Jakarta (ANTARA) - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang tunai Rp380 juta dan nota pembelian rumah serta berbagai barang bukti lainnya saat melakukan penggeledahan di sejumlah wilayah di Jawa Timur terkait pengembangan penyidikan dugaan suap pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022.
"Dari hasil penggeledahan tersebut, KPK telah melakukan penyitaan, di antaranya uang kurang lebih Rp380 juta, dokumen terkait pengurusan dana hibah, kwitansi dan catatan penerimaan uang bernilai miliaran rupiah, bukti setoran ke bank, bukti penggunaan uang untuk pembelian rumah, copy sertifikat rumah, dan dokumen lainnya," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat.
Penyidik KPK juga turut menyita barang-barang elektronik berupa ponsel dan media penyimpanan lainnya yang diduga memiliki keterkaitan dengan perkara yang disidik.
Tessa menerangkan penggeledahan tersebut dilakukan berdasarkan surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) yang diterbitkan KPK pada tanggal 5 Juli 2024.
Penggeledahan tersebut dilakukan terhadap beberapa rumah yang berlokasi di Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Tulungagung, Gresik dan Blitar serta beberapa lokasi di Pulau Madura yaitu di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, dan Kabupaten Sumenep.
Dalam pengembangan penyidikan tersebut, KPK telah menetapkan 21 orang tersangka yang terdiri dari empat penerima suap dan 17 pemberi suap.
Para tersangka penerima suap terdiri dari tiga orang penyelenggara negara dan satu staf penyelenggara negara. Sementara untuk 17 tersangka pemberi suap, terdiri dari 15 pihak swasta dan dua orang penyelenggara negara.
"Mengenai nama tersangka dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para tersangka akan disampaikan pada waktunya bilamana penyidikan dianggap cukup," ujarnya.
Dia mengatakan penyidikan perkara ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan terhadap Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua P Simandjuntak dan kawan-kawan pada September 2022.
Untuk diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Jawa Timur memvonis Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simandjuntak hukuman sembilan tahun penjara dalam kasus korupsi Hibah Pokok Pikiran (Pokir) DPRD Jatim Tahun Anggaran 2021.
"Menjatuhkan hukuman penjara selama sembilan tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsider hukuman kurungan selama enam bulan penjara," kata Ketua Majelis Hakim I Dewa Suardhita, Selasa (26/9/2023).
Selain itu, hakim juga mewajibkan terdakwa Sahat membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp39,5 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap. Jika tidak bisa membayar uang pengganti, maka harta miliknya disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti.
"Jika tidak sanggup membayar diganti dengan pidana penjara selama empat tahun," ucap Suardhita.
Hakim menilai terdakwa Sahat melanggar Pasal 12 a juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hakim juga mempertimbangkan hal yang memberatkan terdakwa yakni tidak mendukung pemerintah dalam pemerintahan bersih dari korupsi dan memberantas tindak pidana korupsi serta terdakwa belum mengembalikan uang yang dikorupsi.
"Sedangkan hal yang meringankan terdakwa tidak pernah dihukum sebelumnya dan mempunyai tanggungan keluarga yang harus dinafkahi," ucap Ketua Majelis Hakim I Dewa Suardhita.
Majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa dicabutnya hak politik Sahat Tua P Simandjuntak, yakni dilarang untuk menduduki dalam jabatan publik selama empat tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Arif Suhermanto menerima vonis, meski lebih rendah dari tuntutan.
"Kami merasa putusan yang dijatuhkan hakim ini memenuhi rasa keadilan di masyarakat jadi kami memutuskan untuk menerima putusan yang mulia," ucap Arif.
Sahat Tua Simanjuntak terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Desember 2022. Sahat bersama anak buahnya Rusdi dan Muhammad Chozin (almarhum), menerima suap dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi alias Eeng.
Suap itu diterima Sahat sebagai imbalan memuluskan pencairan dana hibah kelompok masyarakat (Pokmas). Sepanjang 2020 hingga 2023, sekitar Rp200 miliar dana hibah yang berhasil dicairkan olehnya.
Sementara Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi kini sudah divonis 2,5 tahun penjara. Keduanya mendapat vonis yang cukup ringan karena statusnya sebagai justice collaborator.
"Dari hasil penggeledahan tersebut, KPK telah melakukan penyitaan, di antaranya uang kurang lebih Rp380 juta, dokumen terkait pengurusan dana hibah, kwitansi dan catatan penerimaan uang bernilai miliaran rupiah, bukti setoran ke bank, bukti penggunaan uang untuk pembelian rumah, copy sertifikat rumah, dan dokumen lainnya," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat.
Penyidik KPK juga turut menyita barang-barang elektronik berupa ponsel dan media penyimpanan lainnya yang diduga memiliki keterkaitan dengan perkara yang disidik.
Tessa menerangkan penggeledahan tersebut dilakukan berdasarkan surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) yang diterbitkan KPK pada tanggal 5 Juli 2024.
Penggeledahan tersebut dilakukan terhadap beberapa rumah yang berlokasi di Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Tulungagung, Gresik dan Blitar serta beberapa lokasi di Pulau Madura yaitu di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, dan Kabupaten Sumenep.
Dalam pengembangan penyidikan tersebut, KPK telah menetapkan 21 orang tersangka yang terdiri dari empat penerima suap dan 17 pemberi suap.
Para tersangka penerima suap terdiri dari tiga orang penyelenggara negara dan satu staf penyelenggara negara. Sementara untuk 17 tersangka pemberi suap, terdiri dari 15 pihak swasta dan dua orang penyelenggara negara.
"Mengenai nama tersangka dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para tersangka akan disampaikan pada waktunya bilamana penyidikan dianggap cukup," ujarnya.
Dia mengatakan penyidikan perkara ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan terhadap Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua P Simandjuntak dan kawan-kawan pada September 2022.
Untuk diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Jawa Timur memvonis Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simandjuntak hukuman sembilan tahun penjara dalam kasus korupsi Hibah Pokok Pikiran (Pokir) DPRD Jatim Tahun Anggaran 2021.
"Menjatuhkan hukuman penjara selama sembilan tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsider hukuman kurungan selama enam bulan penjara," kata Ketua Majelis Hakim I Dewa Suardhita, Selasa (26/9/2023).
Selain itu, hakim juga mewajibkan terdakwa Sahat membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp39,5 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap. Jika tidak bisa membayar uang pengganti, maka harta miliknya disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti.
"Jika tidak sanggup membayar diganti dengan pidana penjara selama empat tahun," ucap Suardhita.
Hakim menilai terdakwa Sahat melanggar Pasal 12 a juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hakim juga mempertimbangkan hal yang memberatkan terdakwa yakni tidak mendukung pemerintah dalam pemerintahan bersih dari korupsi dan memberantas tindak pidana korupsi serta terdakwa belum mengembalikan uang yang dikorupsi.
"Sedangkan hal yang meringankan terdakwa tidak pernah dihukum sebelumnya dan mempunyai tanggungan keluarga yang harus dinafkahi," ucap Ketua Majelis Hakim I Dewa Suardhita.
Majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa dicabutnya hak politik Sahat Tua P Simandjuntak, yakni dilarang untuk menduduki dalam jabatan publik selama empat tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Arif Suhermanto menerima vonis, meski lebih rendah dari tuntutan.
"Kami merasa putusan yang dijatuhkan hakim ini memenuhi rasa keadilan di masyarakat jadi kami memutuskan untuk menerima putusan yang mulia," ucap Arif.
Sahat Tua Simanjuntak terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Desember 2022. Sahat bersama anak buahnya Rusdi dan Muhammad Chozin (almarhum), menerima suap dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi alias Eeng.
Suap itu diterima Sahat sebagai imbalan memuluskan pencairan dana hibah kelompok masyarakat (Pokmas). Sepanjang 2020 hingga 2023, sekitar Rp200 miliar dana hibah yang berhasil dicairkan olehnya.
Sementara Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi kini sudah divonis 2,5 tahun penjara. Keduanya mendapat vonis yang cukup ringan karena statusnya sebagai justice collaborator.