Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mengakhiri kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan untuk dampak COVID-19, Minggu, mengingat kondisi perbankan Indonesia sudah resilien hadapi dinamika perekonomian.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menilai, saat ini kondisi perbankan Indonesia sudah resilien dalam menghadapi dinamika perekonomian berkat tingkat permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai, serta manajemen risiko yang baik.
"Berakhirnya kebijakan tersebut (restrukturisasi kredit) konsisten dengan pencabutan status pandemi COVID-19 oleh Pemerintah pada Juni 2023, serta mempertimbangkan perekonomian Indonesia yang telah pulih dari dampak pandemi," ujar Mahendra, di Jakarta, Minggu.
Stimulus restrukturisasi kredit merupakan bagian dari kebijakan countercyclical dan kebijakan yang sangat penting (landmark policy) dalam menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum untuk melewati periode pandemi.
Restrukturisasi kredit yang diterbitkan sejak awal 2020 telah banyak dimanfaatkan oleh debitur, terutama pelaku UMKM.
Selama empat tahun implementasi, pemanfaatan stimulus restrukturisasi kredit ini telah mencapai Rp830,2 triliun, yang diberikan kepada 6,68 juta debitur pada Oktober 2020 yang merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Sebanyak 75 persen dari total debitur penerima stimulus adalah segmen UMKM, atau sebanyak 4,96 juta debitur dengan total outstanding Rp348,8 triliun.
Sejalan dengan pemulihan ekonomi yang terjadi, tren kredit restrukturisasi terus mengalami penurunan baik dari sisi outstanding maupun jumlah debitur.
Pada Januari 2024, outstanding kredit restrukturisasi COVID-19 telah menurun signifikan menjadi sebesar Rp251,2 triliun yang diberikan kepada 977 ribu debitur.
Berbagai indikator pada Januari 2024 menunjukkan perbankan Indonesia dalam kondisi yang baik. Tercermin dari rasio kecukupan modal (CAR) di level 27,54 persen, kondisi likuiditas yang ditunjukkan oleh Liquidity Coverage Ratio (LCR) sebesar 231,14 persen, dan Alat Likuid/Non Core Deposit (AL/NCD) sebesar 123,42 persen serta tingkat rentabilitas yang memadai.
Menurut Mahendra, hal itu diharapkan dapat menjadi bantalan mitigasi risiko yang solid di tengah kondisi perekonomian global yang masih tidak menentu.
Sementara itu, kualitas kredit tetap terjaga di bawah threshold 5 persen, yaitu NPL Gross sebesar 2,35 persen dan NPL Nett sebesar 0,79 persen.
Sebelumnya, OJK telah mengambil kebijakan untuk memperpanjang POJK stimulus lanjutan hingga 31 Maret 2024 guna mendukung segmen sektor industri dan daerah tertentu melalui KDK No.34/KDK.03/2022.
Mahendra mengatakan, penerapan kebijakan ini tentunya diimbangi dengan penerapan aspek manajemen risiko yang lebih ketat (stringent).
Di samping itu, juga memperhatikan arah normalisasi kebijakan sejalan dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain (common practices), sehingga dapat mempersiapkan industri perbankan untuk kembali pada kondisi normal secara terkendali (soft landing) ketika stimulus berakhir.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa dalam menghadapi berakhirnya kebijakan stimulus COVID-19, OJK telah mempertimbangkan seluruh aspek secara mendalam untuk kesiapan industri perbankan.
Berdasarkan evaluasi dan laporan uji ketahanan perbankan menjelang berakhirnya stimulus, potensi kenaikan risiko kredit (NPL) dan ketahanan perbankan diproyeksikan masih terjaga dengan sangat baik.
Outstanding kredit restrukturisasi COVID-19 perbankan terus mengalami penurunan, namun tingkat pencadangan (CKPN) yang dibentuk Bank terus meningkat, melebihi periode sebelum pandemi.
"Kondisi ini merupakan cerminan kesiapan perbankan yang dinilai telah kembali pada kondisi normal secara terkendali (soft landing) mengakhiri periode stimulus," ujar Dian.
Pada sisi lain, seiring dengan pandemi yang mereda dan pencabutan status pandemi oleh pemerintah, perekonomian Indonesia di hampir seluruh sektor juga kembali pulih dengan pertumbuhan 5,04 persen pada tahun 2023.
Dia menambahkan bahwa dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, kebijakan stimulus OJK berakhir sesuai dengan masa berlakunya.
"Kontribusi ini merupakan kisah keberhasilan kontribusi signifikan sektor perbankan menopang perekonomian nasional melewati periode pandemi," ujarnya lagi.
Untuk memastikan kelancaran normalisasi kebijakan tersebut, bank tetap dapat melanjutkan restrukturisasi kredit COVID-19 yang sudah berjalan.
Sedangkan permintaan restrukturisasi kredit baru dapat dilakukan dengan mengacu pada kebijakan normal yang berlaku yaitu POJK No. 40/2019 tentang Kualitas Aset.
Dengan demikian, integritas laporan keuangan perbankan diharapkan akan semakin baik dan dapat sepenuhnya mengacu pada praktik terbaik yang berlaku (best practice) standar keuangan.
Seiring dengan hal tersebut, OJK senantiasa melakukan langkah pengawasan (supervisory action) untuk memastikan kesiapan setiap bank secara individu.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menilai, saat ini kondisi perbankan Indonesia sudah resilien dalam menghadapi dinamika perekonomian berkat tingkat permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai, serta manajemen risiko yang baik.
"Berakhirnya kebijakan tersebut (restrukturisasi kredit) konsisten dengan pencabutan status pandemi COVID-19 oleh Pemerintah pada Juni 2023, serta mempertimbangkan perekonomian Indonesia yang telah pulih dari dampak pandemi," ujar Mahendra, di Jakarta, Minggu.
Stimulus restrukturisasi kredit merupakan bagian dari kebijakan countercyclical dan kebijakan yang sangat penting (landmark policy) dalam menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum untuk melewati periode pandemi.
Restrukturisasi kredit yang diterbitkan sejak awal 2020 telah banyak dimanfaatkan oleh debitur, terutama pelaku UMKM.
Selama empat tahun implementasi, pemanfaatan stimulus restrukturisasi kredit ini telah mencapai Rp830,2 triliun, yang diberikan kepada 6,68 juta debitur pada Oktober 2020 yang merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Sebanyak 75 persen dari total debitur penerima stimulus adalah segmen UMKM, atau sebanyak 4,96 juta debitur dengan total outstanding Rp348,8 triliun.
Sejalan dengan pemulihan ekonomi yang terjadi, tren kredit restrukturisasi terus mengalami penurunan baik dari sisi outstanding maupun jumlah debitur.
Pada Januari 2024, outstanding kredit restrukturisasi COVID-19 telah menurun signifikan menjadi sebesar Rp251,2 triliun yang diberikan kepada 977 ribu debitur.
Berbagai indikator pada Januari 2024 menunjukkan perbankan Indonesia dalam kondisi yang baik. Tercermin dari rasio kecukupan modal (CAR) di level 27,54 persen, kondisi likuiditas yang ditunjukkan oleh Liquidity Coverage Ratio (LCR) sebesar 231,14 persen, dan Alat Likuid/Non Core Deposit (AL/NCD) sebesar 123,42 persen serta tingkat rentabilitas yang memadai.
Menurut Mahendra, hal itu diharapkan dapat menjadi bantalan mitigasi risiko yang solid di tengah kondisi perekonomian global yang masih tidak menentu.
Sementara itu, kualitas kredit tetap terjaga di bawah threshold 5 persen, yaitu NPL Gross sebesar 2,35 persen dan NPL Nett sebesar 0,79 persen.
Sebelumnya, OJK telah mengambil kebijakan untuk memperpanjang POJK stimulus lanjutan hingga 31 Maret 2024 guna mendukung segmen sektor industri dan daerah tertentu melalui KDK No.34/KDK.03/2022.
Mahendra mengatakan, penerapan kebijakan ini tentunya diimbangi dengan penerapan aspek manajemen risiko yang lebih ketat (stringent).
Di samping itu, juga memperhatikan arah normalisasi kebijakan sejalan dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain (common practices), sehingga dapat mempersiapkan industri perbankan untuk kembali pada kondisi normal secara terkendali (soft landing) ketika stimulus berakhir.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa dalam menghadapi berakhirnya kebijakan stimulus COVID-19, OJK telah mempertimbangkan seluruh aspek secara mendalam untuk kesiapan industri perbankan.
Berdasarkan evaluasi dan laporan uji ketahanan perbankan menjelang berakhirnya stimulus, potensi kenaikan risiko kredit (NPL) dan ketahanan perbankan diproyeksikan masih terjaga dengan sangat baik.
Outstanding kredit restrukturisasi COVID-19 perbankan terus mengalami penurunan, namun tingkat pencadangan (CKPN) yang dibentuk Bank terus meningkat, melebihi periode sebelum pandemi.
"Kondisi ini merupakan cerminan kesiapan perbankan yang dinilai telah kembali pada kondisi normal secara terkendali (soft landing) mengakhiri periode stimulus," ujar Dian.
Pada sisi lain, seiring dengan pandemi yang mereda dan pencabutan status pandemi oleh pemerintah, perekonomian Indonesia di hampir seluruh sektor juga kembali pulih dengan pertumbuhan 5,04 persen pada tahun 2023.
Dia menambahkan bahwa dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, kebijakan stimulus OJK berakhir sesuai dengan masa berlakunya.
"Kontribusi ini merupakan kisah keberhasilan kontribusi signifikan sektor perbankan menopang perekonomian nasional melewati periode pandemi," ujarnya lagi.
Untuk memastikan kelancaran normalisasi kebijakan tersebut, bank tetap dapat melanjutkan restrukturisasi kredit COVID-19 yang sudah berjalan.
Sedangkan permintaan restrukturisasi kredit baru dapat dilakukan dengan mengacu pada kebijakan normal yang berlaku yaitu POJK No. 40/2019 tentang Kualitas Aset.
Dengan demikian, integritas laporan keuangan perbankan diharapkan akan semakin baik dan dapat sepenuhnya mengacu pada praktik terbaik yang berlaku (best practice) standar keuangan.
Seiring dengan hal tersebut, OJK senantiasa melakukan langkah pengawasan (supervisory action) untuk memastikan kesiapan setiap bank secara individu.