Ambon (ANTARA Sulsel) - Kota Ambon yang menjadi ibukota Provinsi Maluku memiliki slogan sebagai "Ambon Manise", yang artinya Ambon manis. Memaknai "manise" ini, tercermin dari penduduknya yang ramah-tamah dan masih menjunjung nilai budaya "pela gandong" dan pemandangan alamnya yang mempesona.

Kondisi itu sempat diguncang kerusuhan sosial bermotif SARA antara tahun 1996-2002. Namun, sekarang Ambon Manise sudah berbenah diri menjadi kota yang lebih maju dan dilirik sebagai kota internasional di Kawasan Indonesia Timur (KTI).

Seiring dengan perjalan waktu, upaya untuk membangkitkan masyarakat Ambon dari keterpurukan pun terus dilakukan oleh pemerintah, baik melalui program khusus maupun umum dalam memberikan perlindungan sosial.

Perlindungan sosial adalah paket kebijakan negara yang harus mencakup seluruh warga negara sejak berada dalam kandungan hingga meninggal. Sebagai bagian dari kebijakan, perlindungan sosial harus diorganisir oleh negara. Pada kasus negara maju, perlindungan sosial dijamin sejak ibu hamil dan bayi dalam kandungan karena negara ingin memastikan lahirnya generasi yang lebih baik.

Perlindungan sosial adalah hak warga negara. Atas dasar itulah, warga berhak menagih dan meminta pertanggungjawaban penyelenggara negara bilamana hak ini tidak dipenuhi. Untuk menagih hak atas perlindungan sosial, warga dapat melihatnya dari tiga sisi, yakni sisi akses, kuantitas, dan kualitas.

Dengan demikian, perlindungan sosial dapat menjadi alat tagih yang sah untuk menagih berbagai aspek pelayanan kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja, perlindungan anak, juga jaminan sosial bagi keluarga miskin. Perlindungan sosial juga dapat menjadi alat untuk mengukur keseriusan negara kepada daerah.

Mencermati hal tersebut, maka kelompok konstituen di 25 desa/negeri dari lima kecamatan di Kota Ambon pun terbentuk yang lahir dari kesadaran kolektif setelah mendapatkan sosialisasi, advokasi dan pendampingan dari lembaga yang fokus pada isu perempuan dan anak "Arika Mahina".

"Pendirian Arika Mahina pada 8 Oktober 2002, dilatarbelakangi oleh banyaknya korban konflik sosial yang sebagian besar adalah perempuan dan anak, sehingga saya dan teman-teman pendiri lainnya terketuk hatinya untuk membantu mereka," kata Direktur Yayasan Arika Mahina, Ina Soselisa.

Setelah kondisi di Kota Ambon normal kembali, berbagai program perlindungan sosial pun turun ke "ambon manise" sebagai penjabaran program pemerintah pusat di daerah. Mulai dari program bantuan beras untuk masyarakat miskin (Raskin) hingga Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang kemudian beralih menjadi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dibawah operasional Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS).

Perlindungan sosial sudah tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1 - 3 dan pasal 32 ayat 1 - 2, kemudian diperkuat dengan Undang-Udang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, juga Kepmen dari kementerian terkait dan Perda di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hanya saja di lapangan yang tertulis diatas kertas tidak selamanya sesuai alias tepat sasaran.

Hal itulah yang dialami sebagian warga dari lima kecamatan di Kota Ambon yakni Kecamatan Nusaniwe, Sirimau, Leitimur Selatan, Baguala dan Kecamatan Teluk Ambon. Sudah menjadi persoalan umum yang dihadapi hampir seluruh daerah di Indonesia, warga yang layak menerima Raskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT) ataupun BPJS masih ada yang luput dari pendataan pemerintah.

Kondisi tersebut masih terjadi di Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon. Menurut Sekretaris Kelompok Konstituen "Kole-Kole", Noni Soleman, dari sekitar 100 Kepala Keluarga (KK) di desa itu, masih ada sekitar 20 persen diantaranya yang belum mendapatkan jatah Raskin.

Hal itu dipicu karena data kelompok sasaran yang dikeluarkan pihak Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap perubahan data yang terjadi di lapangan. Bahkan justru jatah Raskin mengalami pengurangan.

"Saat kami bertanya pada staf desa, katanya sudah dimasukkan nama-nama yang layak menerima Raskin, namun ketika ada pengumuman jatah Raskin banyak yang tidak masuk namanya sebagai penerima Raskin," katanya.

Kondisi yang tidak sinkron juga terjadi pada data penerima layanan kesehatan untuk Program Jamkesmas. Terdapat warga yang masuk dalam daftar penerima Raskin, namun tidak masuk dalam daftar penerima Jamkesmas atau peralihannya ke JKN, begitu pula sebaliknya tercatat sebagai penerima layanan Jamkesmas, namun tidak menerima jatah Raskin yang tercatat 25 kilogram per rumah tangga per bulan.

Persoalan serupa juga terjadi di empat kecamatan lainnya di Kota Ambon. Menurut warga Negeri Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon Graesye Nunumete yang juga aktif dalam Kelompok Konstituen "Panggayo", ketidaksinronan data untuk perlindungan sosial ini membuat masyarakat bingung dan bahkan dapat menjadi apatis terhadap program pemerintah.

"Karena itu, agar persoalan tersebut tidak berlarut-larut, maka perlu ada yang menjembatani antara pemerintah dan masyarakat. Itulah yang kemudian mengisiasi KK Panggayo terbentuk," kata Graesye.

Menurut pendiri PAUD Mata Air di Negeri Amahusu ini, jaminan sosial dalam bentuk pemberian jatah Raskin ataupun layanan kesehatan gratis, tidak selamanya dapat menjangkau kelompok sasaran yang layak dan tepat.

Hal itu disebabkan imbuh Willem Joseph dari Kelompok Konstituen "Gosepa", Negeri Galala, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon karena kurangnya koordinasi dalam pendataan, termasuk tidak adanya indikator atau sistem data satu pintu, sehingga data sejumlah instansi terkait dengan pelindungan sosial berbeda-beda.

Problematika KDRT

Selain persoalan layanan sosial dan kesehatan yang menonjol di Kota Ambon, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga menjadi perhatian khusus bagi Arika Mahina dengan 25 kelompok konstituen yang tersebar di lima kecamatan di Kota Ambon.

Dari hasil laporan dari kelompok konstituen diketahui, rata-rata hampir 20 persen dari jumlah penduduk di masing-masing desa/negeri mengalami KDRT, namun hanya segelintir yang melaporkan kasus itu ke lembaga hukum dengan berbagai alasan seperti kasus KDRT dianggap aib keluarga, sehingga harus ditutupi atau takut melaporkan karena mendapat ancaman.

Latar belakang itulah yang kemudian menyebabkan jumlah kasus KDRT yang dilaporkan hanya dapat dihitung jari. Hal itu terpapar dari hasil pantauan Arika Mahina di Mapolda, Polres, Polsek, Pengadilan dan personil polisi.

Menurut SPO MAMPU Arika Mahina Jemi R Talakua, pada kwartal pertama 2014, hanya ada dua kasus KDRT, tiga kasus pemerkosaan, delapan kasus pencabulan, masing-masing dua kasus pembunuhan dan penganiayaan.

Mengenai masih enggannya mengangkat kasus KDRT di ranah hukum formal ini, Claudia F Parera dari kelompok konstituen "Marawai", Desa Hatalai, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon mengatakan, puluhan perempuan di desanya mendapatkan pelakuan KDRT secara berulang.

Dengan terbentuknya kelompok konstituen di desanya itu, maka sejumlah permasalahan di lapangan baik mengenai perlindungan sosial maupun KDRT dapat dibicarakan bersama dan mencari solusinya. Sebagai gambaran, jika muncul persoalan Raskin dan Jamkesmas, maka kelompok konstituen yang menjembatani antara masyarakat dengan SKPD terkait dan legislator dari wilayah pemilihan (Dapil).

"Dari identifikasi kasus KDRT di lapangan diketahui, diketahui salah satu pemicunya karena minuman keras (miras) dan judi, sehingga pada saat suami dalam kondisi mabuk dan kalah judi, cenderung melampiaskan kekesalannya pada isteri yang mungkin hanya disebabkan persoalan kecil saat tiba di rumah," tutur Claudia yang akrab disapa Ika.

Selain itu, lanjut ibu dari empat putri ini, kasus KDRT juga dapat dipicu oleh posisi tawar perempuan yang rendah, karena perempuan pedesaan tidak memiliki pendidikan tinggi atau akses keluar desa untuk bekerja, sehingga akhirnya suami memposisikan dirinya dengan "full power" dan isteri tidak diberi kepercayaan mengatur keuangan rumah tangga.

Sementara itu, Ketua Kelompok Konstituen "Ina Tuny" Kelurahan Waihoka, Kecamatan Sirimau John Erlely yang juga sebagai Ketua RT 00/RW 04 mengakui, selalu menjadi tempat pengaduan bagi warga yang menghadapi kasus perlindungan sosial ataupun KDRT.

Karena itu, kelompok konstituen yang dipimpinnya selain menjadi jembatan yang mempertemukan masyarakat dengan para pihak (stakeholder), juga berusaha mempertemukan kelompok masyarakat dan tokoh agama dengan dualisme keyakinan yakni kelompok Emmanuel dan Petra.

"Kedua kelompok ini selalu dilibatkan setiap ada persoalan dan pencarian solusi. Semua akan menyatu dalam semangat pela gandong, tanpa mempersoalkan perbedaan suku dan agama," ujarnya.

Dengan dukungan peningkatan kapasitas kelembagaan dari mitra pembina Arika Mahina bersama MAMPU BaKTI, kini 25 kelompok konstituen yang sudah terbentuk di Kota Ambon mengakui, sudah mampu menyampaikan persoalan yang dihadapi di lapangan melalui forum yang menjembatani masyarakat, SKPD dan legislator. Termasuk meminta pertanggung jawaban pada pengambil kebijakan dan pelaksana pemerintahan, ketika perlidungan sosial yang dinanti-nantikan tak kunjung datang. Zita Meirina

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024