Makassar (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia merespons kritik Indonesia  Corruption Watch (ICW) bersama sejumlah aliansi masyarakat sipil yang mempersoalkan mantan narapidana koruptor bisa maju sebagai calon anggota legislatif (Caleg) pada Pemilu 2024.

"Itu nanti akan diuji. Saat ini proses Vermin (Verifikasi Administrasi). Tapi kita akan uji," ujar Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu. 

Kritikan tersebut menyusul dikeluarkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota serta PKPU Nomor 11 tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD. 

Sumber masalahnya pada pasal 11 ayat 6 di PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan pasal 18 ayat 2 PKPU Nomor 11 Tahun 2023, dimana disebutkan mantan terpidana korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun sepanjang vonis pengadilannya memuat pencabutan hak politik.

Menanggapi kritikan tersebut, Lolly menyatakan tentu Bawaslu merespons semua masukan yang ada, mengingat saat ini dalam proses pengawasan verifikasi administrasi berkas Bacaleg sedang berlangsung dan tahapannya belum selesai di semua tingkatan KPU. 

"Kenapa proses ini menjadi pengawasan Bawaslu, salah satunya memastikan hal-hal seperti itu bisa kita temukan sejak awal. Soal narapidana sudah jelas, semestinya tidak multi tafsir lagi, itu sudah bisa dieksekusi," papar Divisi Hubungan Masyarakat dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu RI ini menegaskan.

Mantan aktivis perempuan jebolan Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia itu mengemukakan, sejauh ini Bawaslu di semua tingkatan sedang melaksanakan pengawasan masa tahapan Vermin bacaleg dimulai sejak 15 Mei hingga 23 Juni 2023.

"Ini sedang berlangsung proses (pengawasan). Nanti di akhir masa Vermin akan sampaikan hasil pengawasannya," kata mantan Sekretaris Eksekutif Kaukus Perempuan DPD RI ini menekankan. 

Sebelumnya, Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengungkapkan, ketentuan dalam PKPU tersebut dinilai mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan Nomor 87 Tahun 2022 dan Nomor 12 Tahun 2023,

MK mewajibkan mantan terpidana menjalani masa jeda lima tahun tanpa pengecualian. 

Bahkan, dari catatan ICW, rata-rata putusan  masa pencabutan hak politik seorang koruptor hanya dua sampai tiga tahun. Tentu ini bisa memberi ruang bagi para koruptor menuntut ke pengadilan agar ketentuan pencabutan hak politik dihapuskan, sehingga memudahkan mereka melenggang bebas menjadi Caleg tanpa mengikuti putusan MK.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024