Jakarta (ANTARA) - Ketika gempa bumi mengguncang Turki pada 17 Agustus 1999 dan merenggut 19.000 jiwa, pemerintah Turki saat itu dikritik keras oleh oposisi dan masyarakat sipil yang menuding pemerintah Perdana Menteri Bulent Ecevit lamban menangani gempa sehingga banyak orang tak terselamatkan.
Menteri kesehatan saat itu, Osman Durmus yang berasal dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP) dan berkoalisi dengan pemerintahan pimpinan Partai Kiri Demokratik (DSP), bahkan menampik bantuan asing untuk mengatasi dampak gempa 1999.
Di antara yang vokal mengkritik pemerintahan Ecevit adalah Recep Tayyip Erdogan yang setahun sebelumnya menjabat wali kota Istanbul.
MHP berkoalisi dengan DSP yang meraih suara terbanyak pada pemilu legislatif April 1999. Koalisi ini juga beranggotakan Partai Tanah Air (ANAP).
Respons buruk pemerintah koalisi DSP-MHP membawa koalisi ini ambruk dalam pemilu 2002 setelah kekuatan baru bernama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan menang telak dalam pemilu itu.
AKP menjadi kekuatan alternatif ketika kebanyakan rakyat sudah muak dengan pemerintahan koalisi DSP, termasuk akibat respons buruk mereka terhadap dampak gempa 1999.
Setelah 24 tahun kemudian pada Februari tahun ini, giliran AKP dan Erdogan yang dituding lamban merespons dampak gempa setelah gempa dahsyat Magnitudo 7,8 pada 6 Februari merenggut korban yang jauh lebih banyak dari korban gempa 1999.
Sampai tulisan ini disiarkan, korban gempa yang terjadi dua pekan lalu di Turki dan Suriah itu sudah merenggut lebih dari 4.500 nyawa manusia.
Salah satu reaksi lamban Erdogan adalah tidak cepat mengerahkan militer dalam proses pencarian dan penyelamatan korban gempa.
Erdogan baru mengerahkan militer setelah mengumumkan keadaan darurat yang dipandang oposisi sebagai selubung untuk menekan musuh-musuh pemerintah.
Hubungan antara AKP-Erdogan dan militer sendiri tak benar-benar baik, terutama akibat kudeta gagal 2016 yang melibatkan sejumlah perwira militer dan gerakan pimpinan ulama Fethullah Gulen yang berpengaruh luas di kalangan terdidik, birokrasi, militer, dan sistem penegakan hukum Turki.
Kudeta gagal 2016 itu menjadi pintu masuk bagi Erdogan untuk melumpuhkan musuh-musuh politiknya, termasuk untuk semakin meminggirkan militer dari dunia politik yang sudah terjadi sejak akhir 1990-an.
Sejak Mustafa Kemal Attaturk menguasai Turki pada 1923, militer menjadi kekuatan dominan. Mereka menjadi pengawal setia untuk sekularisme Turki.
Namun, setelah membubarkan pemerintahan Perdana Menteri Necmetin Erbakan lewat kudeta terselubung pada 1997, posisi militer mulai goyah.
Hubungan dengan militer
Erbakan adalah pendiri Partai Refah (Partai Kesejahteraan) yang berorientasi Islam politik dan untuk itu dianggap bertentangan dengan sekularisme yang dijaga kuat oleh militer.
Pada Pemilu 1999 ketika peserta pemilu hampir semuanya partai sekuler, partai berbasis agama tiarap setelah Refah dinyatakan sebagai partai terlarang menyusul penggulingan Erbakan pada 1997.
Pemilu 1999 melontarkan DSP sebagai peraih suara terbanyak tapi tak mencapai mayoritas sehingga harus membentuk koalisi. DSP kemudian memilih MHP dan ANAP sebagai mitra koalisi.
Empat bulan setelah pemerintahan koalisi berkuasa, gempa bumi dahsyat mengguncang Turki pada Agustus 1999.
Pemerintah dianggap lamban menangani dampak gempa oleh sebagian kalangan, termasuk Erdogan yang saat itu menjadi anggota Partai Kebajikan.
Kinerja pemerintah semakin amburadul setelah Turki terseret resesi yang menerjang Eropa awal 2000-an.
Tekanan publik kepada pemerintah Turki pun kian hebat. Dalam waktu yang sama, Erdogan dan Abdullah Gul membentuk partai yang menghimpun kalangan Islam moderat.
Mereka belajar dari kesalahan Partai Refah dengan tak menonjolkan identitas Islam politik yang dianggap "haram" oleh sekularisme Turki. Partai bentukan Erdogan ini bernama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Pada pemilu 2002, partai-partai koalisi bertumbangan. Sebaliknya, AKP menang mutlak karena menjadi antitesis untuk i pendekatan-pendekatan yang ditempuh partai-partai yang tengah memerintah Turki.
Erdogan dan AKP pun berkuasa di Turki. Erdogan menjadi perdana menteri mulai 14 Maret 2003 sampai 28 Agustus 2014, tapi sejak akhir Agustus 2014 dia menjadi presiden Turki yang saat itu hanya berfungsi seremonial dan dipilih oleh dewan legislatif.
Pada akhir masa jabatan keduanya dalam tahun 2017, Erdogan mempromosikan referendum untuk mengubah sistem parlementer menjadi sistem presidensial sehingga kekuasaan presiden menjadi tak lagi cuma seremonial.
Setahun kemudian, Erdogan dan AKP mengubah sistem parlementer menjadi sistem presidensial di mana masa jabatan presiden Turki dibatasi sampai dua periode.
Dia lalu memenangkan pemilihan presiden 2018, namun AKP kehilangan suara mayoritas dalam parlemen sehingga harus membentuk koalisi. Ironisnya, AKP memilih MHP yang dikritik Erdogan sewaktu gempa 1999.
Setahun setelah pemilu 2018, popularitas AKP tergerus di Ankara dan Istanbul setelah wakil-wakilnya kalah dalam pilkada di dua kota itu. Padahal, Ankara dan Istanbul, adalah tempat yang membidani AKP sehingga menjadi kekuatan politik paling dominan di Turki.
AKP kalah setelah Turki mengalami krisis yang dipicu krisis mata uang akibat krisis finansial global. Krisis ekonomi dahsyat ini berdampak buruk kepada kehidupan kebanyakan warga Turki dan lalu dijadikan amunisi oleh oposisi untuk semakin menekan Erdogan dan AKP.
Menuju pemilu 2023
Gempa bumi dahsyat di bagian selatan negeri ini empat tahun kemudian, membuat tekanan kepada AKP dan pemerintahan Erdogan bertambah kencang saja.
Erdogan sudah dalam masa jabatan kedua sebagai presiden Turki, tapi kendati konstitusi menyatakan masa jabatan presiden dibatasi dua periode, Erdogan diyakini berusaha mencalonkan diri lagi.
Pakar-pakar hukum tata negara Turki sendiri beranggapan Erdogan bisa mencalonkan diri lagi jika pemilu dimajukan sebelum masa jabatannya berakhir Juni tahun ini.
Erdogan sendiri sudah menyampaikan sinyal pemilu dimajukan Mei tahun ini, sehingga memunculkan dugaan bahwa dia berusaha mencalonkan diri lagi sebagai presiden Turki.
Sementara itu, lawannya dari enam partai oposisi yang membentuk barisan oposisi, belum mengumumkan calon presidennya. Sebaliknya, Partai Kurdi yang memiliki kursi paling banyak ketiga dalam parlemen Turki, kemungkinan mengajukan calonnya sendiri.
Selama ini, oposisi menuding sistem presidensial membuat Erdogan berkuasa secara otoriter, memicu mismanajemen ekonomi yang menciptakan krisis, dan membuat hak-hak sipil serta kebebasan terbelenggu.
Sorotan ini makin keras setelah gempa 6 Februari. Apalagi Erdogan menerapkan keadaan darurat yang membuatnya bisa mengambil kebijakan strategis tanpa meminta persetujuan parlemen.
Sekalipun keadaan darurat itu hanya diterapkan di sepuluh provinsi terdampak gempa, kekhawatiran Erdogan bakal represif seperti setelah menerbitkan keadaan darurat akibat kudeta 2016, kian besar.
Upaya memerintah menutup Twitter adalah contohnya. Langkah ini dikritik oleh banyak kalangan, termasuk parlemen, karena menganggap media sosial adalah cara tersisa yang bisa mereka terhubung dengan korban gempa dan sekaligus memantau proses rehabilitasi pascagempa.
Dari sudut ekonomi, gempa bumi 6 Februari itu telah membuat PDB atau produk domestik bruto Turki pada 2023 diperkirakan turun 1 persen.
Bagi negara yang tengah mengalami krisis akibat resesi global sehingga mata uang pun mengalami devaluasi begitu dalam, proyeksi PDB turun akibat gempa ini bisa membuat kehidupan masyarakat semakin sulit.
Erdogan mungkin dapat keluar dari segala jepitan krisis seperti ini. Kepiawaiannya selama lebih dari 20 tahun memimpin Turki bisa menjadi faktor yang membuatnya mendapatkan formula tepat yang membuatnya lolos dari krisis.
Sebaliknya, jika dibutakan oleh kekuasaan yang kian terkonsentrasi kepada dirinya, Erdogan bisa mengalami nasib serupa dengan rezim Turki yang terusir akibat gempa 1999 dan resesi 2000-an.
Dua skenario yang menarik perhatian dunia khususnya karena posisi Turki yang kian penting dalam peta dunia semasa dipimpin Erdogan itu bakal terjawab dalam pemilu Turki pertengahan tahun ini.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Erdogan juga menghadapi gempa politik
Menteri kesehatan saat itu, Osman Durmus yang berasal dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP) dan berkoalisi dengan pemerintahan pimpinan Partai Kiri Demokratik (DSP), bahkan menampik bantuan asing untuk mengatasi dampak gempa 1999.
Di antara yang vokal mengkritik pemerintahan Ecevit adalah Recep Tayyip Erdogan yang setahun sebelumnya menjabat wali kota Istanbul.
MHP berkoalisi dengan DSP yang meraih suara terbanyak pada pemilu legislatif April 1999. Koalisi ini juga beranggotakan Partai Tanah Air (ANAP).
Respons buruk pemerintah koalisi DSP-MHP membawa koalisi ini ambruk dalam pemilu 2002 setelah kekuatan baru bernama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan menang telak dalam pemilu itu.
AKP menjadi kekuatan alternatif ketika kebanyakan rakyat sudah muak dengan pemerintahan koalisi DSP, termasuk akibat respons buruk mereka terhadap dampak gempa 1999.
Setelah 24 tahun kemudian pada Februari tahun ini, giliran AKP dan Erdogan yang dituding lamban merespons dampak gempa setelah gempa dahsyat Magnitudo 7,8 pada 6 Februari merenggut korban yang jauh lebih banyak dari korban gempa 1999.
Sampai tulisan ini disiarkan, korban gempa yang terjadi dua pekan lalu di Turki dan Suriah itu sudah merenggut lebih dari 4.500 nyawa manusia.
Salah satu reaksi lamban Erdogan adalah tidak cepat mengerahkan militer dalam proses pencarian dan penyelamatan korban gempa.
Erdogan baru mengerahkan militer setelah mengumumkan keadaan darurat yang dipandang oposisi sebagai selubung untuk menekan musuh-musuh pemerintah.
Hubungan antara AKP-Erdogan dan militer sendiri tak benar-benar baik, terutama akibat kudeta gagal 2016 yang melibatkan sejumlah perwira militer dan gerakan pimpinan ulama Fethullah Gulen yang berpengaruh luas di kalangan terdidik, birokrasi, militer, dan sistem penegakan hukum Turki.
Kudeta gagal 2016 itu menjadi pintu masuk bagi Erdogan untuk melumpuhkan musuh-musuh politiknya, termasuk untuk semakin meminggirkan militer dari dunia politik yang sudah terjadi sejak akhir 1990-an.
Sejak Mustafa Kemal Attaturk menguasai Turki pada 1923, militer menjadi kekuatan dominan. Mereka menjadi pengawal setia untuk sekularisme Turki.
Namun, setelah membubarkan pemerintahan Perdana Menteri Necmetin Erbakan lewat kudeta terselubung pada 1997, posisi militer mulai goyah.
Hubungan dengan militer
Erbakan adalah pendiri Partai Refah (Partai Kesejahteraan) yang berorientasi Islam politik dan untuk itu dianggap bertentangan dengan sekularisme yang dijaga kuat oleh militer.
Pada Pemilu 1999 ketika peserta pemilu hampir semuanya partai sekuler, partai berbasis agama tiarap setelah Refah dinyatakan sebagai partai terlarang menyusul penggulingan Erbakan pada 1997.
Pemilu 1999 melontarkan DSP sebagai peraih suara terbanyak tapi tak mencapai mayoritas sehingga harus membentuk koalisi. DSP kemudian memilih MHP dan ANAP sebagai mitra koalisi.
Empat bulan setelah pemerintahan koalisi berkuasa, gempa bumi dahsyat mengguncang Turki pada Agustus 1999.
Pemerintah dianggap lamban menangani dampak gempa oleh sebagian kalangan, termasuk Erdogan yang saat itu menjadi anggota Partai Kebajikan.
Kinerja pemerintah semakin amburadul setelah Turki terseret resesi yang menerjang Eropa awal 2000-an.
Tekanan publik kepada pemerintah Turki pun kian hebat. Dalam waktu yang sama, Erdogan dan Abdullah Gul membentuk partai yang menghimpun kalangan Islam moderat.
Mereka belajar dari kesalahan Partai Refah dengan tak menonjolkan identitas Islam politik yang dianggap "haram" oleh sekularisme Turki. Partai bentukan Erdogan ini bernama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Pada pemilu 2002, partai-partai koalisi bertumbangan. Sebaliknya, AKP menang mutlak karena menjadi antitesis untuk i pendekatan-pendekatan yang ditempuh partai-partai yang tengah memerintah Turki.
Erdogan dan AKP pun berkuasa di Turki. Erdogan menjadi perdana menteri mulai 14 Maret 2003 sampai 28 Agustus 2014, tapi sejak akhir Agustus 2014 dia menjadi presiden Turki yang saat itu hanya berfungsi seremonial dan dipilih oleh dewan legislatif.
Pada akhir masa jabatan keduanya dalam tahun 2017, Erdogan mempromosikan referendum untuk mengubah sistem parlementer menjadi sistem presidensial sehingga kekuasaan presiden menjadi tak lagi cuma seremonial.
Setahun kemudian, Erdogan dan AKP mengubah sistem parlementer menjadi sistem presidensial di mana masa jabatan presiden Turki dibatasi sampai dua periode.
Dia lalu memenangkan pemilihan presiden 2018, namun AKP kehilangan suara mayoritas dalam parlemen sehingga harus membentuk koalisi. Ironisnya, AKP memilih MHP yang dikritik Erdogan sewaktu gempa 1999.
Setahun setelah pemilu 2018, popularitas AKP tergerus di Ankara dan Istanbul setelah wakil-wakilnya kalah dalam pilkada di dua kota itu. Padahal, Ankara dan Istanbul, adalah tempat yang membidani AKP sehingga menjadi kekuatan politik paling dominan di Turki.
AKP kalah setelah Turki mengalami krisis yang dipicu krisis mata uang akibat krisis finansial global. Krisis ekonomi dahsyat ini berdampak buruk kepada kehidupan kebanyakan warga Turki dan lalu dijadikan amunisi oleh oposisi untuk semakin menekan Erdogan dan AKP.
Menuju pemilu 2023
Gempa bumi dahsyat di bagian selatan negeri ini empat tahun kemudian, membuat tekanan kepada AKP dan pemerintahan Erdogan bertambah kencang saja.
Erdogan sudah dalam masa jabatan kedua sebagai presiden Turki, tapi kendati konstitusi menyatakan masa jabatan presiden dibatasi dua periode, Erdogan diyakini berusaha mencalonkan diri lagi.
Pakar-pakar hukum tata negara Turki sendiri beranggapan Erdogan bisa mencalonkan diri lagi jika pemilu dimajukan sebelum masa jabatannya berakhir Juni tahun ini.
Erdogan sendiri sudah menyampaikan sinyal pemilu dimajukan Mei tahun ini, sehingga memunculkan dugaan bahwa dia berusaha mencalonkan diri lagi sebagai presiden Turki.
Sementara itu, lawannya dari enam partai oposisi yang membentuk barisan oposisi, belum mengumumkan calon presidennya. Sebaliknya, Partai Kurdi yang memiliki kursi paling banyak ketiga dalam parlemen Turki, kemungkinan mengajukan calonnya sendiri.
Selama ini, oposisi menuding sistem presidensial membuat Erdogan berkuasa secara otoriter, memicu mismanajemen ekonomi yang menciptakan krisis, dan membuat hak-hak sipil serta kebebasan terbelenggu.
Sorotan ini makin keras setelah gempa 6 Februari. Apalagi Erdogan menerapkan keadaan darurat yang membuatnya bisa mengambil kebijakan strategis tanpa meminta persetujuan parlemen.
Sekalipun keadaan darurat itu hanya diterapkan di sepuluh provinsi terdampak gempa, kekhawatiran Erdogan bakal represif seperti setelah menerbitkan keadaan darurat akibat kudeta 2016, kian besar.
Upaya memerintah menutup Twitter adalah contohnya. Langkah ini dikritik oleh banyak kalangan, termasuk parlemen, karena menganggap media sosial adalah cara tersisa yang bisa mereka terhubung dengan korban gempa dan sekaligus memantau proses rehabilitasi pascagempa.
Dari sudut ekonomi, gempa bumi 6 Februari itu telah membuat PDB atau produk domestik bruto Turki pada 2023 diperkirakan turun 1 persen.
Bagi negara yang tengah mengalami krisis akibat resesi global sehingga mata uang pun mengalami devaluasi begitu dalam, proyeksi PDB turun akibat gempa ini bisa membuat kehidupan masyarakat semakin sulit.
Erdogan mungkin dapat keluar dari segala jepitan krisis seperti ini. Kepiawaiannya selama lebih dari 20 tahun memimpin Turki bisa menjadi faktor yang membuatnya mendapatkan formula tepat yang membuatnya lolos dari krisis.
Sebaliknya, jika dibutakan oleh kekuasaan yang kian terkonsentrasi kepada dirinya, Erdogan bisa mengalami nasib serupa dengan rezim Turki yang terusir akibat gempa 1999 dan resesi 2000-an.
Dua skenario yang menarik perhatian dunia khususnya karena posisi Turki yang kian penting dalam peta dunia semasa dipimpin Erdogan itu bakal terjawab dalam pemilu Turki pertengahan tahun ini.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Erdogan juga menghadapi gempa politik