Makassar (ANTARA) - Kepala Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sulawesi Dodi Kurniawan mengatakan pihaknya menangani 78 kasus pada 2021 yang didominasi kasus ilegal loging (pembalakan liar) dan perambahan hutan.
"Selama tiga tahun saya di sini ada 159 kasus ditangani, khusus 2021 ditangani 78 kasus dengan rata-rata 8 kasus per bulan yang ditangani," kata Dodi di Makassar, Rabu, ketika menjelaskan kasus lingkungan dan kehutanan di Sulawesi.
Menurut dia, selain persoalan kehutanan yang kerap terjadi di lapangan, juga persoalan pertambangan dan perburuan serta jual-beli satwa yang dilindungi.
Berkaitan dengan hal tersebut, lanjut dia, pendekatan penanganan yang dilakukan secara multi-door atau dengan banyak pintu. Artinya, jika ada kasus kehutanan bisa ditindaklanjuti instansi lain yang terkait dengan persoalan itu.
Sedang sanksi yang diberikan pada pelaku pelanggaran, Dodi mengatakan, setidaknya ada tiga pendekatan sanksi yakni, sanksi administratif, pidana dan perdata.
"Pada 2020 - 2021 sejumlah perusahaan yang melanggar sudah dibawa ke pengadilan untuk urusan perdata, selain pidananya," katanya.
Dodi mengatakan, dalam lima tahun terakhir nilai dari kasus perdata di Sulawesi mencapai Rp20 triliun. Sedangkan di Makassar sendiri tercatat sekitar Rp4,3 miliar terkait sengketa dan kerusakan lingkungan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Jurnal Celebes Mustam Arif mengatakan, terkait dengan persoalan kehutanan, maka perlu mencermati tata kelola dan konflik kehutanan Sulsel pasca-putusan MK atas UU Cipta Karya.
Dia mengatakan komunitas masyarakat adat dan lokal yang bermukim di dalam dan sekitar hutan sudah sejak lama hidup dengan memanfaatkan hutan sebagai sumber penyedia pangan dari flora dan fauna yang tersedia.
Kearifan masyarakat dalam mengelola hutan secara berkelanjutan tidak lepas dari relasi yang kuat antara masyarakat adat dan lokal. Relasi komunitas dan hutan yang kuat ini kemudian melahirkan berbagai tradisi dan kebudayaan yang beragam dan menjadikan keberadaan kedua entitas ini tetap bertahan.
Melalui Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diberikan wewenang untuk menunjuk dan menetapkan wilayah sebagai kawasan hutan.
"Sayangnya, tanpa melakukan inventarisasi terkait kepemilikan riil di lapangan, penetapan kawasan hutan justru memisahkan masyarakat adat dan lokal di dalam dan sekitar hutan dengan ruang penghidupannya," kata Mustam.
Mengacu pada SK. MenLHK 362/2019, hutan yang tidak masuk dalam kawasan hutan hanya 85.946,29 Ha dari sekitar 1,3 juta Ha. Data ini menunjukkan bagaimana akses masyarakat Sulawesi Selatan terhadap hutan sangat minim. Selain itu, penetapan kawasan hutan secara sepihak juga justru banyak memasukkan pemukiman dan ruang kelola masyarakat sebagai kawasan hutan.
Tangkapan layar Direktur Eksekutif Jurnal Celebes Mustam Arif. Antara / Suriani Mappong
"Selama tiga tahun saya di sini ada 159 kasus ditangani, khusus 2021 ditangani 78 kasus dengan rata-rata 8 kasus per bulan yang ditangani," kata Dodi di Makassar, Rabu, ketika menjelaskan kasus lingkungan dan kehutanan di Sulawesi.
Menurut dia, selain persoalan kehutanan yang kerap terjadi di lapangan, juga persoalan pertambangan dan perburuan serta jual-beli satwa yang dilindungi.
Berkaitan dengan hal tersebut, lanjut dia, pendekatan penanganan yang dilakukan secara multi-door atau dengan banyak pintu. Artinya, jika ada kasus kehutanan bisa ditindaklanjuti instansi lain yang terkait dengan persoalan itu.
Sedang sanksi yang diberikan pada pelaku pelanggaran, Dodi mengatakan, setidaknya ada tiga pendekatan sanksi yakni, sanksi administratif, pidana dan perdata.
"Pada 2020 - 2021 sejumlah perusahaan yang melanggar sudah dibawa ke pengadilan untuk urusan perdata, selain pidananya," katanya.
Dodi mengatakan, dalam lima tahun terakhir nilai dari kasus perdata di Sulawesi mencapai Rp20 triliun. Sedangkan di Makassar sendiri tercatat sekitar Rp4,3 miliar terkait sengketa dan kerusakan lingkungan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Jurnal Celebes Mustam Arif mengatakan, terkait dengan persoalan kehutanan, maka perlu mencermati tata kelola dan konflik kehutanan Sulsel pasca-putusan MK atas UU Cipta Karya.
Dia mengatakan komunitas masyarakat adat dan lokal yang bermukim di dalam dan sekitar hutan sudah sejak lama hidup dengan memanfaatkan hutan sebagai sumber penyedia pangan dari flora dan fauna yang tersedia.
Kearifan masyarakat dalam mengelola hutan secara berkelanjutan tidak lepas dari relasi yang kuat antara masyarakat adat dan lokal. Relasi komunitas dan hutan yang kuat ini kemudian melahirkan berbagai tradisi dan kebudayaan yang beragam dan menjadikan keberadaan kedua entitas ini tetap bertahan.
Melalui Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diberikan wewenang untuk menunjuk dan menetapkan wilayah sebagai kawasan hutan.
"Sayangnya, tanpa melakukan inventarisasi terkait kepemilikan riil di lapangan, penetapan kawasan hutan justru memisahkan masyarakat adat dan lokal di dalam dan sekitar hutan dengan ruang penghidupannya," kata Mustam.
Mengacu pada SK. MenLHK 362/2019, hutan yang tidak masuk dalam kawasan hutan hanya 85.946,29 Ha dari sekitar 1,3 juta Ha. Data ini menunjukkan bagaimana akses masyarakat Sulawesi Selatan terhadap hutan sangat minim. Selain itu, penetapan kawasan hutan secara sepihak juga justru banyak memasukkan pemukiman dan ruang kelola masyarakat sebagai kawasan hutan.