatan Walhi, sepanjang 2021, bencana ekologi seperti banjir Rob di Sulsel yang menimbulkan kerusakan seperti 5.950 hektare sawah rusak terendam air, 3.742 hektare lahan perkebunan, 738 hektare lahan tambak, 18.816 unit rumah, 10 unit kendaraan, 15 ekor hewan ternak mati/hilang.
Selanjutnya, 12.018 penduduk terdampak, lima luka-luka, dan enam orang meninggal dunia, satu orang hilang serta 20.413 orang terdampak bencana. Kerusakan pada infrastruktur, masing-masing, 14 unit perkantoran, 45 unit fasilitas pendidikan, 24 unit fasilitas kesehatan, tiga ruas jalan penghubung, sembilan jembatan, 30 unit masjid dan tiga kantor desa ikut terdampak.
Melihat kondisi tersebut, Walhi Sulsel merekomendasikan kepada Pemerintah Provinsi untuk segera menentukan langkah tepat dan cepat dengan meminimalisir dampak bencana agar tidak terjadi dampak lebih besar di tahun mendatang.
Walhi juga mendesak pemerintah agar meninjau ulang Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 362 tahun 2019, tentang Penetapan Kawasan Hutan Sulsel. Kemudian, merevisi Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di Sulsel serta menghapus alokasi ruang reklamasi dan tambang pasir laut.
Pihaknya pun menuntut agar segera hapus alokasi ruang tambang dan Ranperda RTRW di Sulsel. Hentikan pengusutan pelepasan kawasan hutan di Sulsel untuk kepentingan bisnis. Lindungi masyarakat, nelayan dan perempuan di pulau kecil dan pesisir, cabut izin pertambangan di kawasan hutan serta reforestasi DAS di Sulsel.
"Tindak pengusaha dan perusahaannya mencemari lingkungan, terapkan Hak Asasi Manusia dan jangan mengabaikan hak rakyat atas lingkungan hidup," ucapnya menegaskan .