Bogor (ANTARA) - Perang Rusia-Ukraina telah setahun berlangsung, namun memasuki warsa kedua pada Jumat, 24 Februari 2023, belum terlihat tanda-tanda konflik bersenjata yang telah memakan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak itu akan segera berakhir.

Alih-alih berharap angin perdamaian segera berembus, Amerika Serikat justru terus memanas-manasi Rusia melalui keputusan bantuan keuangan dan alat utama sistem senjata kepada Ukraina, serta perjalanan mengejutkan Presiden Joe Biden ke Kyiv pada 20 Februari.

Kunjungan rahasia yang menurut laporan media dunia dimaksudkan Gedung Putih untuk "mempermalukan" Moskow, dan dilakukan 4 hari menjelang peringatan setahun invasi Rusia ke Ukraina, itu dianggap enteng Presiden Vladimir Putin.

Pejabat pemerintah dan media Rusia bahkan menyebut aksi Biden tersebut menunjukkan realitas bahwa Presiden Volodymyr Zelenskyy adalah "pelayan" Amerika dan awal kampanye dirinya untuk bisa kembali terpilih dalam Pemilu 2024.

Terlepas dari pro-kontra kunjungan rahasia Biden ke Kyiv menjelang peringatan setahun Perang Rusia-Ukraina itu, hasrat Putin untuk menjatuhkan rezim Zelenskyy yang sangat pro-AS, Uni Eropa, dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) melalui operasi militer khusus yang telah digelarnya sejak 24 Februari 2022 itu, pun belum menunjukkan hasil.

Sebaliknya, ada satu hal yang pasti. Perang yang terus berkecamuk itu telah membuat banyak warga sipil Ukraina dipaksa hidup dalam keterbatasan pasokan listrik dan gas akibat kerusakan infrastruktur energi negaranya yang terkena gempuran mesin-mesin perang Rusia.

Tak hanya itu. Tak sedikit dari mereka yang kehilangan sanak saudara yang tewas di medan tempur atau akibat dampak perang lainnya. Sejatinya, Ukraina seperti pelanduk yang terjebak dalam rivalitas dua gajah.


Rivalitas langgeng AS-Rusia

Tulisan ini mengurai tentang rivalitas langgeng AS dan sekutunya di Eropa dengan Rusia sebagai pewaris kebesaran Uni Soviet, negara komunis pemenang Perang Dunia II bersama dengan AS, Inggris, dan Prancis melawan Nazi Jerman.

Eksistensi Uni Soviet yang menjadi lokomotif Blok Timur dan Pakta Warsawa selama era Perang Dingin dalam menghadapi blok kapitalis AS dan NATO ini telah terkubur dalam sejarah dunia seiring dengan keruntuhannya pada akhir 1991.

Tanda-tanda kemunduran Uni Soviet yang memuncak pada keruntuhannya itu sebenarnya sudah terlihat pada paruh 1980-an. Menurut catatan BBC (2019), negara adidaya berhaluan komunis beranggotakan Rusia, Ukraina, Belarus, Georgia, Armenia, Uzbekistan, Azerbaijan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Turkmenistan, Tajikistan, Moldova, Estonia, Lithuania, dan Latvia yang selama Perang Dingin menjadi musuh ideologis Blok Kapitalis Barat ini menghadapi masalah ekonomi akut dan ketahanan pangan yang rapuh.

Kondisi sulit ini kemudian diperparah dengan terjadinya ledakan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Chernobyl di Ukraina pada April 1986. Media Inggris, BBC (2019), bahkan menyebut peristiwa Chernobyl itu sebagai "momen simbolis dalam keruntuhan Blok Komunis".

Setahun sebelum bencana PLTN Chernobyl itu terjadi, Mikhail Sergeyevich Gorbachev memegang kendali kekuasaan di Kremlin.

Menyadari adanya kebutuhan untuk melakukan demokratisasi dalam sistem politik dan desentralisasi perekonomian negaranya, sekjen Partai Komunis dan presiden Uni Soviet kelahiran Privolnoye, Stavropol kray, Rusia, 2 Maret 1931 ini lalu memperkenalkan kebijakan reformasi "glasnost" (keterbukaan) dan "perestroika" (restrukturisasi).

Seiring berjalannya waktu, kebijakan Gorbachev ini terbukti gagal memperbaiki kondisi negaranya. Alih-alih berhasil, tanda-tanda end game bagi Uni Soviet justru semakin terlihat dari peristiwa demi peristiwa, terjadi setelahnya.

Puncaknya adalah keruntuhan Tembok Berlin di Republik Demokratik Jerman, negara yang selama era Perang Dingin dijadikan Uni Soviet pijakannya di Eropa Barat. Keruntuhan tembok yang dibangun pada 1961 sebagai "tirai besi" yang memisahkan Blok Timur yang komunis dan Blok Barat yang kapitalis demokratis pada 9 November 1989 itu menjadi awal dari kehancuran Komunisme di Eropa Timur dan Tengah.

Betapa tidak, sekitar 2 tahun setelah peristiwa bersejarah di Jerman Timur itu, di tengah krisis yang dihadapi Uni Soviet dan sekutunya, terjadi perpecahan di dalam tubuh Pakta Warsawa.

Akibatnya, aliansi pertahanan yang dibentuk Uni Soviet dan beberapa negara mitranya di Kota Warsawa, Polandia, pada 14 Mei 1955 itu pun resmi bubar pada 1 Juli 1991.

Pembubaran Pakta Pertahanan Blok Timur yang beranggotakan Uni Soviet, Albania (mundur dari keanggotaan pada 1968), Bulgaria, Czechoslovakia, Jerman Timur (mundur dari keanggotaan pada 1990), Hungaria, Polandia, dan Rumania ini tidak lantas diikuti oleh Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Alih-alih membubarkan diri, payung keamanan kolektif Blok Barat yang dibentuk AS bersama Kanada dan beberapa negara Eropa Barat di Washington D.C. pada 4 April 1949 guna merespons bahaya Uni Soviet selama Perang Dingin ini justru tetap kokoh berdiri. Bahkan, NATO berupaya memperluas keanggotaannya.

Di antara negara-negara bekas Uni Soviet dan Pakta Warsawa yang telah bergabung dengan NATO adalah Rumania, Hungaria, Estonia, Bulgaria, dan Polandia. Bergabungnya negara-negara tersebut ke NATO belum sampai membuat Kremlin naik pitam dan mengambil keputusan ekstrem.


NATO dan pelanduk

Namun, situasinya dipandang berbeda oleh Rusia setelah NATO membidik Ukraina. Kemitraan Ukraina dengan NATO semakin menguat sekitar setahun setelah Presiden Volodymyr Zelenskyy berkuasa.

Hal ini setidaknya dapat dilihat dari pemberian status "mitra peluang yang ditingkatkan" (EOP) oleh NATO kepada Ukraina pada 12 Juni 2020 (RFE/RL, 2020). NATO memberikan status tersebut setelah Kyiv menunjukkan "komitmennya terhadap keamanan Euro-Atlantik."

Menurut Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL), status EOP yang juga diberikan NATO kepada Australia, Finlandia, Georgia, Yordania, dan Swedia ini merupakan bagian dari inisiatif NATO untuk "mempertahankan dan memperdalam kerja sama antara Sekutu dan mitra yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap operasi dan misi yang dipimpin NATO."

Dalam konteks ini, Ukraina, misalnya,  pernah menyediakan pasukannya untuk operasi Sekutu di Afghanistan dan Kosovo, serta untuk Pasukan Respons NATO dan latihan NATO.

Rusia sendiri sudah lama bicara blak-blakan tentang hubungannya dengan NATO bahwa Ukraina tidak akan pernah, selamanya, menjadi anggota pakta pertahanan Blok Barat itu.

Moskow juga menuduh negara-negara NATO sengaja "memompa" Ukraina dengan persenjataan dan Amerika Serikat "memanas-manasi suasana". Kondisi ini membuat Putin tidak tinggal diam (Paul Kirby, BBC News, 2022).

Kemitraan Ukraina yang menguat dengan NATO pada masa kepemimpinan Presiden Zelenskyy ini membuat hubungan Kyiv dengan Moskow panas dingin. Krisis kepercayaan dalam hubungan bilateral kedua negara serumpun ini memuncak pada 2022 ditandai dengan keputusan Presiden Vladimir Putin menggelar apa yang disebutnya operasi militer khusus di Ukraina.

Keputusan Putin itu menyegarkan kembali memori rakyat Ukraina dan publik internasional tentang operasi militer Kremlin delapan tahun sebelumnya yang berakhir dengan aneksasi Krimea.

Pertarungan ideologis AS dan sekutunya dengan Uni Soviet, yang dimenangi Blok Kapitalis, telah lama usai. Namun, berakhirnya perang dingin itu tak serta-merta meredakan rivalitas AS dan Rusia selaku pewaris kebesaran masa lalu Uni Soviet dan sahabat dekat Tiongkok.

Realitas ini terlihat dalam Perang Ukraina yang tampak dimanfaatkan AS sebagai arena perang proksinya untuk melemahkan Rusia dan memenuhi ambisi geopolitiknya. Dalam konteks ini, Ukraina tak lebih dari sekadar "pelanduk" di tengah rivalitas "dua gajah" itu.

Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ukraina, pelanduk di tengah rivalitas dua gajah

Pewarta : Rahmad Nasution
Editor : Redaktur Makassar
Copyright © ANTARA 2024