Jakarta (ANTARA) - Peneliti senior Pusat Pengkajian dan Masyarakat Islam (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Didin Syafruddin mengungkapkan bahwa penyebab tumbuhnya intoleransi dalam dunia pendidikan adalah kurangnya interaksi dan dialog antarsiswa dari berbagai latar belakang perbedaan.
Hal itu, menurut dia, mengakibatkan antara siswa yang memiliki perbedaan, dikhawatirkan memiliki prasangka negatif dan masih canggung dalam menghadapi perbedaan.
"Lembaga pendidikan harus menjadi teladan dalam mempraktikkan pendidikan kemanusiaan dan budi pekerti. Pendidikan kemanusiaan yang efektif dalam mengubah perilaku ialah dengan menjadikan lembaga pendidikan itu sendiri sebagai teladan mempraktikkan pendidikan kemanusiaan," kata Didin di Jakarta, Jumat.
Didin menilai tiap unsur yang terlibat di dalam lingkungan sekolah, seperti kepala sekolah, guru, petugas keamanan, petugas kebersihan, petugas kantin, baik laki maupun perempuan, harus saling memuliakan satu sama lain.
Menurut dia, semua unsur harus memperlakukan secara setara dan adil apa pun agama, suku, status ekonomi, warna kulit, dan lainnya. Siswa harus ditanamkan pemikiran yang kritis serta mempraktikkan demokrasi.
"Pendidikan budi pekerti masih kurang karena pelaksanaannya masih melalui ceramah atau pengajaran. Padahal, pendidikan budi pekerti memerlukan diskusi dan dialog terbuka kritis, pembiasaan, keteladanan, dan konsensus bersama melalui proses demokratis," ujarnya.
Didin mencontohkan kasus APH yang diduga melakukan ujaran kebencian terhadap warga Muhammadiyah, mengingatkan bahwa lembaga pendidikan harus menanamkan sikap ilmiah, sikap rasional, dan sikap objektif.
Dengan sikap tersebut, dia berharap berpendapat dan bersikap selalu berlandaskan data yang kuat serta mengurangi prasangka dalam menilai kelompok agama atau pihak-pihak lain.
"Untuk itu, perlu menyelaraskan antara keilmuan, pendidikan budi pekerti, dan nasionalisme untuk menumbuhkan rasa persatuan antaranak bangsa," katanya.
Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga meminta pemerintah harus mendorong lembaga pendidikan dengan latar belakang homogen untuk bergaul, berjumpa, dan berinteraksi dengan kelompok yang berbeda.
Didin berharap pendidikan mampu menjadi institusi penting untuk mencetak peserta didik menjadi manusia dan anggota masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal kebaikan yang berpijak pada kemanusiaan.
"Penting terus-menerus menekankan bahwa Indonesia bukan negara NU, bukan negara Muhammadiyah, bukan negara salafi, dan bukan negara berdasar paham agama lainnya," katanya.
Menurut dia, lembaga pendidikan harus mempraktikkan dan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang bersendikan kemuliaan setiap orang atau setiap warga negara.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Peneliti ungkap penyebab sikap intoleransi di dunia pendidikan
Hal itu, menurut dia, mengakibatkan antara siswa yang memiliki perbedaan, dikhawatirkan memiliki prasangka negatif dan masih canggung dalam menghadapi perbedaan.
"Lembaga pendidikan harus menjadi teladan dalam mempraktikkan pendidikan kemanusiaan dan budi pekerti. Pendidikan kemanusiaan yang efektif dalam mengubah perilaku ialah dengan menjadikan lembaga pendidikan itu sendiri sebagai teladan mempraktikkan pendidikan kemanusiaan," kata Didin di Jakarta, Jumat.
Didin menilai tiap unsur yang terlibat di dalam lingkungan sekolah, seperti kepala sekolah, guru, petugas keamanan, petugas kebersihan, petugas kantin, baik laki maupun perempuan, harus saling memuliakan satu sama lain.
Menurut dia, semua unsur harus memperlakukan secara setara dan adil apa pun agama, suku, status ekonomi, warna kulit, dan lainnya. Siswa harus ditanamkan pemikiran yang kritis serta mempraktikkan demokrasi.
"Pendidikan budi pekerti masih kurang karena pelaksanaannya masih melalui ceramah atau pengajaran. Padahal, pendidikan budi pekerti memerlukan diskusi dan dialog terbuka kritis, pembiasaan, keteladanan, dan konsensus bersama melalui proses demokratis," ujarnya.
Didin mencontohkan kasus APH yang diduga melakukan ujaran kebencian terhadap warga Muhammadiyah, mengingatkan bahwa lembaga pendidikan harus menanamkan sikap ilmiah, sikap rasional, dan sikap objektif.
Dengan sikap tersebut, dia berharap berpendapat dan bersikap selalu berlandaskan data yang kuat serta mengurangi prasangka dalam menilai kelompok agama atau pihak-pihak lain.
"Untuk itu, perlu menyelaraskan antara keilmuan, pendidikan budi pekerti, dan nasionalisme untuk menumbuhkan rasa persatuan antaranak bangsa," katanya.
Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga meminta pemerintah harus mendorong lembaga pendidikan dengan latar belakang homogen untuk bergaul, berjumpa, dan berinteraksi dengan kelompok yang berbeda.
Didin berharap pendidikan mampu menjadi institusi penting untuk mencetak peserta didik menjadi manusia dan anggota masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal kebaikan yang berpijak pada kemanusiaan.
"Penting terus-menerus menekankan bahwa Indonesia bukan negara NU, bukan negara Muhammadiyah, bukan negara salafi, dan bukan negara berdasar paham agama lainnya," katanya.
Menurut dia, lembaga pendidikan harus mempraktikkan dan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang bersendikan kemuliaan setiap orang atau setiap warga negara.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Peneliti ungkap penyebab sikap intoleransi di dunia pendidikan