Makassar (ANTARA) - Jajaran Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan mengingatkan para pasangan calon peserta Pilkada 2024 agar tidak melakukan kampanye hitam selama masa kampanye karena hal itu berkonsekuensi pada ancaman hukuman penjara.
"Black campaign atau kampanye hitam itu bisa masuk ranah pidana karena ditangani Sentra Gakkumdu. Prosesnya itu cepat sampai 14 hari, penuntutan tiga hari kerja sampai ditetapkan P21 (rampung)," kata Kanit 1 Subdit 5 Direktorat Kriminal Khusus Polda Sulsel Kompol Boby Rachman di Makassar, Selasa.
Ia menjelaskan hal itu saat diskusi publik diselenggarakan Mafindo Makassar dengan tema 'Buzzer dan Black Campaign di Media Sosial Jelang Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati, Wali Kota' di Makassar.
Boby pun menegaskan bahwa pelanggaran kampanye hitam memang tidak diatur secara ekspilisit dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Aturannya di pasal 69 huruf b yakni menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik.
Dan huruf c disebutkan, melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat. Saksinya di pasal 187 ayat 2 pidana penjara minimal 3 bulan dan maksimal 18 bulan dan denda Rp600 ribu hingga Rp6 juta.
Sedangkan di aturan lain, pasal 280 ayat 1 Undang-undang Pemilu mengatur tentang larangan dalam kampanye disebutkan huruf c menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain, dan huruf d menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
Di pasal ini juga mengatur bahwa tindakan tersebut bisa dikenakan sanksi pidana maksimal 2 tahun penjara dan dikenakan denda maksimal Rp24 juta.
Aturan lainnya di Pasal 28 juncto pasal 45A Undang-Undang nomor 1 tahun 2024 tentang ITE disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja mendistribusikan atau mentransmisikan informasi bohong melalui media elektronik dapat dipidana maksimal 6 tahun penjara serta denda maksimal Rp1 miliar.
Menanggapi hal tersebut, Anggota KPU Sulsel Romy Harminto, potensi pelanggaran kampanye hitam pasti ada, terutama di media sosial dengan para pelakunya adalah para buzzer bertindak menyebar informasi hoaks untuk menguntungkan paslon lain tanpa harus diverifikasi.
Beberapa dugaan kasus yang terjadi di media sosial melalui penyebaran informasi palsu mengenai paslon tertentu, manipulasi data pemilih, berita ada suara sudah tercoblos, termasuk tudingan penyelenggara berpihak pada salah satu paslon.
"Kami menghimbau bila masyarakat menemukan hal semacam itu segera laporkan ke Bawaslu karena sudah disiapkan poskonya. Apalagi pelanggaran kampanye hitam itu juga melibatkan isu SARA perlu dihindari karena bisa memicu konflik perpecahan," kata mantan Komisioner KPU Makassar ini.
Hal senada disampaikan Ketua Bawaslu Sulsel Mardiana Rusli menyebut media sosial turut berperan dalam penyebaran informasi, baik itu asli atau palsu saat masa Pilkada. Bahkan dampaknya penyelenggara dituding tidak netral bahkan diuduh ikut berpihak pada salah satu paslon tanpa ada dasar yang jelas.
Kegiatan tersebut juga dihadiri Presidium Mafindo Indonesia Jumrana serta perwakilan dari sejumlah perwakilan organisasi Pers, jurnalis dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
"Black campaign atau kampanye hitam itu bisa masuk ranah pidana karena ditangani Sentra Gakkumdu. Prosesnya itu cepat sampai 14 hari, penuntutan tiga hari kerja sampai ditetapkan P21 (rampung)," kata Kanit 1 Subdit 5 Direktorat Kriminal Khusus Polda Sulsel Kompol Boby Rachman di Makassar, Selasa.
Ia menjelaskan hal itu saat diskusi publik diselenggarakan Mafindo Makassar dengan tema 'Buzzer dan Black Campaign di Media Sosial Jelang Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati, Wali Kota' di Makassar.
Boby pun menegaskan bahwa pelanggaran kampanye hitam memang tidak diatur secara ekspilisit dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Aturannya di pasal 69 huruf b yakni menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik.
Dan huruf c disebutkan, melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat. Saksinya di pasal 187 ayat 2 pidana penjara minimal 3 bulan dan maksimal 18 bulan dan denda Rp600 ribu hingga Rp6 juta.
Sedangkan di aturan lain, pasal 280 ayat 1 Undang-undang Pemilu mengatur tentang larangan dalam kampanye disebutkan huruf c menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain, dan huruf d menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
Di pasal ini juga mengatur bahwa tindakan tersebut bisa dikenakan sanksi pidana maksimal 2 tahun penjara dan dikenakan denda maksimal Rp24 juta.
Aturan lainnya di Pasal 28 juncto pasal 45A Undang-Undang nomor 1 tahun 2024 tentang ITE disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja mendistribusikan atau mentransmisikan informasi bohong melalui media elektronik dapat dipidana maksimal 6 tahun penjara serta denda maksimal Rp1 miliar.
Menanggapi hal tersebut, Anggota KPU Sulsel Romy Harminto, potensi pelanggaran kampanye hitam pasti ada, terutama di media sosial dengan para pelakunya adalah para buzzer bertindak menyebar informasi hoaks untuk menguntungkan paslon lain tanpa harus diverifikasi.
Beberapa dugaan kasus yang terjadi di media sosial melalui penyebaran informasi palsu mengenai paslon tertentu, manipulasi data pemilih, berita ada suara sudah tercoblos, termasuk tudingan penyelenggara berpihak pada salah satu paslon.
"Kami menghimbau bila masyarakat menemukan hal semacam itu segera laporkan ke Bawaslu karena sudah disiapkan poskonya. Apalagi pelanggaran kampanye hitam itu juga melibatkan isu SARA perlu dihindari karena bisa memicu konflik perpecahan," kata mantan Komisioner KPU Makassar ini.
Hal senada disampaikan Ketua Bawaslu Sulsel Mardiana Rusli menyebut media sosial turut berperan dalam penyebaran informasi, baik itu asli atau palsu saat masa Pilkada. Bahkan dampaknya penyelenggara dituding tidak netral bahkan diuduh ikut berpihak pada salah satu paslon tanpa ada dasar yang jelas.
Kegiatan tersebut juga dihadiri Presidium Mafindo Indonesia Jumrana serta perwakilan dari sejumlah perwakilan organisasi Pers, jurnalis dan organisasi masyarakat sipil lainnya.