Makassar (ANTARA) - Menyebut Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan, maka akan terpampang segudang cerita dan sejarah. Warganya pun kerap menyandang gelar sebagai “pa’sompe” (perantau) yang di tanah Bugis menjadi kebanggaan tersendiri.

Magnet yang selalu menggiurkan untuk menjadi perantau selama ini, karena adanya perbedaan nilai mata uang dengan negara tetangga, khususnya Malaysia tentu menjadi impian manis bagi pa’sompe yang istilah lazimnya adalah buruh migran.

Impian itu kemudian diperkuat ketika ada anggota keluarga, tetangga ataupun kerabat yang kembali ke kampung halaman dengan membawa kesuksesan yang terjabar dari materi yang berhasil dikumpulkan, maupun gaya hidup yang lebih “wah”.

“Kalau selama ini, hidup kami pas-pasan saja, tentu kami ingin mendapat lebih agar bisa hidup lebih sejahtera dan bisa ke tanah suci,” kata salah seorang warga Desa Mallari, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan Sab’ina (45).

Karena itulah, suaminya Ridwan (47) pun merantau ke negeri Jiran Malaysia dengan harapan dapat mengubah nasib, meskipun harus meninggalkan isteri dan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Menurut perempuan yang aktif mengikuti kegiatan kemasyarakatan di Kantor Desa Mallari ini, karena suaminya hanya terbiasa melaut mencari ikan, maka pekerjaan yang digelutinya di negara tetangga, juga sebagai nelayan.

Sementara warga lainnya, Hj Nurjannah mengaku sudah sekitar 20 tahun ditinggalkan suami H Muh Arif untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sabah, Malaysia. Sebelumnya pernah ikut merantau bersama suami di Malaysia, namun akhirnya pulang kampung untuk menyekolahkan keempat anaknya.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, kedua mantan pa'sompe ini tidak cukup mengandalkan kiriman dari suami di rantau, karena bisa saja kiriman belum tiba, sementara kebutuhan konsumsi atau biaya sekolah anak sudah mendesak.

Kondisi itulah yang dialami sebagian besar perempuan di Desa Mallari, sehingga memutuskan untuk membudidayakan rumput laut di pesisir pantai yang tak jauh dari pemukimannya.

Dalam membudidayakan rumput laut, membutuhkan dana sekitar Rp1,5 juta untuk membeli bibit rumput laut dan tali.

"Di tengah kebingungan mencari modal, untunglah Bu Sab’ina memberikan informasi jika Credit Union (CU) Pammase yang dibina Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Kabupaten Bone dapat meminjamkan kredit modal usaha,” kata Nurjanna.

Tanpa melalui prosedur yang panjang dan agunan, kebutuhan dana itu pun akhir tertutupi dan budi daya rumput lautnya mulai berkembang.

Dari hasil penjualan rumput laut yang umumnya dibeli oleh pedagang pengumpul seharga Rp15 ribu per kilogram, selanjutnya sebagian dari penjualan rumput laut itu digunakan membayar cicilan kredit Rp142 ribu per bulan selama 12 bulan.

Mirip dengan kisah Hj Nurjannah, warga Mallari lainnya yakni Hj Syamsidar juga sempat merantau ke Malaysia dan menjadi buruh migran, namun kemudian memilih kembali ke kampungnya untuk menyekolahkan anak dan menjadi “single parent”, karena suaminya masih bertahan di Malaysia dalam 25 tahun terakhir.

Kini, dua dari tiga anaknya sudah lulus di perguruan tinggi, yang tertua menuntut ilmu di Akademi Pelayaran Barombong, Makassar dan anak keduanya di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bone.

Hal serupa juga dialami Hj Mardiati yang harus rela berpisah dengan suaminya, Alimuddin yang bekerja di pelabuhan ataupun di pabrik kilang, Malaysia dalam kurun waktu 20 tahun.

Sementara Rosmiati yang bernasib sama dengan Mardiati, juga harus menanggung beban keluarga dan menyekolahkan ketiga orang anaknya.

“Untuk membatu biaya perlengkapan sekolah anak, saya pinjam ke CU Pammase Rp2 juta dan kemudian membayar cicilan itu dari hasil upah budidaya rumput laut milik saudara,” katanya.

Pejuang devisa
Potret perempuan yang pernah menjadi pejuang devisa itu dan harus berjuang kembali menghidupi keluarganya di kampung halaman, diakui Kepala Desa Mallari A Wahyuli yang memimpin lima dusun di wilayah kerjanya.

Menurut dia, dari sekitar 650 kepala keluarga (KK) sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan.

“Kelompok perempuan atau ibu-ibu juga turut bertani, baik padi maupun rumput laut, disesuaikan dengan musimnya saja. Khusus perempuan buruh migran, sekembalinya di kampung mereka memilih membudidayakan rumput laut, baik diusahakan sendiri maupun hanya sebagai buruh upahan,” katanya.

Sementara keberadaan LPP dengan CU Pammase ini, dinilai sangat membantu pemberdayaan perempuan di desanya, khususnya dari sisi peningkatan ekonomi keluarga yang berdampak pada upaya mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan anak usia sekolah.

Hal tersebut mendukung prinsip para buruh migran yang pulang kampung bahwa jika tidak sempat mengecap pendidikan, karena harus menjadi buruh migran, maka anak-anak merekalah harus memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari orang tuanya.

"Agar kelak mereka dengan pengetahuan yang lebih tinggi, tidak gampang diiming-iming kerja di luar negeri dengan gaji menggiurkan, tetapi bagaimana anak-anak ke depan bisa berkreasi menciptakan lapangan kerja," kata Wahyuli.

Selain itu, melalui program kemitraan dengan semua “stakeholder” itu diharapkan, akan terbangun kesadaran masyarakat untuk lebih memberdayakan diri dan tidak mudah diiming-imingi dengan kehidupan materi yang belum tentu benar dalam proses pencapainnya.

Sementara kehadiran CU Pammase ini di tengah-tengah buruh dan mantan buruh migran ini, berangkat dari keinginan membantu para mantan atau yang masih aktif sebagai buruh migran untuk menyelamatkan kiriman uangnya dari luar negeri.

Menurut Dewan Pendiri/Pembina LPP Bone Asia A Pananrangi, kiriman uang lewat calo, teman ataupun kerabat buruh migran, kerap tidak sampai ke tangan keluarga penitip, sehingga pengelola LPP menginisiasi membentuk CU Pammase yang diprioritaskan untuk para buruh migran setelah melakukan identifikasi masalah pada kantong-kantong buruh migran di Kabupaten Bone.

Target pertama dari pembentukan koperasi itu pada 2011 adalah menekan praktik penipuan pada “pejuang devisa”. Melalui kredit mikro itu, dapat memfasilitasi buruh migran atau keluarga mantan buruh migran dalam mengirim dan menerima uang, termasuk dapat meminjam jika membutuhkan dana, baik untuk kebutuhan keluarga, kebutuhan sekolah maupun modal usaha.

Mencermati semua kondisi tersebut, bagi buruh migran maupun mantan buruh migran hendaknya dapat merenungkan pepatah kuno yang menyebutkan, “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, masih lebih baik di negeri sendiri.”

Hanya saja, pepatah itu masih perlu disempurnakan, bahwa hujan batu di negeri sendiri harus dapat diubah menjadi hujan emas dengan giat berusaha dan mampu bersinergi dengan pihak lain. Hal ini sejalan dengan misi perjuangan RA Kartini untuk bangkit dari keterpurukan dan keterbelakangan.
 

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Redaktur Makassar
Copyright © ANTARA 2024