Palu (ANTARA News) - Warga Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, meminta pemerintah kabupaten setempat tetap mempertahankan fungsi dan nama lapangan Haji Hayun menyusul rencana pemerintah mengubah lapangan tersebut menjadi taman kota.
"Saya mewakili masyarakat dari Desa Salumpaga memohon kepada pemerintah daerah agar tidak mengubah fungsi lapangan itu menjadi taman kota apalagi mengubah namanya," kata Ruspan Hendrik, seorang tokoh masyarakat Salumpaga melalui telepon dari Tolitoli, Kamis.
Ruspan mengatakanbahwa masyarakat sangat berharap dukungan media massa untuk menyampaikan ke pemerintah daerah setempat agar tidak mengubah lapangan Haji Hayun tersebut.
Dia mengatakan bahwa pemberian nama lapangan itu dengan nama Haji Hayun merupakan bentuk penghormatan pemerintah daerah kepada tokoh Salumpaga, Haji Hayun yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Belanda pada 5 Juni 1919 atas kerja paksa rakyat yang diterapkan pemerintah Belanda.
Dalam buku mengenal 'Buol dan Tolitoli' diceritakan bahwa pemberontakan rakyat dari Salumpaga tersebut menewaskan sejumlah warga termasuk kepala Pemerintahan Belanda di Tolitoli Controleur J.P de Kat Angelino, Haji Mohammad Ali Bantilan (raja Tolitoli yang ikut bersama rombongan Kat Angelino) dan beberapa petinggi pemerintahan Belanda lainnya.
Sementara Haji Hayun dan sejumlah tokoh masyarakat penggerak pemberontakan ditangkap dan dijebloskan ke penjara, lalu diasingkan ke Manado, Makassar bahkan ada yang dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya.
Ruspan mengatakan, jika pemerintah mengubah nama dan mengubah fungsi lapangan Haji Hayun sama saja melupakan sejarah perjuangan rakyat dalam melawan penjajah Belanda.
"Kalau pemerintah kabupaten mengubah lapangan itu kami akan marah besar," kata Ruspan.
Selama ini lapangan Haji Hayun yang terletak di Kecamatan Baolan, Ibu kota Kabupaten Tolitoli difungsikan sebagai pusat kegiatan olahraga, upacara hari-hari besar dan pertunjukan.
Tahun 2011 pemerintah Tolitoli di bawah kepemimpinan Bupati Mohammad Saleh Bantilan membongkar sebagian fasilitas gedung dan tugu Pancasila di lapangan tersebut untuk dijadikan taman kota dengan anggaran Rp1,9 miliar.
Ruspan khawatir rencana pemerintah tersebut akan mengubah fungsi dan mengubah nama lapangan tersebut.
Sementara itu Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Tolitoli Fahrul Baramuli mengatakan pembongkaran gedung dan tugu Pancasila di lapangan tersebut diduga tidak melalui proses penghapusan aset sehingga diduga ada kerugian negara dari pembongkaran tersebut.
Selain itu kata dia, pengerjaan proyek lapangan Haji Hayun sudah menyeberang tahun anggaran dari 2011 ke 2012. Hal ini kata dia patut dipertanyakan karena pengerajaan proyeknya tidak tepat waktu.
Fahrul mengatakan alasan pemerintah memberikan adendum kepada pelaksana proyek tidak beralasan karena adendum tersebut diberikan jika terdapat gangguan alam seperti bencana alam. (T.A055/R007)
"Saya mewakili masyarakat dari Desa Salumpaga memohon kepada pemerintah daerah agar tidak mengubah fungsi lapangan itu menjadi taman kota apalagi mengubah namanya," kata Ruspan Hendrik, seorang tokoh masyarakat Salumpaga melalui telepon dari Tolitoli, Kamis.
Ruspan mengatakanbahwa masyarakat sangat berharap dukungan media massa untuk menyampaikan ke pemerintah daerah setempat agar tidak mengubah lapangan Haji Hayun tersebut.
Dia mengatakan bahwa pemberian nama lapangan itu dengan nama Haji Hayun merupakan bentuk penghormatan pemerintah daerah kepada tokoh Salumpaga, Haji Hayun yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Belanda pada 5 Juni 1919 atas kerja paksa rakyat yang diterapkan pemerintah Belanda.
Dalam buku mengenal 'Buol dan Tolitoli' diceritakan bahwa pemberontakan rakyat dari Salumpaga tersebut menewaskan sejumlah warga termasuk kepala Pemerintahan Belanda di Tolitoli Controleur J.P de Kat Angelino, Haji Mohammad Ali Bantilan (raja Tolitoli yang ikut bersama rombongan Kat Angelino) dan beberapa petinggi pemerintahan Belanda lainnya.
Sementara Haji Hayun dan sejumlah tokoh masyarakat penggerak pemberontakan ditangkap dan dijebloskan ke penjara, lalu diasingkan ke Manado, Makassar bahkan ada yang dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya.
Ruspan mengatakan, jika pemerintah mengubah nama dan mengubah fungsi lapangan Haji Hayun sama saja melupakan sejarah perjuangan rakyat dalam melawan penjajah Belanda.
"Kalau pemerintah kabupaten mengubah lapangan itu kami akan marah besar," kata Ruspan.
Selama ini lapangan Haji Hayun yang terletak di Kecamatan Baolan, Ibu kota Kabupaten Tolitoli difungsikan sebagai pusat kegiatan olahraga, upacara hari-hari besar dan pertunjukan.
Tahun 2011 pemerintah Tolitoli di bawah kepemimpinan Bupati Mohammad Saleh Bantilan membongkar sebagian fasilitas gedung dan tugu Pancasila di lapangan tersebut untuk dijadikan taman kota dengan anggaran Rp1,9 miliar.
Ruspan khawatir rencana pemerintah tersebut akan mengubah fungsi dan mengubah nama lapangan tersebut.
Sementara itu Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Tolitoli Fahrul Baramuli mengatakan pembongkaran gedung dan tugu Pancasila di lapangan tersebut diduga tidak melalui proses penghapusan aset sehingga diduga ada kerugian negara dari pembongkaran tersebut.
Selain itu kata dia, pengerjaan proyek lapangan Haji Hayun sudah menyeberang tahun anggaran dari 2011 ke 2012. Hal ini kata dia patut dipertanyakan karena pengerajaan proyeknya tidak tepat waktu.
Fahrul mengatakan alasan pemerintah memberikan adendum kepada pelaksana proyek tidak beralasan karena adendum tersebut diberikan jika terdapat gangguan alam seperti bencana alam. (T.A055/R007)