Makassar (ANTARA Sulsel) - Frekuensi penolakan ekspor pala Indonesia khususnya ke Uni Eropa dalam enam bulan terakhir berkurang secara signifikan.

"Biasanya dalam setahun ekspor biji pala kita ditolak 15 sampai 20 kali, namun dalam enam bulan terakhir ini tidak satupun ekspor kita yang ditolak," kata Kepala Tim "Trade Support Programme (TSP) II" Aditya Nugroho di Makassar, Kamis.

Aditya menjelaskan penolakan umumnya terjadi karena biji pala Indonesia mengandung aflatoksin.

"Sekitar 20 sampai 30 persen biji pala ekspor kita mengandung aflatoksin, dan jika telah terdeteksi mengandung zat tersebut biji pala kita pasti ditolak," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa zat bersifat racun tersebut disebabkan oleh jamur "Aspergillus flavus" yang muncul karena penanganan pasca panen yang tidak tepat.

"Jamur tersebut muncul saat kelembapan tinggi dan penanganan pasca panen yang tidak memperhatikan kebersihan," katanya.

Untuk mengatasi masalah tersebut, lanjutnya, TSP II melakukan upaya pendampingan mulai dari petani hingga eksportir agar biji pala ekpor kita meningkat mutunya, tidak mengandung aflatoksin, dan diterima oleh negara tujuan ekspor.

"Pendampingan kami lakukan dengan melatih petani maupun eksportir bagaimana penanganan pasca panen yang baik, sehingga biji pala kita bebas dari aflatoksin," urainya.

Menurut Aditya upaya pendampingan untuk peningkatan kualitas ekspor pala ini dilakukan karena pihaknya melihat banyaknya petani yang terlibat dalam usaha tani komoditas ini.

"Meskipun hanya berada pada urutan ke-7 ekspor kita, tetapi jumlah petani yang terlibat dalam usaha tani pala mencapai 42.000 orang, sehingga perbaikan ekspor komoditi ini akan berdampak pada banyak orang," jelasnya.

Di Indonesia sentra penanaman pala terdapat di Siau, Sulawesi Utara, dan Maluku, katanya. S Suryatie

Pewarta : Nurhaya J Panga
Editor :
Copyright © ANTARA 2024