Jakarta (ANTARA) - Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) memandang kenaikan PPN yang efektif mulai tahun 2025 sebaiknya dibatalkan karena langkah pemerintah yang akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen menuai kritik dari kalangan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Menurut Sekretaris Jenderal SUMU, Ghufron Mustaqim di Jakarta, Jumat, saat ini umumnya perusahaan--banyak di antaranya UMKM--sedang berjuang untuk bertahan (survive) di tengah turunnya daya beli masyarakat dan tidak sedikit pula yang melakukan pengurangan jumlah karyawan atau bahkan bangkrut.
"Kenaikan PPN tersebut tidak sensitif terhadap dinamika dunia usaha saat ini dan malah kontraproduktif terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan di tengah kenaikan angka pengangguran," ujarnya.
Berdasar rilis Bursa Efek Indonesia (IDX) tentang daftar perusahaan LQ45, sambung dia, rasio keuntungan bersih (net profit) dengan pendapatan (revenue) hanya berkisar 11 persen.
Sekretaris Jenderal SUMU, Ghufron Mustaqim saat Kopdarnas di Yogyakarta beberapa waktu lalu. ANTARA Foto/Ho-Dok Pribadi.
"Itu tak jauh berbeda dengan besaran tarif PPN yang akan dikenakan," katanya.
Ghufron menilai, tarif PPN yang lebih rendah akan dapat memutar transaksi penjualan dengan lebih cepat sebab harga-harga produk bisa menjadi lebih kompetitif dan pada gilirannya ini dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan.
Ia mengingatkan, kebijakan yang akan berlaku pada tahun depan itu otomatis menjadikan RI negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN.
Sebagai perbandingan, PPN di Malaysia hanya enam persen. Adapun di Singapura dan Thailand sebesar 7 persen. Kenaikan pajak akan semakin memberatkan beban kalangan pengusaha, termasuk di sektor UMKM.
"Di Vietnam, Kamboja, dan Laos PPN-nya sebesar 10 persen. Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia seharusnya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara bertahap turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat," ucap Wakil Ketua Lembaga Pengembang UMKM Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Serikat Usaha Muhammadiyah minta kenaikan PPN dibatalkan
Menurut Sekretaris Jenderal SUMU, Ghufron Mustaqim di Jakarta, Jumat, saat ini umumnya perusahaan--banyak di antaranya UMKM--sedang berjuang untuk bertahan (survive) di tengah turunnya daya beli masyarakat dan tidak sedikit pula yang melakukan pengurangan jumlah karyawan atau bahkan bangkrut.
"Kenaikan PPN tersebut tidak sensitif terhadap dinamika dunia usaha saat ini dan malah kontraproduktif terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan di tengah kenaikan angka pengangguran," ujarnya.
Berdasar rilis Bursa Efek Indonesia (IDX) tentang daftar perusahaan LQ45, sambung dia, rasio keuntungan bersih (net profit) dengan pendapatan (revenue) hanya berkisar 11 persen.
"Itu tak jauh berbeda dengan besaran tarif PPN yang akan dikenakan," katanya.
Ghufron menilai, tarif PPN yang lebih rendah akan dapat memutar transaksi penjualan dengan lebih cepat sebab harga-harga produk bisa menjadi lebih kompetitif dan pada gilirannya ini dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan.
Ia mengingatkan, kebijakan yang akan berlaku pada tahun depan itu otomatis menjadikan RI negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN.
Sebagai perbandingan, PPN di Malaysia hanya enam persen. Adapun di Singapura dan Thailand sebesar 7 persen. Kenaikan pajak akan semakin memberatkan beban kalangan pengusaha, termasuk di sektor UMKM.
"Di Vietnam, Kamboja, dan Laos PPN-nya sebesar 10 persen. Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia seharusnya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara bertahap turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat," ucap Wakil Ketua Lembaga Pengembang UMKM Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Serikat Usaha Muhammadiyah minta kenaikan PPN dibatalkan