Jakarta (ANTARA) - Ketua Sub-Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Theresia Iswarini mendorong pengintegrasian perspektif gender ke dalam ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
"Kejahatan penghilangan paksa memiliki dampak yang khusus dan berbeda kepada perempuan karena siklus kekerasan yang berlanjut pada kelelahan psikis dan fisik, selain gangguan psikologis atau kesehatan jiwa,' kata Theresia.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam media briefing bertajuk "Setelah 11 Tahun: Bagaimana Kabar Konvensi Anti Penghilangan Paksa?" yang disiarkan di kanal YouTube INFID TV, dipantau dari Jakarta, Jumat.
Theresia menegaskan bahwa penghilangan paksa tidak hanya memengaruhi kondisi perekonomian keluarga, tetapi juga secara signifikan mengganggu, bahkan merusak tatanan keluarga sebagai unit sosial terkecil di dalam masyarakat.
Ketidakjelasan status korban, kata dia, juga menyebabkan persoalan administrasi yang dapat berdampak ekonomi dan juga sosial, termasuk stigma dan alienasi yang harus dihadapi oleh keluarga korban.
Lebih lanjut, semua kondisi diperburuk dengan konstruksi sosial yang berlaku, yakni ketika perempuan kerap dipinggirkan dalam sejarah, tradisi, agama, budaya, serta hukum yang berlaku.
"Meski demikian, perempuan juga memiliki cara khusus dan unik untuk membangun upaya bertahan, baik yang sifatnya individual atau berkelompok," ucap dia.
Oleh karena itu ia mendorong agar ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa mengintegrasikan pendekatan gender dalam setiap proses penyelesaian kasus penghilangan paksa.
"Termasuk pencarian kebenaran, pembentukan komisi kebenaran, dan pemulihan bagi korban," ujar Theresia.
Ia juga meminta kepada negara untuk menjamin alokasi anggaran untuk melakukan analisis berperspektif gender, serta keahlian dan pelatihan yang memperhatikan dampak-dampak kepada perempuan dari situasi penghilangan paksa.
"Para pihak harus memastikan pemenuhan hak perempuan atas pemulihan yang mencakup hak atas reparasi yang memadai dan efektif untuk pelanggaran hak-hak mereka," tuturnya.
"Kejahatan penghilangan paksa memiliki dampak yang khusus dan berbeda kepada perempuan karena siklus kekerasan yang berlanjut pada kelelahan psikis dan fisik, selain gangguan psikologis atau kesehatan jiwa,' kata Theresia.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam media briefing bertajuk "Setelah 11 Tahun: Bagaimana Kabar Konvensi Anti Penghilangan Paksa?" yang disiarkan di kanal YouTube INFID TV, dipantau dari Jakarta, Jumat.
Theresia menegaskan bahwa penghilangan paksa tidak hanya memengaruhi kondisi perekonomian keluarga, tetapi juga secara signifikan mengganggu, bahkan merusak tatanan keluarga sebagai unit sosial terkecil di dalam masyarakat.
Ketidakjelasan status korban, kata dia, juga menyebabkan persoalan administrasi yang dapat berdampak ekonomi dan juga sosial, termasuk stigma dan alienasi yang harus dihadapi oleh keluarga korban.
Lebih lanjut, semua kondisi diperburuk dengan konstruksi sosial yang berlaku, yakni ketika perempuan kerap dipinggirkan dalam sejarah, tradisi, agama, budaya, serta hukum yang berlaku.
"Meski demikian, perempuan juga memiliki cara khusus dan unik untuk membangun upaya bertahan, baik yang sifatnya individual atau berkelompok," ucap dia.
Oleh karena itu ia mendorong agar ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa mengintegrasikan pendekatan gender dalam setiap proses penyelesaian kasus penghilangan paksa.
"Termasuk pencarian kebenaran, pembentukan komisi kebenaran, dan pemulihan bagi korban," ujar Theresia.
Ia juga meminta kepada negara untuk menjamin alokasi anggaran untuk melakukan analisis berperspektif gender, serta keahlian dan pelatihan yang memperhatikan dampak-dampak kepada perempuan dari situasi penghilangan paksa.
"Para pihak harus memastikan pemenuhan hak perempuan atas pemulihan yang mencakup hak atas reparasi yang memadai dan efektif untuk pelanggaran hak-hak mereka," tuturnya.