Jakarta (ANTARA) - Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Feri Amsari mengaku heran terkait rencana mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup saat tahapan sudah berjalan.
"Aneh rasanya kita kalau dalam konteks profesionalitas penyelenggaraan pemilu masih ragu dan memperdebatkan sistem mana yang paling layak untuk dilaksanakan," kata Feri Amsari di Jakarta, Rabu
Hal tersebut disampaikan Feri dalam diskusi bertajuk "Perubahan Sistem Pemilu dan Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia" yang diadakan Forum Diskusi Denpasar 12.
Feri mengatakan di beberapa negara maju atau modern mengubah sistem pemilu di masing-masing negaranya pada saat tahapan pemilu sudah berlangsung hampir tidak ditemukan.
"Indikasi adanya rekayasa kecurangan pemilu adalah dengan modus mengubah sistem di tengah jalan. Sebab orang atau peserta pemilu terpaksa untuk menyelenggarakan sistem itu tanpa persiapan yang matang," kata dia.
Oleh karena itu, Feri yang juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang tersebut mendesak agar perdebatan mengenai sistem pemilu tertutup atau terbuka segera diakhiri. Hal itu harus diiringi dengan kebijakan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghormati putusan-putusan sebelumnya.
Ahli hukum lulusan William and Mary Law School Amerika Serikat tersebut menjelaskan sistem proporsional terbuka meletakkan landasan daulatnya kepada masyarakat, sedangkan sistem proporsional tertutup meletakkan daulat penentuan siapa yang akan duduk di kursi parlemen kepada ketua umum atau elite partai.
Kemudian jika membahas aspek konstitusional kedua sistem pemilu tersebut, katanya, maka dipastikan sistem proporsional tertutup tidak mendekati prinsip-prinsip konstitusional dalam penyelenggaraan pemilu.
Sebagai contoh Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
"Jadi, yang berdaulat untuk menentukan siapa yang merepresentasikan rakyat di parlemen adalah rakyat itu sendiri," jelas dia.
Sebagai tambahan informasi, sistem pemilu proporsional terbuka digugat ke MK oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDIP), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono dengan Nomor 114/PUU-XX/2022.
Para pemohon mendalilkan Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ahli hukum heran rencana ubah sistem pemilu saat tahapan sudah jalan
"Aneh rasanya kita kalau dalam konteks profesionalitas penyelenggaraan pemilu masih ragu dan memperdebatkan sistem mana yang paling layak untuk dilaksanakan," kata Feri Amsari di Jakarta, Rabu
Hal tersebut disampaikan Feri dalam diskusi bertajuk "Perubahan Sistem Pemilu dan Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia" yang diadakan Forum Diskusi Denpasar 12.
Feri mengatakan di beberapa negara maju atau modern mengubah sistem pemilu di masing-masing negaranya pada saat tahapan pemilu sudah berlangsung hampir tidak ditemukan.
"Indikasi adanya rekayasa kecurangan pemilu adalah dengan modus mengubah sistem di tengah jalan. Sebab orang atau peserta pemilu terpaksa untuk menyelenggarakan sistem itu tanpa persiapan yang matang," kata dia.
Oleh karena itu, Feri yang juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang tersebut mendesak agar perdebatan mengenai sistem pemilu tertutup atau terbuka segera diakhiri. Hal itu harus diiringi dengan kebijakan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghormati putusan-putusan sebelumnya.
Ahli hukum lulusan William and Mary Law School Amerika Serikat tersebut menjelaskan sistem proporsional terbuka meletakkan landasan daulatnya kepada masyarakat, sedangkan sistem proporsional tertutup meletakkan daulat penentuan siapa yang akan duduk di kursi parlemen kepada ketua umum atau elite partai.
Kemudian jika membahas aspek konstitusional kedua sistem pemilu tersebut, katanya, maka dipastikan sistem proporsional tertutup tidak mendekati prinsip-prinsip konstitusional dalam penyelenggaraan pemilu.
Sebagai contoh Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
"Jadi, yang berdaulat untuk menentukan siapa yang merepresentasikan rakyat di parlemen adalah rakyat itu sendiri," jelas dia.
Sebagai tambahan informasi, sistem pemilu proporsional terbuka digugat ke MK oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDIP), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono dengan Nomor 114/PUU-XX/2022.
Para pemohon mendalilkan Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ahli hukum heran rencana ubah sistem pemilu saat tahapan sudah jalan