Makassar (ANTARA) - Menanam komoditas unggulan, apalagi yang bernilai ekspor, tentu menjadi impian setiap petani yang ingin memperoleh tingkat kesejahteraan yang lebih baik dari sebelumnya. Setidaknya itulah yang dialami sejumlah petani sawit, di antaranya  Anwar, di Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Lelaki paruh baya itu menceritakan, jika sebelumnya keluarganya pada era 1990-an adalah petani kakao dan mencapai puncak kejayaannya di era 2000-an, saat terjadi krisis ekonomi I di Indonesia pada 1998. Ketika itu, harga komoditas ekspor meningkat drastis saat  1 dolar AS senilai Rp15 ribu.

Semua petani yang menanam komoditas ekspor seperti kakao, kopi, rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, dapat menikmati harga produksi yang melambung tinggi saat krisis ekonomi melanda dunia termasuk Indonesia.

Namun, setelah ekonomi dalam negeri kembali membaik, harga kakao pun kembali ke harga semula, hingga suatu ketika hama penggerek buah kakao (PBK) sulit dikendalikan, dan perawatan kakao pun dinilai cukup ribet.

Akibatnya, keluarga Anwar dan sebagian petani di Luwu Utara menebang tamanan kakaonya dan mengganti dengan tanaman sawit yang dinilai lebih menjanjikan. Selain itu, perawatannya tidak serewel tanaman kakao.

Setelah sekian tahun menunggu, akhirnya buah perdana sawitpun muncul dan memberikan lembar demi lembar uang rupiah yang lebih banyak daripada hasil panen kakao yang nilainya kerap turun karena serangan PBK,  ataupun kadar airnya tidak sesuai yang diharapkan perusahaan pembeli.

Melihat contoh petani yang berhasil mengembangkan sawit diawal abad ke-20 itu, maka petani yang prospek kakaonya kurang baik, ramai-ramai beralih menjadikan lahan mereka sebagai lahan kelapa sawit.

Menurut pendiri lembaga nonpemerintah Wallacea, Sainal, mengatakan, pengembangan tanaman kakao ataupun sawit akan berkembang dengan sendirinya secara nasional. Hal itu karena petani melihat pootensi maupun harga yang menguntungkan baginya. Bahkan, menjadi petani pun sebagai pilihan terakhir, kalau tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menjadi petani.

Tak heran jika areal kakao dan sawit di Luwu utara  saat ini seakan berkejar-kejaran.  Berdasarkan data Dinas Pertanian Luwu Utara diketahui,  pada 2015 luas areal kakao tercatat 32.212,67 hektare dan sawit seluas 16.534,48 hektare.

Sementara pada 2021 luas areal komoditas kakao sebanyak 38.367,84 hektare  dan komoditi sawit  sebanyak 23.988 hektare.

Kendati areal tanaman kakao masih lebih luas dibandingkan sawit, namun dari sisi pertumbuhan areal sawit dalam kurun enam tahun (2015 - 2021), lahan sawit jauh lebih berkembang daripada kakao.

Dari sisi jumlah petani yang menggeluti kakao di Luwu Utara, pada 2021 tercatat sebanyak 26.587 Kepala Keluarga (KK), sedangkan petani sawit hanya 15.395 KK.

Terkait perkembangan petani sawit ini, Kepala Dinas Pertanian Luwu Utara, Rusydi Rasyid, mengakui, adanya petani kakao yang beralih ke sawit dengan alasan harga sawit jauh lebih
menjanjikan dan perawatan tanamannya tidak terlalu berat.
  Petani sawit yang mengembangkan tanaman sawit di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Antara/ Suriani Mappong
Petani mandiri

Pilihan menjadi petani sawit setelah beralih komoditas, ternyata tidak selesai sampai di situ saja. Ada banyak tantangan dan kendala yang harus dihadapi sebagai petani sawit mandiri di antaranya mengenai  pengadaan sarana produksi (Saprodi).

Selaku petani sawit mandiri, Masnur yang mengembangkan sawit di Kecamatan Bone-Bone, Luwu Utara, mengatakan,  masalah pengadaan Saprodi berupa pupuk cukup terasa, karena yang didahulukan memperoleh pupuk adalah mereka yang tergabung dalam sebuah perusahaan atau lembaga.

Menghadapi persoalan tersebut, petani mandiri berupaya memenuhi kebutuhan pupuknya dengan pupuk kompos yang dibuat warga setempat, meskipun diakui masih sedikit petani yang memilih ini sebagai solusi.

Ketergantungan pada pupuk kimia masih mendominasi para petani sawit, sehingga jika tidak mendapatkan di pasaran, lahan sawitnya dapat menurun produksinya.

Belum lagi persoalan tanaman sawit yang sudah di atas 20 tahun, sehingga produktivitasnya terus menurun. Karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk peremajaan tanaman sawit dengan memberikan bantuan dana Rp25 juta - Rp30 juta per hektare.

Hanya saja, menurut petani sawit, Jamil,  yang sudah 40 tahun lebih mengembangkan sawit, tidak semua petani sawit dapat bantuan peremajaan tanaman tersebut. Kalaupun dapat,  bukan dalam bentuk dana utuh melainkan berupa saprodi dan bibit tanaman yang nilainya bisa saja tidak sama dengan kebijakan pemerintah.

Sementara itu,   Kepala Dinas Pertanian Luwu Utara, Rusydi Rasyid,  mengatakan, program peremajaan tanaman sawit yang sudah berusia 20 tahun ke atas sudah ada sejak 2018, dan berlanjut hingga saat ini, karena masih banyak tanaman sawit yang sudah tua.

Selain itu, ada program pengembangan tanaman sawit dengan memanfaatkan lahan kosong dari lahan tidur yang ada. Hanya saja diakui luasan lahan kakao hingga saat ini masih jauh lebih luas dibandingkan sawit.

Meskipun diakui lahan kakao sempat anjlok dari 56 ribu hektare menjadi separuhnya, karena banyak petani beralih ke komoditas ke sawit. Namun sekarang sudah sudah kembali menjadi 38 ribu hektare.

Hanya saja untuk mengembalikan luasan lahan kakao sama dengan sebelumnya diakui sulit,  karena petani kakao sudah lebih suka mengurus lahan sawit daripada kakao yang membutuhkan perawatan yang lebih intensif.

Berkaitan dengan hal tersebut, kemudian dibuat Peta Jalan Kakao Berkelanjutan agar petani kakao dan sawit masing-masing mengetahui batas-batas pengembangan lahannya.


Penjualan 

Sementara itu, dari sisi harga penjualan produksi sawit, Jamil mengatakan, petani mandiri lebih bebas menjual produksinya pada pabrik pengolahan yang memberikan harga yang pantas. Berbeda dengan petani sawit plasma atau inti yang terikat menjual produksinya pada perusahaan yang membawahinya.

"Setidaknya ada enam pabrik pengolahan sawit yang tergolong besar di Luwu Utara. Kami, petani sawit mandiri bebas menjual kepada pabrik mana saja yang bisa memberikan harga yang lebih baik," katanya.

Tentu saja dengan mempertimbangkan biaya produksi, pembelian hasil produksi diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi petani selaku produsen, kendati . harapan itu tidak selamanya terwujud ketika harga sawit anjlok di kisaran Rp2 ribu per kilogram.

Kondisi itu, disikapi dengan adanya kebijakan pemerintah daerah setempat. Bupati Luwu Utara, Hj Indah Putri Indriani, membantu petani mendapatkan harga sawit yang pantas.

Sebelumnya pemerintah pusat sudah mengeluarkan kebijakan dan menganggap harga sawit Rp1.600 per kilogram itu sudah batas aman, namun bagi petani harga tersebut tidak sebanding dengan biaya sarana produksi (Saprodi) yang dikeluarkan.

Karena itu, Pemkab Luwu Utara tengah menggodok kebijakan untuk memberikan batas pembelian produksi sawit petani yang dinilai pantas yakni Rp2.500 per kg untuk Buah Tandang Segar (BTS).

Sementara harga sawit di tingkat petani saat ini Rp2.200 - Rp2.300 per kilogram. Harga sawit pernah mencapai Rp3.500 per kilogram sebagai harga tertinggi yang dinikmati petani.

Tentu harga tersebut diharapkan dapat dicapai kembali, agar jerih payah petani terbayarkan. Bukan sekedar gali lubang tutup lubang, bila harga jual tidak seimbang dengan biaya produksi 

Dengan kondisi seperti ini,  diharapan kebijakan yang berpihak pada upaya mensejahterakan petani dapat diwujudkan oleh pemerintah melalui campur tangan dalam bentuk kebijakan.

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Redaktur Makassar
Copyright © ANTARA 2024