Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan menyatakan ucapan "jin buang anak" yang dilontarkan oleh pegiat media sosial Edy Mulyadi merupakan bentuk ujaran kebencian ("hate speech").
"Kami melihat pernyataan itu bukanlah sebuah produk jurnalistik. Jadi agak sulit kalau Edi Mulyadi akan berlindung pada Undang Undang Pers," kata Edi Hasibuan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.
Pakar Hukum Kepolisian dari Universitas Bhayangkara Jakarta ini mengatakan, pernyataan Edy Mulyadi di media sosial telah menimbulkan ketersinggungan dan menimbulkan kemarahan di tengah masyarakat sehingga sejumlah elemen masyarakat membuat pengaduan ke kepolisian.
Edi Hasibuan bisa memahami bila Edi Mulyadi ingin meminta perlindungan ke Dewan Pers sebab dia juga menjadi pekerja jurnalistik di salah satu media.
Menurut Edi, Edy Mulyadi sebaiknya memenuhi panggilan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk menjelaskan segala sesuatunya yang berkaitan dengan pernyataanya.
"Karena jika panggilan kedua tidak dipenuhi, maka kepolisian memiliki kewenangan melakukan jemput paksa," katanya Edi.
Selain itu, pemerhati kepolisian ini juga meminta Polri tetap profesional dan memegang teguh azas praduga tak bersalah terhadap Edy Mulyadi.
Dia mengatakan agar perkara ujaran kebencian tidak terjadi di media sosial, semua pihak lebih hati-hati menyampaikan pernyataan kepada publik karena bisa menimbulkan ketersinggungan dan kemarahan di masyarakat.
Sebelumnya, Edy Mulyadi di media sosial menyebutkan bahwa lokasi calon ibu kota Negara di Kalimantan Timur merupakan tempat "jin buang anak".
Pernyataan itu memicu sejumlah laporan ke kepolisian di berbagai polda di Indonesia, sehingga Mabes Polri mengambil alih penanganan laporan itu.
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menaikkan kasus ini ke penyidikan dengan memeriksa 30 saksi umum dan delapan saksi ahli.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan, mengatakan, saksi-saksi ahli yang dimintai keterangan antara lain ahli teknologi informasi, pidana, sosiologi, dan bahasa.
Penyidik telah memanggil Edy Mulyadi untuk diperiksa pada Jumat (29/1), tapi dia tidak hadir.
"Kami melihat pernyataan itu bukanlah sebuah produk jurnalistik. Jadi agak sulit kalau Edi Mulyadi akan berlindung pada Undang Undang Pers," kata Edi Hasibuan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.
Pakar Hukum Kepolisian dari Universitas Bhayangkara Jakarta ini mengatakan, pernyataan Edy Mulyadi di media sosial telah menimbulkan ketersinggungan dan menimbulkan kemarahan di tengah masyarakat sehingga sejumlah elemen masyarakat membuat pengaduan ke kepolisian.
Edi Hasibuan bisa memahami bila Edi Mulyadi ingin meminta perlindungan ke Dewan Pers sebab dia juga menjadi pekerja jurnalistik di salah satu media.
Menurut Edi, Edy Mulyadi sebaiknya memenuhi panggilan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk menjelaskan segala sesuatunya yang berkaitan dengan pernyataanya.
"Karena jika panggilan kedua tidak dipenuhi, maka kepolisian memiliki kewenangan melakukan jemput paksa," katanya Edi.
Selain itu, pemerhati kepolisian ini juga meminta Polri tetap profesional dan memegang teguh azas praduga tak bersalah terhadap Edy Mulyadi.
Dia mengatakan agar perkara ujaran kebencian tidak terjadi di media sosial, semua pihak lebih hati-hati menyampaikan pernyataan kepada publik karena bisa menimbulkan ketersinggungan dan kemarahan di masyarakat.
Sebelumnya, Edy Mulyadi di media sosial menyebutkan bahwa lokasi calon ibu kota Negara di Kalimantan Timur merupakan tempat "jin buang anak".
Pernyataan itu memicu sejumlah laporan ke kepolisian di berbagai polda di Indonesia, sehingga Mabes Polri mengambil alih penanganan laporan itu.
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menaikkan kasus ini ke penyidikan dengan memeriksa 30 saksi umum dan delapan saksi ahli.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan, mengatakan, saksi-saksi ahli yang dimintai keterangan antara lain ahli teknologi informasi, pidana, sosiologi, dan bahasa.
Penyidik telah memanggil Edy Mulyadi untuk diperiksa pada Jumat (29/1), tapi dia tidak hadir.