Washington (ANTARA) - Kepala bantuan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Jumat mengatakan upaya apapun oleh Israel untuk mengubah susunan Jalur Gaza " harus tegas ditolak".
“Kami sangat khawatir dengan pernyataan baru-baru ini dari para menteri Israel mengenai rencana untuk mendorong perpindahan massal warga sipil dari Gaza ke negara ketiga, yang saat ini disebut ‘relokasi sukarela’,” kata Martin Griffiths kepada Dewan Keamanan mengenai situasi kemanusiaan di Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina.
"Pernyataan ini meningkatkan keprihatinan besar mengenai kemungkinan perpindahan masal paksa atau deportasi penduduk Palestina dari Jalur Gaza, sesuatu yang dilarang keras berdasarkan hukum internasional. Segala upaya untuk mengubah komposisi demografi Gaza harus ditolak dengan tegas,” katanya.
Beberapa negara telah menawarkan diri untuk menampung warga sipil yang ingin meninggalkan Gaza untuk menyelamatkan diri, kata Grifftih. "Saya ingin menekankan bahwa setiap orang yang keluar dari Gaza harus diizinkan untuk kembali, seperti tuntutan hukum internasional.
Griffiths mengatakan situasi di Gaza tetap “mengerikan” karena operasi militer Israel yang “tanpa henti” terus berlanjut. “Tidak ada tempat yang aman di Gaza. Kehidupan manusia yang bermartabat hampir mustahil.”
Dia menegaskan kembali tuntutannya untuk gencatan senjata dan agar Dewan mengambil tindakan segera untuk mengakhiri perang.
Sementara itu asisten kepala kantor hak asasi manusia Ilze Brands Kehris mengatakan situasi mengerikan dan penderitaan besar di Gaza “dapat dicegah dan diperkirakan,” dan telah diperingatkan selama berminggu-minggu.
Dia mengatakan pengungsian besar-besaran di Gaza dimulai pada 12 Oktober ketika pemerintah Israel memerintahkan warga Palestina di utara Wadi Gaza untuk mengosongkan rumah mereka dan pergi ke selatan.
"Sementara Israel mengatakan bahwa perintah evakuasi tersebut untuk keamanan warga sipil Palestina, yang tampaknya hanya membuat sedikit ketentuan untuk memastikan relokasi tersebut mematuhi hukum internasional.
“Evakuasi paksa seperti itu, yang tidak memenuhi syarat sahnya, berpotensi menjadi pemindahan paksa, dan adalah kejahatan perang,” kata Kehris.
Kehris menyatakan bahwa pernyataan 'menghasut' oleh para pemimpin Israel yang mendorong pemukiman kembali warga Palestina secara permanen di luar negeri telah menumbuhkan kekhawatiran bahwa warga Palestina yang sengaja dipaksa keluar dari Gaza dan tidak akan bisa kembali.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Hak warga Palestina untuk kembali ke rumah mereka harus mendapat jaminan ketat,” tambahnya.
Israel melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti di Jalur Gaza sejak serangan lintas batas oleh Hamas, yang menurut Tel Aviv menewaskan sekitar 1.200 orang.
Setidaknya 23.708 warga Palestina terbunuh, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan 60.050 orang terluka, menurut otoritas kesehatan Palestina.
Menurut PBB, 85 persen penduduk Gaza telah menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur.
Sumber: Anadolu
“Kami sangat khawatir dengan pernyataan baru-baru ini dari para menteri Israel mengenai rencana untuk mendorong perpindahan massal warga sipil dari Gaza ke negara ketiga, yang saat ini disebut ‘relokasi sukarela’,” kata Martin Griffiths kepada Dewan Keamanan mengenai situasi kemanusiaan di Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina.
"Pernyataan ini meningkatkan keprihatinan besar mengenai kemungkinan perpindahan masal paksa atau deportasi penduduk Palestina dari Jalur Gaza, sesuatu yang dilarang keras berdasarkan hukum internasional. Segala upaya untuk mengubah komposisi demografi Gaza harus ditolak dengan tegas,” katanya.
Beberapa negara telah menawarkan diri untuk menampung warga sipil yang ingin meninggalkan Gaza untuk menyelamatkan diri, kata Grifftih. "Saya ingin menekankan bahwa setiap orang yang keluar dari Gaza harus diizinkan untuk kembali, seperti tuntutan hukum internasional.
Griffiths mengatakan situasi di Gaza tetap “mengerikan” karena operasi militer Israel yang “tanpa henti” terus berlanjut. “Tidak ada tempat yang aman di Gaza. Kehidupan manusia yang bermartabat hampir mustahil.”
Dia menegaskan kembali tuntutannya untuk gencatan senjata dan agar Dewan mengambil tindakan segera untuk mengakhiri perang.
Sementara itu asisten kepala kantor hak asasi manusia Ilze Brands Kehris mengatakan situasi mengerikan dan penderitaan besar di Gaza “dapat dicegah dan diperkirakan,” dan telah diperingatkan selama berminggu-minggu.
Dia mengatakan pengungsian besar-besaran di Gaza dimulai pada 12 Oktober ketika pemerintah Israel memerintahkan warga Palestina di utara Wadi Gaza untuk mengosongkan rumah mereka dan pergi ke selatan.
"Sementara Israel mengatakan bahwa perintah evakuasi tersebut untuk keamanan warga sipil Palestina, yang tampaknya hanya membuat sedikit ketentuan untuk memastikan relokasi tersebut mematuhi hukum internasional.
“Evakuasi paksa seperti itu, yang tidak memenuhi syarat sahnya, berpotensi menjadi pemindahan paksa, dan adalah kejahatan perang,” kata Kehris.
Kehris menyatakan bahwa pernyataan 'menghasut' oleh para pemimpin Israel yang mendorong pemukiman kembali warga Palestina secara permanen di luar negeri telah menumbuhkan kekhawatiran bahwa warga Palestina yang sengaja dipaksa keluar dari Gaza dan tidak akan bisa kembali.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Hak warga Palestina untuk kembali ke rumah mereka harus mendapat jaminan ketat,” tambahnya.
Israel melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti di Jalur Gaza sejak serangan lintas batas oleh Hamas, yang menurut Tel Aviv menewaskan sekitar 1.200 orang.
Setidaknya 23.708 warga Palestina terbunuh, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan 60.050 orang terluka, menurut otoritas kesehatan Palestina.
Menurut PBB, 85 persen penduduk Gaza telah menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur.
Sumber: Anadolu