Kupang (ANTARA Sulsel) - Philipus Fernandez, kuasa hukum tersangka Buyung Abdul Munaf Rosna, mempertanyakan status uang Rp300 juta milik kliennya itu yang disita dan dijadikan barang bukti oleh pihak Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur.

Menurut Philipus Fernandez, Sabtu di Kupang, aparat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) menangkap Buyung Abdul Munaf Rosna, pejabat PNS Politeknik Negeri Kupang, Jumat (21/3) dini hari.

Buyung Abdul Munaf Rosna disangka melakukan serangkaian tindak pidana, dari pencucian uang, korupsi, dan dugaan melakukan penyuapan.

Dalam penyergapan tersebut, sempat disita sejumlah barang bukti, berupa sebuah mobil Isuzu berwarna hitam dengan nomor polisi DH-9047-AC yang di dalamnya terdapat uang Rp300 juta. Uang pecahan Rp100 ribuan itu dikemas dalam tiga bal ikatan. Selain itu juga disita dua unit sepeda motor.

Philipus mengatakan, uang RP300 juta yang menurut pihak Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur adalah barang bukti tindak kejahatan berupa korupsi dan pencucian uang oleh kliennya Buyung, hingga kini belum dimasukkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

"Saat diperiksa pascapenangkapan pada Jumat dini hari itu, penyidik yang mengajukan 36 pertanyaan kepada Buyung belum memasukkan barang bukti uang Rp300 juta tersebut," kata Philipus.

Jika uang Rp300 juta tersebut dijadikan sebagai barang bukti penyuapan, maka hal itu sangat tidak tepat, karena inisiatif bukan berasal dari tersangka, tetapi justru berasal dari pihak personel Kejaksaan Tinggi NTT.

Menurut pengakuan Buyung, kata Philipus, pihak Kejasaan Tinggi yang menghubungi tersangka dan diminta menyediakan uang Rp5 miliar untuk kepentingan tertentu. Namun karena tidak mempunyai uang sebanyak itu, maka yang bisa dibawa saat penangkapan hanya Rp300 juta.

Hal itu, lanjut Philipus, tidak lalu disebut terjadi upaya penyuapan atau gratifikasi, karena sesuai dengan aturannya, penyuapan dan gratifikasi, harus dimulai atau diinisiasi oleh tersangka. "Nah sekarang yang menghubungi klien saya orang Kejaksaan Tinggi NTT dan minta Rp5 miliar, kenapa klien saya yang disalahkan melakukan penyuapan?" katanya.

Dia mengaku, sejumlah dokumen yang disita oleh Kejaksaan Tinggi, terdapat sejumlah bukti transfer rekening di sejumlah bank dari beberapa rekanan kepada Buyung. "Ada sekitar 13 rekening ditransfer melalui Bank NTT, serta melalui Bank Mandiri dan BCA masing-masing sekali, dengan total miliaran rupiah," kata Philipus.

Namun demikian, lanjut dia, sejumlah uang tersebut, lalu diambil dan dibagikan ke beberapa pejabat di lingkup institusi pendidikan Politeknik Negeri Kupang, tempat kerja Buyung.

"Ada satu bukti rekening transfer yang dilakukan Buyung kepada ponakan mantan Direktur Politeknik Kupang yang nilainya lebih dari Rp597 juta," katanya.

Pengacara senior Nusa Tenggara Timur itu, mengaku, Buyung dimanfaatkan oleh pihak lain di lembaga pendidikan tersebut. Karena itu, lanjut dia, pihak penyidik Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur juga harus menangkap pihak lainnya. "Saya nilai ada korupsi berjamaah di lembaga tersebut, dan klien saya Buyung hanya dimanfaatkan," kata Philipus.

Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur Mangihut Sinaga, melalui Kepala Seksi Humas dan Penerangan Hukum Ridwan Angsar, mengatakan, Buyung yang adalah Kepala Unit Pengadaan Barang dan Jasa pada Politeknik Negeri Kupang itu, dikenakan pasal 12 huruf (i), undang-undang korupsi.

Modus operandi yang dilakukan tersangka, lanjut Ridwan, dengan mengerjakan sejumlah proyek, borongan menggunakan bendera pihak lain. "Tersangka ini PNS, namun kerja proyek dengan meminjam bendera pihak lain," kata Ridwan.

Kuat dugaan, uang hasil kerja proyek tersebut, digunakan untuk membeli sejumlah kendaraan bermotor, roda dua maupun empat serta rumah dan pembuatan tempat kos-kosan.

"Kami punya informasi lain, tersangka yang bekerja sebagai PNS sejak 2007 silam itu memiliki 12 mobil dan tujuh rumah serta unit kos-kosan. Kami segera lakukan penyitaan terhadap semua barang hasil pencucian uang tersebut," katanya. T. Susilo

Pewarta : Oleh Yohanes Adrianus
Editor :
Copyright © ANTARA 2024