Mamuju (ANTARA) - Praktisi Hukum dari kalangan akademisi di Provinsi Sulawesi Barat Rahmat Idrus mengatakan walaupun penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah merupakan hak prerogatif presiden, tetapi semestinya tetap mempertimbangkan kondisi daerah dan aspek lainnya yang ada di daerah. 

"Memang secara tegas, tidak ada regulasi yang melarang hal tersebut. Tetapi, walaupun itu hak prerogatif presiden, namun semestinya tetap mempertimbangkan berbagai aspek di daerah itu," kata Rahmat Idrus, dihubungi di Mamuju, Jumat. 

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Tomakaka Mamuju itu, penunjukan penjabat kepala daerah dari kalangan TNI/Polri aktif kemungkinan adanya pertimbangan faktor keamanan suatu daerah. 

"Contoh untuk daerah-daerah yang dikategorikan daerah rawan konflik berarti dari pertimbangan itu, mungkin penunjukan penjabat kepala daerah dari TNI/Polri cukup baik dan menguntungkan daerah itu, seperti Papua misalnya," terang Rahmat Idrus. 

Tetapi, kata dia, jika penunjukan penjabat kepala daerah dari TNI/Polri di daerah yang bukan rawan konflik menurut Rahmat Idrus, akan menimbulkan berbagai persepsi dari masyarakat. 

Ia menggambarkan jika penunjukan penjabat kepala daerah pada daerah yang bukan rawan konflik, maka masyarakat setempat akan beranggapan bahwa mereka kurang tertib. 

Begitu pun, lanjut mantan Ketua Komisi Informasi (KI) Sulbar itu, penunjukan penjabat kepala daerah dari TNI/Polri, dapat menimbulkan kesan bahwa para pejabat di daerah itu kurang disiplin. 

"Tentu, akan ada kesan tersendiri bagi masyarakat di daerah itu bahwa koq penjabatnya diambil dari TNI/Polri yang aktif. Apakah kita dianggap masyarakat kurang tertib atau apa. Jadi, bisa saja muncul penilaian dari masyarakat seperti itu," paparnya. 

"Atau aparat pemerintah setempat, seperti para dinas. Tujuannya, menerbitkan kepala dinasnya untuk membuat mereka lebih disiplin. Biasanya seperti itu kesannya," jelas Rahmat Idrus. 

Ia menyampaikan bahwa Sulbar memiliki pengalaman dipimpin penjabat gubernur perwira tinggi Polri, yakni Irjen Polisi Carlo Brix Tewu, saat masa transisi pemilihan kepala daerah setempat pada 2016.

"Sisi positifnya, saat itu memang para pejabat di lingkup Pemprov Sulbar dan instansi-instansi, lebih disiplin," ujar Rahmat Idrus. 

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Sulbar itu mengatakan, walaupun penunjukan penjabat kepala daerah itu hak prerogatif presiden, tetapi semestinya tetap mempertimbangkan berbagai aspek yang ada di daerah. 

Seperti tambahnya, aspek sosial, kultur atau budaya masyarakat setempat. 

"Itu yang tidak kalah pentingnya di situ, terutama penerimaan masyarakat sih sebenarnya. Saya kira juga, sebelum menunjuk penjabat harus mengetahui kultur masyarakat setempat apakah pas dengan sosok yang bersangkutan," ujarnya.

Pewarta : Amirullah
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024