Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi) mengungkap alasan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Sejumlah pasal terkait pelarangan penjualan produk tembakau dalam peraturan tersebut dinilai mengancam keberlangsungan usaha pedagang pasar.
Ketua Umum Aparsi Suhendro dalam keterangan di Jakarta, Jumat, menyatakan, penerbitan PP Kesehatan itu akan mengancam keberlangsungan hidup 9 juta pedagang di pasar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia.
Salah satu pasal yang akan diberlakukan, yaitu larangan menjual rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain serta larangan menjual rokok secara eceran yang dinilai masih sangat rancu untuk diberlakukan.
"Kami menolak keras dua larangan ini karena beberapa faktor. Salah satunya karena banyak pasar yang berdekatan dengan sekolah, institusi pendidikan atau fasilitas bermain anak. Peraturan ini juga dapat menurunkan omzet pedagang pasar yang banyak berasal dari penjualan produk tembakau. Hal ini akan menimbulkan permasalahan baru bagi kami sebagai pelaku usaha," ungkapnya.
Dengan kondisi tersebut, Suhendro menganggap larangan terhadap produk tembakau yang ditegaskan dalam PP Kesehatan itu dapat menekan pertumbuhan ekonomi pedagang pasar yang sampai saat ini masih baru bertumbuh dari imbas pandemi beberapa tahun sebelumnya.
"Jika aturan ini diberlakukan, kami telah menghitung penurunan omzet usaha sebesar 20-30 persen, bahkan sampai pada ancaman penutupan usaha karena komoditas ini menjadi penyumbang omzet terbesar bagi teman-teman pedagang pasar," tuturnya.
Sebelumnya, Suhendro telah menyuarakan penolakannya bersama dengan Persatuan Pedagang Kelontong Sumenep Indonesia (PPKSI) yang meminta agar pemerintah menghapuskan larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
"Kalau melihat kondisi di lapangan saat ini, aturan ini sama saja ingin mematikan usaha perdagangan rakyat. Jika diterbitkan, maka rantai pasok antara pedagang grosir pasar dengan pedagang kelontong bisa rusak akibat regulasi yang tidak berimbang tersebut," ujar dia dalam keterangan resminya pada konferensi pers APARSI dan PPKSI beberapa Waktu lalu.
Oleh sebab itu, Suhendro mewakili Aparsi mengambil sikap untuk menolak adanya pemberlakuan PP Kesehatan Nomor 28/2024 yang dinilai mendiskreditkan usaha pedagang pasar.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 terkait kesehatan yang mengatur larangan penjualan produk tembakau (rokok) secara eceran satuan per batang, kecuali cerutu atau rokok elektronik.
Ketentuan itu tertera dalam pasal 434 ayat (1) poin c dalam PP tersebut, sebagaimana salinan PP yang dilihat dalam laman jdih.setneg.go.id.
Dalam pasal 434 tertulis Ayat (1) setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik, jika poin (a) disebutkan menggunakan mesin layan diri, poin (b) kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil, (c) secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.
Sedangkan poin (d) dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui, (e) dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan (f) menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
Sementara pada pasal 434 ayat (2), ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f bagi jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dikecualikan jika terdapat verifikasi umur.
Sejumlah pasal terkait pelarangan penjualan produk tembakau dalam peraturan tersebut dinilai mengancam keberlangsungan usaha pedagang pasar.
Ketua Umum Aparsi Suhendro dalam keterangan di Jakarta, Jumat, menyatakan, penerbitan PP Kesehatan itu akan mengancam keberlangsungan hidup 9 juta pedagang di pasar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia.
Salah satu pasal yang akan diberlakukan, yaitu larangan menjual rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain serta larangan menjual rokok secara eceran yang dinilai masih sangat rancu untuk diberlakukan.
"Kami menolak keras dua larangan ini karena beberapa faktor. Salah satunya karena banyak pasar yang berdekatan dengan sekolah, institusi pendidikan atau fasilitas bermain anak. Peraturan ini juga dapat menurunkan omzet pedagang pasar yang banyak berasal dari penjualan produk tembakau. Hal ini akan menimbulkan permasalahan baru bagi kami sebagai pelaku usaha," ungkapnya.
Dengan kondisi tersebut, Suhendro menganggap larangan terhadap produk tembakau yang ditegaskan dalam PP Kesehatan itu dapat menekan pertumbuhan ekonomi pedagang pasar yang sampai saat ini masih baru bertumbuh dari imbas pandemi beberapa tahun sebelumnya.
"Jika aturan ini diberlakukan, kami telah menghitung penurunan omzet usaha sebesar 20-30 persen, bahkan sampai pada ancaman penutupan usaha karena komoditas ini menjadi penyumbang omzet terbesar bagi teman-teman pedagang pasar," tuturnya.
Sebelumnya, Suhendro telah menyuarakan penolakannya bersama dengan Persatuan Pedagang Kelontong Sumenep Indonesia (PPKSI) yang meminta agar pemerintah menghapuskan larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
"Kalau melihat kondisi di lapangan saat ini, aturan ini sama saja ingin mematikan usaha perdagangan rakyat. Jika diterbitkan, maka rantai pasok antara pedagang grosir pasar dengan pedagang kelontong bisa rusak akibat regulasi yang tidak berimbang tersebut," ujar dia dalam keterangan resminya pada konferensi pers APARSI dan PPKSI beberapa Waktu lalu.
Oleh sebab itu, Suhendro mewakili Aparsi mengambil sikap untuk menolak adanya pemberlakuan PP Kesehatan Nomor 28/2024 yang dinilai mendiskreditkan usaha pedagang pasar.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 terkait kesehatan yang mengatur larangan penjualan produk tembakau (rokok) secara eceran satuan per batang, kecuali cerutu atau rokok elektronik.
Ketentuan itu tertera dalam pasal 434 ayat (1) poin c dalam PP tersebut, sebagaimana salinan PP yang dilihat dalam laman jdih.setneg.go.id.
Dalam pasal 434 tertulis Ayat (1) setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik, jika poin (a) disebutkan menggunakan mesin layan diri, poin (b) kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil, (c) secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.
Sedangkan poin (d) dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui, (e) dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan (f) menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
Sementara pada pasal 434 ayat (2), ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f bagi jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dikecualikan jika terdapat verifikasi umur.