Makassar (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Selatan(Sulsel) masih menunggu petunjuk teknis (Juknis) dari KPU RI berkaitan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan uji materi dua Peraturan KPU (PKPU) berkaitan eks narapidana kasus korupsi maju menjadi calon legislatif(caleg).

"Kami masih menunggu petunjuk teknis dari KPU RI sebagai regulator," ujar Ketua KPU Sulsel Hazbullah di Makassar, Selasa.

Saat ditanya apakah masih ada perubahan nama-nama bakal calon legislatif (Bacaleg) yang sudah disetorkan Partai Politik (Parpol) baik melalui berkas maupun didaftarkan pada sistem informasi pencalonan(Silon) di website KPU, kata dia, hal tersebut dikembalikan ke Parpol.

"Tergantung Parpol sebagai peserta pemilu. Karena belum ada petunjuk teknis pergantian bacaleg," kata dia singkat.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) memerintahkan KPU RI untuk mencabut dua aturan yang dinilai mempermudah mantan narapidana kasus korupsi kembali maju sebagai calon anggota legislatif (Caleg).

Hal tersebut berdasarkan dikabulkannya uji materi oleh MA atas Pasal 11 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023 yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta dua eks pimpinan KPK yakni Saut Situmorang dan Abraham Samad.

"Memerintahkan kepada Termohon (KPU) untuk mencabut Pasal 11 ayat (6) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang perubahan kedua atas Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2022 tentang pencalonan perseorangan peserta pemilihan umum anggota DPD serta seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh Termohon," demikian bunyi keterangan tertulis MA.

Dua ketentuan tersebut dipersoalkan karena dinilai membuka pintu bagi mantan terpidana korupsi untuk maju sebagai caleg tanpa menunggu masa jeda selama lima tahun yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam putusan, MA pun menyatakan Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022.

Sementara, Pasal 18 Ayat (2) PKPU 11/2023 bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023.

MA menyatakan kedua pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam pertimbangan hukum, MA menilai perlu ada syarat ketat dalam menyaring para calon wakil rakyat demi mencegah terjadinya tindak pidana korupsi oleh para wakil rakyat yang terpilih dari hasil pemilu.

MA menyebut tindak pidana korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa sehingga tidak adanya persyaratan ketat dipandang bakal mengakibatkan proses pembangunan yang terhambat dan tidak tepat sasaran, mempengaruhi kebijakan publik dan produk legislasi yang koruptif.

Tujuan Pemilu adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis maka diperlukan sistem penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dan berintegritas.

Baca juga: PKPU pencalegan mantan terpidana dianulir MA

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Redaktur Makassar
Copyright © ANTARA 2024