Makassar (ANTARA) - Petani di Kabupaten Takalar memanfaatkan limbah bonggol jagung untuk mendukung program cofiring atau pengganti bahan bakar batubara di PLTU Punagaya di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
"Pontensi jagung di Kabupaten Takalar sangat besar, rata-rata per hektare dapat menghasilkan 2 ton jagung," kata Kepala Desa Bontoloe H Amir Guliling di Kecamaan Galesong, Kabupaten Takalar, Senin.
Menurut pengelola Bank Sampah Bonggol Jagung ini, pada saat musim panen jagung selama ini bonggol jagung hanya menjadi sampah dan dibuang atau dibakar saja.
Namun sejak 2021, lanjut dia, bonggol jagung di desanya yang memiliki enam dusun, rata-rata petaninya sudah mengumpulkan bonggol jagungnya dan membawa ke Bank Sampah Bonggol Jagung di Desa Bontoloe.
Sementara itu, Edward yang merupakan pemilik perusahaan pengelola bonggol jagung di Kabupaten Takalar mengatakan, rata-rata per hari mengolah sekitar 20 ton bonggol jagung untuk menjadi bahan bakar pengganti batubara (cofiring).
"Selama ini kami menyuplai PLTU Punagaya untuk memenuhi program Cofiring PLN dalam mengurangi penggunakan batubara dalam operasional pembangkit listrik itu," katanya.
Hal tersebut dibenarkan Vice President Bioenergy PLN, Anita Puspita Sari.
Menurut dia, PLTU Punagaya yang berkapasitas 2 x 100 Mega Watt (MW) merupakan salah satu PLTU dalam sistem kelistrikan Sulawesi Bagian Selatan yang menerapkan cofiring.
Dia menjelaskan, PLTU Punagaya sejak Februari 2021 sudah memanfaatan limbah domestik berupa bonggol jagung sebagai bahan bakar alternatif campuran batubara guna peningkatan kualitas produksi listrik serta rantai pasok energi primer pada PLTU.
"karena itu, ke depan diharapkan kabupaten di sekitar PLTU Punagaya seperti Kabupaten Takalar, Jeneponto dan Gowa, petani jagungnya dapat memaksimalkan pengumpulan bonggol jagungnya untuk mendukung program Cofiring PLN," katanya.
Suasana produksi bonggol jagung menjadi bahan bakar pengganti batubara (Cofiring) untuk suplai pendamping pembakaran di PLYU Punagaya di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Antara/ Suriani Mappong
"Pontensi jagung di Kabupaten Takalar sangat besar, rata-rata per hektare dapat menghasilkan 2 ton jagung," kata Kepala Desa Bontoloe H Amir Guliling di Kecamaan Galesong, Kabupaten Takalar, Senin.
Menurut pengelola Bank Sampah Bonggol Jagung ini, pada saat musim panen jagung selama ini bonggol jagung hanya menjadi sampah dan dibuang atau dibakar saja.
Namun sejak 2021, lanjut dia, bonggol jagung di desanya yang memiliki enam dusun, rata-rata petaninya sudah mengumpulkan bonggol jagungnya dan membawa ke Bank Sampah Bonggol Jagung di Desa Bontoloe.
Sementara itu, Edward yang merupakan pemilik perusahaan pengelola bonggol jagung di Kabupaten Takalar mengatakan, rata-rata per hari mengolah sekitar 20 ton bonggol jagung untuk menjadi bahan bakar pengganti batubara (cofiring).
"Selama ini kami menyuplai PLTU Punagaya untuk memenuhi program Cofiring PLN dalam mengurangi penggunakan batubara dalam operasional pembangkit listrik itu," katanya.
Hal tersebut dibenarkan Vice President Bioenergy PLN, Anita Puspita Sari.
Menurut dia, PLTU Punagaya yang berkapasitas 2 x 100 Mega Watt (MW) merupakan salah satu PLTU dalam sistem kelistrikan Sulawesi Bagian Selatan yang menerapkan cofiring.
Dia menjelaskan, PLTU Punagaya sejak Februari 2021 sudah memanfaatan limbah domestik berupa bonggol jagung sebagai bahan bakar alternatif campuran batubara guna peningkatan kualitas produksi listrik serta rantai pasok energi primer pada PLTU.
"karena itu, ke depan diharapkan kabupaten di sekitar PLTU Punagaya seperti Kabupaten Takalar, Jeneponto dan Gowa, petani jagungnya dapat memaksimalkan pengumpulan bonggol jagungnya untuk mendukung program Cofiring PLN," katanya.