Makassar (ANTARA Sulsel) - Ketika membicarakan suatu daerah, maka potensi daerah kerap menjadi topik utama pembahasan.

Begitu pula dengan Kabupaten Takalar yang merupakan salah satu daerah dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.

Kabupaten Takalar berada sekitar 45 kilometer di sebelah selatan Ibukota Provinsi Sulsel, Makassar dapat dicapai dengan waktu tempuh sekitar satu jam melalui jalur darat.

Sepintas jika melewati jalan nasional di daerah ini, tidak nampak keistimewaan yang berarti.

Bahkan yang mungkin terekam dalam memori saat melintas di Ibukota Kabupaten Takalar yakni Pattalassang, hanya jejeran penjual jagung rebus.

Padahal daerah yang terdiri dari kawasan pantai, daratan dan perbukitan ini, memiliki potensi alam dan budaya yang patut diperhitungkan.

Dengan luas wilayah 566,51 km persegi dan jumlah penduduk sekitar 250 ribu jiwa, daerah yang dinakhodai Burhanuddin Baharuddin bersama wakilnya Natsir Ibrahim terus berupaya memperkenalkan potensi daerahnya.

"Takalar memiliki banyak potensi yang belum dikenal dan belum digarap secara maksimal, karena itu kami terus berupaya menggali potensi-potensi yang ada," kata Bupati Takalar Burhanuddin.

Di bidang perikanan budidaya misalnya, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Takalar pada 2012 mencatat produksi budidaya air payau mencapai 4.131 ton dengan luas lahan 5.103 hekatare.

Sedang produksi budidaya laut mencapai 427.834 ton dari pengolahan lahan seluas 14.128 hektare dan untuk budidaya air tawar sebanyak 551 ton dari luas lahan 40 hektare.

Dari potensi perikanan budidaya tersebut, rumput laut merupakan komoditi andalan Kabupaten Takalar yang memberikan konstribusi terbesar ketiga nasional untuk produksi nasional, setelah Maumere dan Bali.

Bahkan rumput laut asal Sulsel ini, mampu memberikan sumbangan sekitar 33 persen dari total produksi nasional. Sementara rata-rata produksi rumput laut Sulsel sebanyak 1,5 juta ton per tahun dengan nilai penjualan Rp1,1 triliun, sebagian besar merupakan sumbangan dari produksi rumput laut Takalar.

Untuk pengembangan budidaya rumput laut di Takalar, selain dalam bentuk perorang, juga per kelompok dan mendapatkan binaan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Adapun jenis rumput laut yang dikembangkan di tiga kecamatan yakni Kecamatan Mangarabombang, Mappakasunggu dan Sanrobone adalah Euchema Cattonii yang bibitnya berasal dari Maumere, Bali dan bibit lokal.

Sedang jenis rumput lainnya adalah Euchema Spinosum dan Galcillaria dengan nilai jual dalam bentuk kering Rp3.000 - Rp7.000 per kilogram. Khusus jenis Euchema Cattonii antara Rp8.000 - Rp9.000 per kg.

"Untuk pengembangan budidaya rumput laut ini, kami terus mendorong tiga kecamatan itu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar Achmad Rivai.

Sementara itu, salah seorang petani rumput laut di Dusun Je`ne, Desa Lagaruda, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar Daeng Rani mengatakan, perekonomian keluarganya sangat terbantu dengan adanya budidaya rumput laut.

"Cukup bermodal untuk membeli bibit, maka hasilnya nanti sebagian bisa dijual dan sebagian lagi dijadikan bibit," kata lelaki separuh baya ini.

Menurut dia, keuntungan budidaya rumput laut lebih besar dibandingkan mencari ikan di laut dengan pendapatan yang fluktuatif, tergantung kondisi cuaca.

Dalam sekali panen setiap 30 - 45 hari, lanjut dia, mampu mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp700 ribu - Rp1,5 juta untuk lahan pantai selebar empat meter dan panjang hingga batas tak terhingga ke arah laut.

"Dalam kondisi harga jual rumput laut yang membaik, keuntungan bisa dua hinga tiga kali lipat dari kondisi normal," katanya.

Menanggapi potensi pengembangan budidaya rumput laut tersebut, Kadis Kelautan dan Perikanan Takalar Achmad Rivai mengatakan, untuk memberikan nilai tambah bagi masyarakat dan daerah, maka perlu sentuhan teknologi pengelolaan.

Karena itu, lanjut dia, Pemkab Takalar membuka `tangan lebar` pada pelaku usaha untuk menjadi `bapak angkat` bagi petani rumput laut, maupun untuk membuka industri pengelolaan rumput laut.

"Sehingga ke depan, produksi rumput laut asal Takalar tidak dijual secara gelondongan saja atau dalam bentuk "raw material", katanya.



Wisata bahari

Selain Takalar memiliki potensi komoditi unggulan, sebagian wilayahnya yang terdiri dari kawasan pesisir juga menjadi potensi andalan untuk pengembangan wisata bahari.

Menurut Kepala Dinas Sosial, Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Takalar H Abbas, untuk mendukung sektor pariwisata, maka melalui APBD Takalar 2013 telah dianggarkan dana pengembangan obyek wisata lokal sekitar Rp 700 juta.

Anggaran sektor pariwisata tersebut sepuluh kali lipat dibanding APBD 2012 yang hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp60 juta.

Dia mengatakan, pengembangan maupun pembangunan obyek wisata di Takalar erat kaitannya dengan posisi Takalar sebagai salah satu pintu gerbang Kota Metropolitan Maminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar) di wilayah selatan.

Khusus pengembangan wisata bahari, Dinas Sosial, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Takalar tahun ini mengagendakan untuk mengembangkan pantai Paria Laut, termasuk mengembangkan wisata bahari Pulau Sanrobengi, sebuah pulau kecil berpasir putih di Desa Boddia, Galesong Selatan yang lokasinya sekitar 20 kilometer dari kota Takalar.

Selain itu, pengembangan Kepulauan Tanakeke diarahkan dapat menjadi obyek wisata bawah laut, karena memiliki terumbu karang yang unik dan masih asri yang tak kalah dengan Taman Laut Nasional Bunaken di Manado.

Pulau tersebut dapat dicapai sekitar 60 menit perjalanan dengan perahu tradisional dari dermaga Takalar Lama.

Sementara wisata pantai berpasir putih yakni Lamangkia II, juga tengah dibenahi untuk menjadi objek wisata andalan.

"Apabila ini dapat ditata dengan baik dan didukung dengan fasilitas yang memadai, tentu dapat menyamai objek wisata Pantai Kuta di Bali," kata kadis Sosbudpar Takalar.

Pengembangan Lamangkia II ini, setelah Lamangkia I atau yang lebih dikenal dengan nama "Tope Jawa" dilanda abrasi akibat terjangan ombak beberapa waktu lalu.

Selain potensi wisata bahari, wisata budaya seperti acara "Maudu Kalompoang" di Cikoang pada saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, "Appadekko" pada pesta panen raya dan "Appasili" yakni pencucian dan pengarakan hewan kurban dengan sejumlah peralatan ritual tradisional mengelilingi rumah adat, sebelum hewan disembelih, dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal, nusantara bahkan mancanegara.

Semua potensi alam dan budaya tersebut ibarat mutiara terpendam yang membutuhkan sentuhan "tangan-tangan halus" dan terampil untuk mengolahnya agar memiliki nilai jual tinggi. A Wijaya

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024