Jakarta (ANTARA) - Rangkaian ibadah haji dan umrah penuh dengan simbol dan pertunjukan. Dr. Ali Syari'ati, sosiolog Iran, menulis di bukunya berjudul 'Haji' bahwa bangunan Ka'bah, gerakan sa'i, lokasi Arafah, Muzdalifah, dan Mina serta aksi melempar jumrah adalah simbol, pertunjukan, bahkan drama yang sarat penuh makna. Manusia dalam hidupnya memang membutuhkan instrumen berupa simbol.
Manusia memang selain Homo sapiens alias binatang yang cerdas juga merupakan Animal symbolicum seperti yang disebut filsuf Jerman, Ernst Cassirer. Manusia adalah binatang yang menciptakan simbol-simbol.
Fungsi simbol untuk membuat kehidupan manusia di dunia lebih bermakna. Simbol menjadi alat bantu dan instrumen agar makna yang ingin diungkap mudah dipahami.
Jutaan jamaah haji yang menjalani ritual haji di Armuzna alias Arafah, Muzdalifah, dan Mina juga bagaikan sebuah pertunjukan. Wukuf di Arafah pada panas yang terik ba'da dzuhur yang dilanjutkan perjalanan ke Mina sering dianggap simbol miniatur berkumpulnya manusia di Padang Mahsyar.
Manusia berkumpul dengan pakaian ihram yang seragam menunjukkan potret kecil manusia di Padang Mahsyar berkedudukan setara di hadapan Tuhan menunggu perhitungan kehidupan di dunia.
Panas terik yang menyengat serta menggerogoti kemampuan fisik manusia menjadi simbol semua manusia kepayahan dengan dirinya.
Setiap individu berusaha menyelamatkan diri masing-masing agar tetap mampu bertahan. Seringkali suami tak berdaya ketika istrinya terpisah.
Demikian pula sebaliknya. Manusia hanya dapat pasrah menunggu agar yang terpisah kembali dengan selamat sendiri atau dibantu jamaah maupun petugas.
Usia muda
Pada konteks Indonesia, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah memprogramkan jamaah untuk memenuhi syarat isthita'ah kesehatan (mampu secara kesehatan) sebelum melunasi pembayaran haji, bukan sebaliknya.
Pemerintah juga mulai mengkampanyekan berhaji di usia muda. Dengan program tersebut pemerintah berikhtiar agar secara fisik jamaah haji mampu melewati seluruh rangkaian haji dengan baik sehingga layak diapresiasi.
Di Arafah dan Mina pemerintah juga telah berinovasi dengan menyiapkan tenda dengan pengatur suhu ruangan agar jamaah lebih terlindung dari sengatan matahari. Kelelahan terutama bagi yang lanjut usia tentu masih terasa karena tidak dapat dihindarkan.
Di balik kelelahan itu, menurut Ali Syari'ati, pergerakan dari tiga tempat yaitu Arafah, Muzdalifah, dan Mina adalah simbol dari pengetahuan, kesadaran, dan cinta.
Rangkaian ibadah haji menjadi drama pertunjukan dengan tokohnya adalah setiap individu yang berhaji dengan memerankan lakon Ibrahim, Ismail, Hajar, bahkan Adam dan Hawa.
Momen melempar jumrah pada tiga tempat di jamarat pada ritual haji juga merupakan simbol melawan syetan dan hawa nafsu seperti yang dilakukan oleh Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail. Lemparan tujuh kali dilakukan Nabi Ibrahim pada jumrah ula (lemparan pertama) yang mengusir syetan penggoda yang mencegahnya mengurbankan Ismail.
Lemparan tujuh kali juga dilakukan oleh Siti Hajar yang kemudian disimbolkan pada jumrah wustha (lemparan kedua atau tengah) karena istri Ibrahim tersebut juga digoda syetan setelah gagal menggoda Ibrahim. Sementara jumrah aqabah (lemparan ketiga) dilakukan Ismail yang sedari awal telah bertekad siap dikurbankan karena Allah.
Pada masa kini, target lemparan tersebut ditujukan pada tiga tiang pipih yang berjejer agak berjauhan di lantai dasar, lantai dua, dan lantai tiga. Di dasar tiang dibuat piringan berbentuk lonjong untuk menampung batu-batu yang dilemparkan.
Pada 10 Dzulhijjah jamaah hanya melempar jumrah aqabah dengan batu sebanyak 7 kali. Pada 11, 12, dan 13 Dzulhijjah jamaah melempar jumrah ula, jumrah wustha, dan jumrah aqabah setiap hari masing-masing 7 kali.
Di era modern, menurut Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dr. Thoat Stiawan, pergerakan Armuzna masih merupakan titik kritis pada rangkaian ibadah haji dengan resiko tinggi karena membutuhkan fisik prima dan kesadaran penuh.
Di Mina risiko semakin tinggi ketika momen melempar jumrah aqobah pada lemparan di 10 Dzulhijjah. Rute dari Mina ke Jamarat lalu kembali ke Mina seperti rute buta karena memiliki 3 jalur: lantai dasar, lantai dua, dan lantai tiga dengan pangkal dan ujung yang berbeda-beda.
Usai melempar jumrah banyak jamaah bingung kembali ke tenda di Mina sebagai tempat pulang. Pelempar di jalur lantai tiga keliru arah malah turun ke lantai dasar sehingga bingung ketika kembali.
Momen ini seperti sebuah pertunjukan manusia di dunia yang kebingungan mencari arah yang benar menuju pulang (perjuangan mencari kebenaran). Individu satu terpisah dari rombongan, bahkan rombongan juga kebingungan menuju kembali. Setiap individu dapat saja keliru arah atau tersesat, tetapi sesungguhnya semua yang hadir di Jamarat sedang merindu kembali.
Tentu para petugas yang mengetahui arah kemudian mengarahkan, menunjukkan arah, bahkan seringkali ikut mengantarkan pulang kembali ke tenda dengan penuh welas asih karena sadar ketidaktahuan jamaah arah pulang.
Hal itu bagaikan sebuah simbol bahwa dalam kehidupan sehari-hari di tanah air para guru, ustadz, pendakwah, harus menjadi penunjuk arah bagi umatnya dengan penuh welas asih.
Di masa depan penunjuk arah bagi para jamaah dapat terus berkembang dengan berbagai inovasi.
Demikian pula penempatan pos jaga petugas haji Indonesia dan pos kesehatan dapat dikoordinasikan Pemerintah Indonesia dengan tentara dan polisi Arab Saudi sehingga dapat berjaga bersama-sama. Tentu dibutuhkan upaya diplomasi yang lebih kuat segenap pihak untuk mewujudkan hal tersebut.
Rangkaian ibadah haji memang penuh simbol yang tetap terbuka dengan inovasi, teknologi dan sistem. Dengan cara itu ibadah haji semakin nyaman sekaligus bermakna.
*) Penulis adalah PPIH Arab Saudi 2024; Anggota Majelis Amanah DPP GEMA Mathla'ul Anwar.
**) Editor: Slamet Hadi Purnomo
Manusia memang selain Homo sapiens alias binatang yang cerdas juga merupakan Animal symbolicum seperti yang disebut filsuf Jerman, Ernst Cassirer. Manusia adalah binatang yang menciptakan simbol-simbol.
Fungsi simbol untuk membuat kehidupan manusia di dunia lebih bermakna. Simbol menjadi alat bantu dan instrumen agar makna yang ingin diungkap mudah dipahami.
Jutaan jamaah haji yang menjalani ritual haji di Armuzna alias Arafah, Muzdalifah, dan Mina juga bagaikan sebuah pertunjukan. Wukuf di Arafah pada panas yang terik ba'da dzuhur yang dilanjutkan perjalanan ke Mina sering dianggap simbol miniatur berkumpulnya manusia di Padang Mahsyar.
Manusia berkumpul dengan pakaian ihram yang seragam menunjukkan potret kecil manusia di Padang Mahsyar berkedudukan setara di hadapan Tuhan menunggu perhitungan kehidupan di dunia.
Panas terik yang menyengat serta menggerogoti kemampuan fisik manusia menjadi simbol semua manusia kepayahan dengan dirinya.
Setiap individu berusaha menyelamatkan diri masing-masing agar tetap mampu bertahan. Seringkali suami tak berdaya ketika istrinya terpisah.
Demikian pula sebaliknya. Manusia hanya dapat pasrah menunggu agar yang terpisah kembali dengan selamat sendiri atau dibantu jamaah maupun petugas.
Usia muda
Pada konteks Indonesia, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah memprogramkan jamaah untuk memenuhi syarat isthita'ah kesehatan (mampu secara kesehatan) sebelum melunasi pembayaran haji, bukan sebaliknya.
Pemerintah juga mulai mengkampanyekan berhaji di usia muda. Dengan program tersebut pemerintah berikhtiar agar secara fisik jamaah haji mampu melewati seluruh rangkaian haji dengan baik sehingga layak diapresiasi.
Di Arafah dan Mina pemerintah juga telah berinovasi dengan menyiapkan tenda dengan pengatur suhu ruangan agar jamaah lebih terlindung dari sengatan matahari. Kelelahan terutama bagi yang lanjut usia tentu masih terasa karena tidak dapat dihindarkan.
Di balik kelelahan itu, menurut Ali Syari'ati, pergerakan dari tiga tempat yaitu Arafah, Muzdalifah, dan Mina adalah simbol dari pengetahuan, kesadaran, dan cinta.
Rangkaian ibadah haji menjadi drama pertunjukan dengan tokohnya adalah setiap individu yang berhaji dengan memerankan lakon Ibrahim, Ismail, Hajar, bahkan Adam dan Hawa.
Momen melempar jumrah pada tiga tempat di jamarat pada ritual haji juga merupakan simbol melawan syetan dan hawa nafsu seperti yang dilakukan oleh Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail. Lemparan tujuh kali dilakukan Nabi Ibrahim pada jumrah ula (lemparan pertama) yang mengusir syetan penggoda yang mencegahnya mengurbankan Ismail.
Lemparan tujuh kali juga dilakukan oleh Siti Hajar yang kemudian disimbolkan pada jumrah wustha (lemparan kedua atau tengah) karena istri Ibrahim tersebut juga digoda syetan setelah gagal menggoda Ibrahim. Sementara jumrah aqabah (lemparan ketiga) dilakukan Ismail yang sedari awal telah bertekad siap dikurbankan karena Allah.
Pada masa kini, target lemparan tersebut ditujukan pada tiga tiang pipih yang berjejer agak berjauhan di lantai dasar, lantai dua, dan lantai tiga. Di dasar tiang dibuat piringan berbentuk lonjong untuk menampung batu-batu yang dilemparkan.
Pada 10 Dzulhijjah jamaah hanya melempar jumrah aqabah dengan batu sebanyak 7 kali. Pada 11, 12, dan 13 Dzulhijjah jamaah melempar jumrah ula, jumrah wustha, dan jumrah aqabah setiap hari masing-masing 7 kali.
Di era modern, menurut Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dr. Thoat Stiawan, pergerakan Armuzna masih merupakan titik kritis pada rangkaian ibadah haji dengan resiko tinggi karena membutuhkan fisik prima dan kesadaran penuh.
Di Mina risiko semakin tinggi ketika momen melempar jumrah aqobah pada lemparan di 10 Dzulhijjah. Rute dari Mina ke Jamarat lalu kembali ke Mina seperti rute buta karena memiliki 3 jalur: lantai dasar, lantai dua, dan lantai tiga dengan pangkal dan ujung yang berbeda-beda.
Usai melempar jumrah banyak jamaah bingung kembali ke tenda di Mina sebagai tempat pulang. Pelempar di jalur lantai tiga keliru arah malah turun ke lantai dasar sehingga bingung ketika kembali.
Momen ini seperti sebuah pertunjukan manusia di dunia yang kebingungan mencari arah yang benar menuju pulang (perjuangan mencari kebenaran). Individu satu terpisah dari rombongan, bahkan rombongan juga kebingungan menuju kembali. Setiap individu dapat saja keliru arah atau tersesat, tetapi sesungguhnya semua yang hadir di Jamarat sedang merindu kembali.
Tentu para petugas yang mengetahui arah kemudian mengarahkan, menunjukkan arah, bahkan seringkali ikut mengantarkan pulang kembali ke tenda dengan penuh welas asih karena sadar ketidaktahuan jamaah arah pulang.
Hal itu bagaikan sebuah simbol bahwa dalam kehidupan sehari-hari di tanah air para guru, ustadz, pendakwah, harus menjadi penunjuk arah bagi umatnya dengan penuh welas asih.
Di masa depan penunjuk arah bagi para jamaah dapat terus berkembang dengan berbagai inovasi.
Demikian pula penempatan pos jaga petugas haji Indonesia dan pos kesehatan dapat dikoordinasikan Pemerintah Indonesia dengan tentara dan polisi Arab Saudi sehingga dapat berjaga bersama-sama. Tentu dibutuhkan upaya diplomasi yang lebih kuat segenap pihak untuk mewujudkan hal tersebut.
Rangkaian ibadah haji memang penuh simbol yang tetap terbuka dengan inovasi, teknologi dan sistem. Dengan cara itu ibadah haji semakin nyaman sekaligus bermakna.
*) Penulis adalah PPIH Arab Saudi 2024; Anggota Majelis Amanah DPP GEMA Mathla'ul Anwar.
**) Editor: Slamet Hadi Purnomo