Makassar (ANTARA) - Yayasan Roman Celebes (YRC) Indonesia menghadirkan ladang garam bagi masyarakat di Pulau Sapuka Kecamatan Liukang Tangaya Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Provinsi Sulawesi Selatan.
"Kami melihat ada potensi pembuatan garam di Pulau Sapuka, karena penduduknya menjadikan garam sebagai bahan baku pengawet ikan dan teripang, makanya dibuatkan. Alasan lainnya, harga garam cukup mahal di sana apalagi didatangkan dari luar pulau," kata Penyuluh YRC Indonesia Fatahuddin di Makassar, Kamis.
Dari hasil tangkapan nelayan di pulau terdepan tersebut, kata pria disapa Daeng Bombong ini, cukup tinggi. Sebagai inisiator berinisatif menangkap peluang dengan membuat kelompok tani garam. Upaya ini dapat memberdayakan penduduk memproduksi garam serta menekan biaya nelayan.
Dia menjelaskan, program pembuatan ladan garam yang dibuat YRC Indonesia dimulai sejak Juli 2024, dan sejauh ini telah berhasil. Tercatat ada lima meja/petak dibuat, tiga meja di antaranya memanfaatkan teknologi Geomembran.
Ukuran satu meja yakni 9,80x5,8 meter, dengan total luas lima meja ladang garam tersebut sekitar 400 meter persegi atau sekitar empat are, dari luas keseluruhan satu hektare. Saat ini ladang garam sudah panen tiga kali serta dimanfaatkan penduduk setempat termasuk untuk penyedap rasa.
"Warga senang sekali garamnya berhasil meski hasilnya belum banyak. Kualitas garamnya putih bersih dengan kadar NHCL di atas 96. Rata-rata hasilnya di atas 50 kilogram per petak dan panen cepat sekitar empat hari," katanya.
Praktisi garam ini mengemukakan, pihaknya hanya membimbing dan mengarahkan serta memberikan pengetahuan, selanjutnya masyarakat yang meneruskan. Selain itu, hasil garam di Pulau Sapuka menjadi terbaik ketiga di Sulsel.
"Masyarakat telah merasakan manfaatnya, meski belum dimaksimalkan. Kebutuhan garam di pulau itu biasanya paling sedikit dua ton per dua pekan. Walaupun tidak banyak, paling tidak masyarakat sudah memiliki produksi garam, dan ini pertama di salah satu pulau Pangkep," ujar mantan penyuluh DKP Pangkep ini.
Pembuatan ladang garam tersebut, kata Bombong menambahkan, dari inisiatif dan biaya warga pulau, tanpa bantuan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pangkep.
Produksi garam Pulau Sapuka Kabupaten Pangkep dipamerkan saat workshop perikanan skala kecil berkelanjutan dalam mendukung efektivitas kawasan konservasi Sulsel di Makassar, Sulawesi Selatan. ANTARA/Darwin Fatir.
Direktur Eksekutif YRC Indonesia Awaluddin menyampaikan, selama menjalankan program keselarasan pola pemanfaatan, konservasi, dan perdagangan teripang skala kecil di Pulau Sapuka disingkat 'Konsepsi Tangaya Project' didukung perkumpulan Burung Indonesia melalui program Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) sejak pertengahan 2021 hingga Juli 2024, telah banyak yang dihasilkan.
"Selain pendataan spesies teripang, kita juga menginisiasi pembuatan garam di Pulau Sapuka sejak Juli 2024. Hasilnya sudah 400 kilogram garam selama tiga kali panen. Meskipun hasilnya tidak banyak, tapi warga pulau sudah menikmati," katanya.
Dengan hadirnya produksi garam di Pulau Sapuka, tentu menjadi pioneer bagi pulau-pulau lain. Selain itu, kualitas garam yang dihasilkan sangat baik dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian penduduk pulau setempat.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pangkep Amril mengapresiasi hadirnya produksi garam di Pulau Sapuka. Meski demikian, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena keterbatasan kewenangan dan anggaran dari DKP Provinsi maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Tentu ini sangat baik untuk dikembangkan. Ke depan kita akan mencari cara mengembangkannya di pulau-pulau lain salah satunya membantu penyediaan alat Geomembran agar hasil garam bisa dimaksimalkan guna meningkatkan perekonomian warga pulau," katanya.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: YRC Indonesia hadirkan ladang garam di Pulau Sapuka Sulsel
"Kami melihat ada potensi pembuatan garam di Pulau Sapuka, karena penduduknya menjadikan garam sebagai bahan baku pengawet ikan dan teripang, makanya dibuatkan. Alasan lainnya, harga garam cukup mahal di sana apalagi didatangkan dari luar pulau," kata Penyuluh YRC Indonesia Fatahuddin di Makassar, Kamis.
Dari hasil tangkapan nelayan di pulau terdepan tersebut, kata pria disapa Daeng Bombong ini, cukup tinggi. Sebagai inisiator berinisatif menangkap peluang dengan membuat kelompok tani garam. Upaya ini dapat memberdayakan penduduk memproduksi garam serta menekan biaya nelayan.
Dia menjelaskan, program pembuatan ladan garam yang dibuat YRC Indonesia dimulai sejak Juli 2024, dan sejauh ini telah berhasil. Tercatat ada lima meja/petak dibuat, tiga meja di antaranya memanfaatkan teknologi Geomembran.
Ukuran satu meja yakni 9,80x5,8 meter, dengan total luas lima meja ladang garam tersebut sekitar 400 meter persegi atau sekitar empat are, dari luas keseluruhan satu hektare. Saat ini ladang garam sudah panen tiga kali serta dimanfaatkan penduduk setempat termasuk untuk penyedap rasa.
"Warga senang sekali garamnya berhasil meski hasilnya belum banyak. Kualitas garamnya putih bersih dengan kadar NHCL di atas 96. Rata-rata hasilnya di atas 50 kilogram per petak dan panen cepat sekitar empat hari," katanya.
Praktisi garam ini mengemukakan, pihaknya hanya membimbing dan mengarahkan serta memberikan pengetahuan, selanjutnya masyarakat yang meneruskan. Selain itu, hasil garam di Pulau Sapuka menjadi terbaik ketiga di Sulsel.
"Masyarakat telah merasakan manfaatnya, meski belum dimaksimalkan. Kebutuhan garam di pulau itu biasanya paling sedikit dua ton per dua pekan. Walaupun tidak banyak, paling tidak masyarakat sudah memiliki produksi garam, dan ini pertama di salah satu pulau Pangkep," ujar mantan penyuluh DKP Pangkep ini.
Pembuatan ladang garam tersebut, kata Bombong menambahkan, dari inisiatif dan biaya warga pulau, tanpa bantuan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pangkep.
Direktur Eksekutif YRC Indonesia Awaluddin menyampaikan, selama menjalankan program keselarasan pola pemanfaatan, konservasi, dan perdagangan teripang skala kecil di Pulau Sapuka disingkat 'Konsepsi Tangaya Project' didukung perkumpulan Burung Indonesia melalui program Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) sejak pertengahan 2021 hingga Juli 2024, telah banyak yang dihasilkan.
"Selain pendataan spesies teripang, kita juga menginisiasi pembuatan garam di Pulau Sapuka sejak Juli 2024. Hasilnya sudah 400 kilogram garam selama tiga kali panen. Meskipun hasilnya tidak banyak, tapi warga pulau sudah menikmati," katanya.
Dengan hadirnya produksi garam di Pulau Sapuka, tentu menjadi pioneer bagi pulau-pulau lain. Selain itu, kualitas garam yang dihasilkan sangat baik dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian penduduk pulau setempat.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pangkep Amril mengapresiasi hadirnya produksi garam di Pulau Sapuka. Meski demikian, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena keterbatasan kewenangan dan anggaran dari DKP Provinsi maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Tentu ini sangat baik untuk dikembangkan. Ke depan kita akan mencari cara mengembangkannya di pulau-pulau lain salah satunya membantu penyediaan alat Geomembran agar hasil garam bisa dimaksimalkan guna meningkatkan perekonomian warga pulau," katanya.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: YRC Indonesia hadirkan ladang garam di Pulau Sapuka Sulsel