Makassar (ANTARA) - Desa Sambueja, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, berjarak sekitar 44 kilometer dari Makassar, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Warga desa ini  berupaya mengembangkan konservasi energi terbarukan yang ramah lingkungan serta berkelanjutan dari potensi yang ada di sekitarnya.

Upaya konservasi energi itu dimotori oleh seorang petani bernama Arifin Habo. Ia begitu semangat mengubah cara pandang masyarakat sekitarnya terhadap perkembangan dan perubahan dalam hal memanfaatkan potensi desa. Terlebih area tempat tinggalnya cukup jauh dari area perkotaan.

Desa Sambueja merupakan salah satu desa yang berada di bagian timur Kabupaten Maros. Butuh waktu sekitar satu jam lebih berkendara untuk bisa sampai ke lokasi tersebut dari  Kota Maros.

Warga Desa Sambueja sebagian besar berprofesi sebagai petani, dan tidak sedikit pula yang beternak sapi. Pemerintah Desa Sambueja mencatat terdapat sekitar 300 sapi di desa itu.

Kotoran sapi yang ada di Desa Sambueja inilah yang disulap Habo menjadi sumber energi baru terbarukan melalui reaktor biogas. Ia pun sudah tak menggunakan gas elpiji lagi untuk memasak sejak adanya peralatan tersebut. Hal itu dapat menghemat pengeluaran sehari-hari.

Energi biogas adalah energi yang dihasilkan dari limbah organik di antaranya kotoran ternak, atau limbah dapur seperti sayuran yang sudah digunakan. Limbah-limbah tersebut akan melalui proses urai yang dinamakan anaerobik digester di ruang kedap udara. Digester adalah suatu alat tampungan bahan-bahan organik dan limbah kotoran ternak untuk membentuk biogas yang bersifat anaerob.

Bukan hal mudah bagi Habo menjajal upaya konservasi energi di tengah masyarakat. Konservasi energi atau penghematan energi merupakan tindakan untuk mengurangi jumlah penggunaan energi baru terbarukan dan tak terbarukan demi keberlangsungan kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya.

 Pria yang menjadi ketua kelompok tani itu bukan saja mensosialisasikan ke masyarakat, tapi dia juga harus meyakinkan keluarganya untuk bisa menitipkan sapinya ke dia, agar bisa memperoleh kotoran sapi yang lebih banyak dan berkualitas.

Hal itu karena Habo hanya memiliki satu sapi dan tidak mencukupi untuk menyuplai bahan baku, sehingga harus meminta sapi kerabatnya. Apalagi, sapi penghasil bahan baku energi biogas itu harus dikandang dan memiliki porsi makan sendiri, serta tidak diperkenankan untuk dilepas di area bebas.

Tiga ekor sapi menjadi modal awal Habo melakukan upaya transisi energi dari gas komersial menjadi gas energi baru terbarukan. Alhasil, tiga rumah berhasil merasakan langsung manfaatnya dan tidak lagi membeli gas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Namun seiring berjalannya waktu, salah satu sapi harus dikembalikan ke pemiliknya. Ini kemudian berdampak pada energi biogas yang dihasilkan, dan penggunanya pun berkurang, hanya bisa menjangkau dua rumah.

Salah satu pengguna energi biogas ialah Yati, tetangga Habo. Yati mengaku telah memanfaatkan biogas dalam aktivitas memasak setiap hari. Penggunaan energi ramah lingkungan tersebut telah berlangsung selama 13 bulan.

"Saya sudah satu tahun lebih tidak beli gas, harganya Rp25 ribu/tabung yang 3 kilogram. Jadi saya masak menggunakan biogas dan hemat sekitar Rp150 ribu per bulan untuk kami lima orang (satu rumah," ujar Yati.

Yati mengaku sangat beruntung bisa menjadi salah satu pengguna biogas, kendati penggunaannya harus memakai kompor yang dimodifikasi khusus untuk bisa menikmati energi terbarukan tersebut.

Api berwarna biru terlihat jelas, saat Yati memantik kompor yang dialiri biogas. Meski begitu, korek api harus disiapkan untuk menyalakan kompor yang telah dimodifikasi.

"Ini tidak bahaya, saya sudah satu tahun lebih memakainya, ada juga pengukur gas untuk liat gasnya masih banyak atau sedikit," kata Yati sembari menunjukkan pengukur biogas.

Pada pemanfaatan energi biogas, dibutuhkan sekitar 20 liter (dalam wadah) kotoran sapi untuk menghasilkan gas dengan 10 kali pemakaian, atau sekitar tiga kali pengisian ulang kotoran ke ruang kedap udara untuk penggunaan selama sepekan.
  Warga Sambueja Kabupaten Maros bernama Yati saat memperlihatkan api dari hasil energi biogas untuk kebutuhan sehari-hari. ANTARA Foto/Nur Suhra Wardyah

Hasilkan pupuk alami 

Pemanfaatan kotoran sapi tidak sampai di situ. Ampas kotoran sapi bisa digunakan sebagai pupuk organik yang biasa disebut pupuk bio slurry.

Bio-slurry merupakan ampas biogas dengan beragam manfaat. Meski disebut sebagai ampas, namun bio-slurry masih memiliki banyak nutrisi yang bermanfaat untuk pertanian. Maka dari itu bio-slurry bisa dijadikan sebagai pupuk alami.

Sama seperti bahan biogas, komposisi bio-slurry adalah perpaduan dari kotoran ternak dan air. Untuk menjadi bio-slurry, telah melewati proses di dalam tangki tanpa menggunakan oksigen (anaerobik).

Setelah melalui proses, bio-slurry atau ampas akan keluar dari pipa outlet dalam wujud cair cenderung padat dengan warna coklat terang atau hijau gelap.

Penggunaan pupuk bio slurry mulai disadari oleh masyarakat Desa Sambueja, termasuk sejumlah desa sekitarnya. Pupuk ini  turut dimanfaatkan juga oleh warga dari Makassar, jika berkunjung ke desa yang berpenduduk sekitar 3.600 jiwa tersebut.

Bagi Habo, tak hanya biogas. Paling terasa manfaatnya ialah karena program ini menghasilkan pupuk organik dari bio slurry yang sangat membantu para petani di daerah tersebut.

"Pupuk Slurry, utamanya kebun bagus sekali. Kita sudah tidak pakai pupuk berbahan kimia. Sudah coba di sawah dan bagus sekali hasilnya," ungkap Habo.

Kemandirian pupuk memang sangat didorong Pemerintah Pusat untuk mengantisipasi krisis pangan. Kendala pasokan pupuk juga ditengarai akibat perang Ukraina dan Rusia sebagai produsen pupuk dunia.

Kondisi ini cukup mengguncang sisi pertanian di hampir semua negara sehingga produksi menjadi menurun dan menyebabkan kenaikan harga pupuk.

Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan baru-baru ini bahwa kebutuhan pupuk di Indonesia mencapai 13,5 juta ton dan baru terpenuhi 3,5 juta ton.

Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik di masyarakat terus didorong pemerintah untuk ketahanan pangan, termasuk melalui sistem biogas.

Meski pemanfaatan biogas masih sangat terbatas di Desa Sambueja, namun tidak dengan ampasnya yang menghasilkan pupuk alami.

Hal tersebut bisa terlihat dari inisiasi pembuatan gerai pupuk oleh pemerintah desa setempat. Pasalnya, dari reaktor biogas, potensi pupuk ramah lingkungan di Desa Sambueja sebanyak 3 ton per bulan.

Pupuk bio slurry Sambueja disebut pula pupuk liberti dan sedang diproses untuk izin edar yang ditargetkan dirilis tahun ini dari Departemen Pertanian.

Dalam menjajaki pemanfaatan pupuk organik, Habo sebagai petani mengakui memang sangat sulit meyakinkan dan mengampanyekan pupuk organik, sebab kebiasaan lama masyarakat menggunakan pupuk kimia.

"Apalagi, penggunaan pupuk bio slurry butuh waktu lama untuk bisa dibuktikan. Namun, lama kelamaan banyak warga yang menginginkan tanamannya dari hasil pupuk organik," kata Habo. Takarannya, satu gelas pupuk liberti yang dicampur dalam 10 liter air bisa digunakan untuk area seluas 1 are dengan cara disiram.

Selain warga Sambueja, penggunaan pupuk liberti juga mulai diminati warga desa lain, seperti Desa Samanggi dan Desa Tompobulu. Mereka diberikan secara cuma-cuma tanpa harus membayar.

Hal paling utama ialah petani ingin berubah dari penggunaan pupuk kimia ke pupuk alami. Sebab, semua ini berdampak pada penghidupan, meningkatkan ketahanan energi yang terintegrasi pertanian ramah lingkungan.

Kampung Hijau Energi

Desa Sambueja di Kecamatan Simbang merupakan Kampung Hijau Energi yang telah berhasil memproduksi energi sendiri hingga membuat pupuk organik.

Energi terbarukan dihasilkan dari reaktor biogas yang dihadirkan Yayasan Hadji Kalla sejak awal 2022. Alat ini menghasilkan energi yang dapat mengganti penggunaan elpiji dan pupuk organik nonkimia dari ampas kotoran sapi menjadi pupuk bioslurry.

Kampung Hijau Energi merupakan salah satu bentuk keseriusan di bidang lingkungan. Programnya pun bisa dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, manfaat finansialnya juga sudah jelas.

Selain Desa Sambueja di Kabupaten Maros, program yang sama juga telah diterapkan di lima kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan yakni Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bone dan Wajo.

"Insya Allah tahun ini ada lagi tambahan daerah. Kita berusaha menjangkau potensi ekonomi pedesaan. Tak hanya yang dekat dengan Makassar, tetapi sampai ke pelosok, khususnya di 4 provinsi wilayah kerja, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara," ujar Direktur Eksekutif Yayasan Hadji Kalla, Mohammad Zuhair.

Kepala Desa Sambueja Darmawati mengapresiasi program Kampung Hijau Energi tersebut yang membuat penanganan ternak lebih baik. Salah satu penilaiannya ialah kotoran sapi yang tidak lagi bertebaran karena sudah memiliki tempat pembuangan di kandang.

"Kita sangat berterima kasih kepada Yayasan Hadji Kalla atas adanya program ini. Kita harapkan program ini dapat dilanjutkan karena masyarakat manfaatnya betul-betul dirasakan manfaatnya sebelum dan setelah adanya biogas ini," ungkapnya.

Transisi energi ke energi baru terbarukan disertai dengan penggunaan pupuk alami untuk meningkatkan ketahanan pangan yang dilakukan masyarakat Desa Sambueja,  merupakan wujud konservasi energi serta lingkungan untuk kehidupan yang lebih sehat, berkualitas dan berkelanjutan.

Pewarta : Nur Suhra Wardyah
Editor : Redaktur Makassar
Copyright © ANTARA 2024