Jakarta (ANTARA) - "Saya ingin menuliskan sejarah baru olahraga dan untuk saat ini Liga Pro Saudi memiliki energi yang hebat dan pemain-pemain berkualitas."

Kalimat itu dilontarkan Neymar, ketika ditanya alasan memilih hijrah ke Arab Saudi untuk menyusul Ruben Neves, Sergej Milinkovic-Savic, Kalidou Koulibaly, dan Malcom bermain bersama klub Al-Hilal.

Tak ada yang tahu persis maksud sebenarnya Neymar.

Uang sebesar 160 juta euro (Rp2,66 triliun) dalam masa kontrak dua tahun, mungkin menjadi motif bintang Paris Saint Germain itu.

Namun, kalau pun uang menjadi alasan, apa yang salah dengan Neymar? Sepak bola dan olahraga kontemporer sendiri juga tentang uang dan industri.

Lagi pula, Neymar bukan satu-satunya bintang sepak bola yang memutuskan melanjutkan karir di Arab Saudi.

Sebelum dia, megabintang Cristiano Ronaldo lebih dulu bergabung dengan Al Nassr.

Jordan Henderson dari Liverpool, kini juga bermain di Saudi bersama Al-Ettifaq, yang tengah dilatih legenda The Reds, Steven Gerrard.

Rekannya sesama mantan pemain Liverpool, Fabinho, kini memperkuat Al-Ittihad, yang juga merekrut mantan gelandang Chelsea N'Golo Kande dan bintang Real Madrid Karim Benzema.

Masih ada gelandang Manchester City Riyad Mahrez yang digaet Al-Ahli, sedangkan bek sayap Manchester United Alex Telles menyusul Ronaldo di Al-Nassr.

Sebenarnya masih banyak lagi nama-nama terkenal di Liga Pro Saudi.

Saudi juga tak mau berhenti merayu bintang-bintang Eropa.

Al-Hilal, bahkan kabarnya menawarkan bayaran fantastis 332 juta dolar AS (Rp5,08 triliun) kepada striker Paris St-Germain Kylian Mbappe.

Mbappe yang masih ingin merengkuh banyak hal di Eropa, menampik tawaran itu.


Bidik panggung lebih besar

Dari sini, bukan saja nama-nama besar yang hendak ditarik klub-klub Arab Saudi yang menarik perhatian.

Bagaimana klub-klub Arab Saudi merayu talenta-talenta sepak bola hebat di dunia juga bagian yang menarik dalam proses itu.

Sebagian orang menganggap apa yang dilakukan Saudi juga dilakukan liga sepak bola Amerika Serikat dan liga sepak bola China.

Mereka dianggap sama-sama menarik pemain-pemain liga Eropa yang sudah melewati masa puncaknya.

Namun, anggapan itu buyar manakala Ruben Neves dan Allan Saint-Maximin yang sama-sama masih berusia 26 tahun, ikut berkelana di Arab Saudi.

Saint-Maximin meninggalkan Newcastle menuju Al-Ahli, sedangkan Neves merapat Al-Hilal, setelah meninggalkan Wolverhampton Wanderers yang masih tergolong klub kaya.

Apa yang dilakukan Saudi itu tak dilakukan, baik oleh Liga Super China maupun Major League Soccer di Amerika Serikat.

Kedua liga itu hampir tak pernah menawarkan kontrak gila-gilaan kepada pemain-pemain Eropa.

Sebaliknya, Saudi dengan penuh percaya diri menawarkan kontrak bernilai fantastis, termasuk kepada Ronaldo, Lionel Messi, Karim Benzema, dan Neymar, walau Messi menolaknya.

Cara Saudi menarik nama-nama besar, seperti Ronaldo dan Neymar, adalah bagian dari upaya ambisius mereka dalam menjadikan liga sepak bolanya untuk masuk elite global.

Klub-klub mereka sudah merajalela di tingkat regional. Beberapa di antaranya, bahkan langganan kampiun Liga Champions Asia.

Kini, mereka membidik panggung lebih besar dan lebih tinggi lagi. Mereka kini ingin masuk 10 liga terbaik di dunia.

Dan Saudi serius soal ini. Berbagai langkah pun sudah mereka tempuh, termasuk menswastanisasi klub-klub sepak bolanya.

Swastanisasi itu, di antaranya ditempuh dengan mengakuisisi saham klub sepak bola, lewat Public Investment Fund (PIF), yang merupakan lengan investasi Saudi.


Demi Visi Saudi 2030

PIF yang merupakan pemilik Newcastle United dan sukses mengubah klub Liga Inggris itu menjadi tim yang sangat kuat, kini menjadi pemilik 75 persen Al Ittihad, Al Ahli, Al Nassr, dan Al Hilal, yang keempatnya adalah klub besar Saudi.

Dengan membenamkan modal ke klub-klubnya, Saudi berusaha mengubah liga sepak bolanya menjadi semakin besar dan menarik, sekaligus meningkatkan profil bisnisnya untuk kemudian bisa menghasilkan pemasukan yang semakin besar.

Lewat lengan PIF, klub-klub itu menaikkan citra, dan liga Saudi pada umumnya, dengan mendatangkan pemain-pemain hebat di dunia, berapa pun bayarannya.

Tak seperti liga-liga di Eropa, klub-klub liga Saudi tak terikat aturan belanja pemain. Dengan demikian, tak ada batasan berapa nilai kontrak yang boleh mereka tawarkan kepada pemain-pemain yang diincar mereka.

Tetapi justru karena "kelebihan" itu, klub-klub Saudi menjadi berkah untuk klub-klub Eropa yang kesulitan menjual pemain berharga tinggi.

Saudi pun menjadi penyelamat bagi klub-klub Eropa karena pemain-pemain mahal, tapi sulit dijual, seperti Ronaldo, Neymar, dan Ruben Neves, bisa mereka lepas dalam nilai besar tanpa melanggar ketentuan Financial Fair Play.

Duit pun masuk, sehingga dana untuk membeli pemain baru didapatkan.

Arab Saudi sendiri, bisa anteng mengubah wajah sepak bolanya menjadi semakin bagus. Dan itu terbukti, baik di tingkat klub maupun tingkat timnas.

Di level timnas, Saudi sudah enam kali tampil dalam delapan Piala Dunia FIFA terakhir. Bahkan, tahun lalu mereka mengejutkan dunia ketika menaklukkan Argentina yang lalu menjadi juara dunia 2022.

Kini, bersama Mesir dan Yunani, Saudi berusaha menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA 2030.

Tekad kuat, uang berlimpah, dan upaya simultan dalam menguatkan kualitas sepak bolanya, membuat asa menjadi tuan rumah Piala Dunia 2030 bukan angan-angan.

Saudi serius melakukan semua itu karena ingin mewujudkan Visi 2030 yang mencita-citakan sebuah negara yang tak lagi tergantung kepada minyak bumi.

Lewat visi itu Saudi berusaha memodernisasi diri dalam segala bidang, dan mendiversifikasi ekonomi dengan membangun industri-industri baru yang menjadi sumber-sumber pendapatan baru.

Dan olahraga, termasuk sepak bola, adalah salah satu pilar Visi Saudi 2030.

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024