Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum DPP Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Pepabri) Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar mengemukakan penempatan prajurit aktif di institusi sipil harus bersumber adanya permintaan dari institusi sipil tersebut.
"Kalau dulu ada anggota TNI yang ditugaskan di jabatan sipil, itu sifatnya penugasan, ada kekaryaan di TNI. Penugasan ini dasarnya adalah permintaan," kata Agum di lingkungan Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin.
Agum mencontohkan penempatan prajurit aktif TNI di pemerintah daerah pada masa lalu karena adanya permintaan masyarakat setempat yang diajukan secara berjenjang melalui Korem, Kodam, hingga Mabes TNI.
"Kalau katakanlah di satu kabupaten, rakyat aspirasinya bahwa bupatinya seorang militer maka diproses ini, diajukan kepada Korem, diajukan ke Kodam, diajukan ke Mabes TNI," katanya.
Menurut Agum, Mabes TNI tidak bisa menempatkan prajurit aktif di institusi sipil tanpa adanya permintaan.
Namun, Agum juga mengakui permintaan penempatan prajurit aktif TNI pada masa dahulu kerap direkayasa. "Itu yang salah," imbuhnya.
Jika tidak ada permintaan dari kalangan sipil, Mabes TNI semestinya tidak mengirim prajurit aktif untuk bertugas di institusi sipil.
"Kalau tidak ada permintaan, jangan coba-coba beri atau TNI kirim orang ke sana. Itu salah. Itu yang dicaci-maki oleh rakyat waktu itu, seolah-olah itulah dwifungsi," ujarnya.
Lebih lanjut, Agum menjelaskan jika ada permintaan dari institusi sipil, Mabes TNI juga perlu mengalkulasi apakah bisa memenuhi permintaan tersebut.
Agum menjelaskan kerap terjadi salah kaprah oleh masyarakat antara penerapan dwifungsi dan penugasan prajurit aktif TNI.
"Dwifungsi itu adalah suatu peran dari TNI dan Polri, ABRI waktu itu bersama-sama dengan kekuatan sosial politik lainnya untuk bersama-sama membawa bangsa ini ke tujuan nasional. Itu dwifungsi, bukan penugaskaryaan. Penugaskaryaan itu permintaan, tanpa permintaan tidak ada tugas karya," ujar dia.
Oleh karena itu, Agum menilai revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang saat ini sedang berproses tidak perlu mengakomodasi perluasan penempatan prajurit aktif di institusi sipil.
"Oh jangan, tidak perlu lagi. Sudah jelas," kata Agum.
Sebelumnya, Badan Pembinaan Hukum TNI sedang menggodok usulan draf perubahan UU TNI, antara lain soal penambahan pos-pos kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI.
Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI diatur 10 pos jabatan di kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI, sementara pada usulan yang masih digodok oleh internal Babinkum ada 18 kementerian/lembaga.
Tambahan delapan kementerian/lembaga itu meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Agum: Penempatan prajurit di institusi sipil harus karena permintaan
"Kalau dulu ada anggota TNI yang ditugaskan di jabatan sipil, itu sifatnya penugasan, ada kekaryaan di TNI. Penugasan ini dasarnya adalah permintaan," kata Agum di lingkungan Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin.
Agum mencontohkan penempatan prajurit aktif TNI di pemerintah daerah pada masa lalu karena adanya permintaan masyarakat setempat yang diajukan secara berjenjang melalui Korem, Kodam, hingga Mabes TNI.
"Kalau katakanlah di satu kabupaten, rakyat aspirasinya bahwa bupatinya seorang militer maka diproses ini, diajukan kepada Korem, diajukan ke Kodam, diajukan ke Mabes TNI," katanya.
Menurut Agum, Mabes TNI tidak bisa menempatkan prajurit aktif di institusi sipil tanpa adanya permintaan.
Namun, Agum juga mengakui permintaan penempatan prajurit aktif TNI pada masa dahulu kerap direkayasa. "Itu yang salah," imbuhnya.
Jika tidak ada permintaan dari kalangan sipil, Mabes TNI semestinya tidak mengirim prajurit aktif untuk bertugas di institusi sipil.
"Kalau tidak ada permintaan, jangan coba-coba beri atau TNI kirim orang ke sana. Itu salah. Itu yang dicaci-maki oleh rakyat waktu itu, seolah-olah itulah dwifungsi," ujarnya.
Lebih lanjut, Agum menjelaskan jika ada permintaan dari institusi sipil, Mabes TNI juga perlu mengalkulasi apakah bisa memenuhi permintaan tersebut.
Agum menjelaskan kerap terjadi salah kaprah oleh masyarakat antara penerapan dwifungsi dan penugasan prajurit aktif TNI.
"Dwifungsi itu adalah suatu peran dari TNI dan Polri, ABRI waktu itu bersama-sama dengan kekuatan sosial politik lainnya untuk bersama-sama membawa bangsa ini ke tujuan nasional. Itu dwifungsi, bukan penugaskaryaan. Penugaskaryaan itu permintaan, tanpa permintaan tidak ada tugas karya," ujar dia.
Oleh karena itu, Agum menilai revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang saat ini sedang berproses tidak perlu mengakomodasi perluasan penempatan prajurit aktif di institusi sipil.
"Oh jangan, tidak perlu lagi. Sudah jelas," kata Agum.
Sebelumnya, Badan Pembinaan Hukum TNI sedang menggodok usulan draf perubahan UU TNI, antara lain soal penambahan pos-pos kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI.
Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI diatur 10 pos jabatan di kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI, sementara pada usulan yang masih digodok oleh internal Babinkum ada 18 kementerian/lembaga.
Tambahan delapan kementerian/lembaga itu meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Agum: Penempatan prajurit di institusi sipil harus karena permintaan