Jayapura (ANTARA Sulsel) - Aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Papua, menilai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) lewat DPRD sama dengan memasung kedaulatan rakyat, karena memilih pemimpin merupakan hak konstitusional seorang warga negara yang dijamin dalam UUD 1945.

"Memilih itu hak asasi manusia yang tidak boleh dikerjakan oleh lembaga perwakilan daerah (DPRD). Jadi pilkada itu selain merupakan sarana kedaulatan rakyat, juga wujud dari penggunaan hak asasi manusia di bidang politik bagi setiap orang," kata Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua Yusak Reba, di Jayapura, Kamis.

Pimpinan Institute Civil for Society Strengthening (ICS) di Papua itu mengatakan, hak asasi bidang politik itu tidak bisa didelegasikan kepada wakilnya atau DPRD sebagai representatif wakil rakyat, karena hal itu melekat pada pribadi setiap orang.

Wakil rakyat baik di pusat atau daerah, kata Yusak, merupakan perwakilan rakyat yang mendapat mandat untuk bertanggung jawab dan berkewajiban menjalankan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat guna bersama pemerintah menjalankan roda pembangunan.

Dengan kata lain wakil rakyat tidak lebih dari pada seorang pesuruhnya rakyat.

"Jadi maknanya wakil rakyat adalah pesuruh rakyat, yang tergabung pada lembaga parlemen untuk bekerja bersama dengan presiden untuk memwujudkan apa yang menjadi harapan di tingkat pusat, dan dengan kepala daerah di provinsi dan kabupaten/kota," katanya.

Oleh karena itu, kata Yusak, dalam pilkada semua orang mempunyai hak yang sama, dan pilkada itu wujud dari kedaulatan rakyat, serta pilkada itu wujud dari pelaksanaan hak asasi manusia di bidang politik.

Dari aspek teoritis, tidak tepat sama sekali jika pilkada oleh wakil rakyat, karena sama dengan memasung hak politik rakyat dan membuat kemunduran demokrasi Indonesia.

"Sampai hari ini reformasi terus menuntut perbaikan demokrasi di Indonesia. Jadi tidak tepat jika kemudian pilkada oleh DPRD, karena rakyat tidak pernah memberikan hak politik secara konstitusional kepada DPRD, tidak ada dalam aturan," katanya.

Yusak menanggapi positif anggapan pihak tertentu bahwa pilkada langsung menimbulkan konflik dan pemborosan anggaran negara.

Namun, yang paling penting adalah menyederhanakan mekanisme prosedur pilkada sehingga tidak membuang uang yang banyak dan tidak menimbulkan konflik.

"Seperti kasus yang terjadi di Papua, ada orang yang harus di tangkap KPK karena berhutang saat mencalonkan diri dalam proses pilkada," katanya.

Dosen Fakultas Hukum Kampus Universitas Cenderawasih itu juga mengakui jika demokrasi dalam pilkada banyak mengorbankan materi dan imateri.

"Kalaupun terjadi konflik itu masa transisi demokrasi, yang semestinya perlu dikaji dalam prespektif antropologi, hukum dan sosial politik, bagaimana karakter masyarakat Indonesia dalam karateristik masing-masing, termasuk di Papua juga harus di kaji lebih mendalam terkait implementasi pilkada," katanya.

Menurut dia, penataan ulang menuju pilkada yang bermartabat yang tidak menimbulkan konflik bagi orang Papua, juga perlu dilakukan.

Namun, juga tidak menimbulkan persoalan-persoalan hukum yang kelak dapat melilit mereka yang akan maju jadi kepala daerah dan tidak terjadi pemborosan uang negara.

"Tetapi jika pilkada melalui DPRD, itu namanya kemunduran demokrasi dan pelanggaran kedaulatan rakyat. Sekarang yang penting adalah bagaimana mendesain ulang mekanisme pilkada supaya tidak terjadi pemborosan keuangan negara, dan agar tidak terjadi konflik," ujar Yusak. Anwar

Pewarta : Alfian Rumagit
Editor :
Copyright © ANTARA 2024