Bandung (ANTARA Sulsel) - Negara-negara Uni Eropa (UE)) mempertimbangkan kelapa sawit sebagai sumber biodiesel terbaik untuk mengurangi efek gas rumah kaca (GRK) atau GHG (green house gas).

Peneliti dan analisis dari Khor Report, Khor Lu Leng mengemukakan hal itu di Bandung, Jumat, pada Konferensi Kelapa Sawit Internasional 2014 (IPOC).

"Meskipun begitu banyak tantangan dan hambatan terhadap industri minyak sawit. Pelaku industri kelapa sawit harus memperhatikan potensi pasar yang luas seperti India dan China," kata Khor Lu Leng.

Dia mengatakan India dan China merupakan pasar yang luas selain 15 persen pasar Eropa dan Amerika Serikat.

Menurut dia, saat keberadaan sawit makin rumit seiring tuntutan "sustainaibility" seperti yang dilakukan melalui Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).

ISCC merupakan sertifikasi sesuai Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa (EU Renewable Energy Directive) dan Arahan Kualitas Bahan bakar (Fuel Quality Directive) yang tercantum dalam undang-undang negara anggota Uni Eropa.

Sementara itu peneliti dari Indonesian Biotechnology Research Institute for Estate Crops, Darmono Tantiwiryono mengatakan peluang yang sangat besar dalam industri kelapa sawit mengharuskan pelaku di industri ini untuk meningkatkan produktivitas.

"Tantangan ini dapat dijawab melalui bioteknologi yaitu penggunaan proses biologi untuk meningkatkan kualitas kelapa sawit. Misalnya melalui proses manipulasi biologi untuk memperbaiki kualitas tanah.

Dengan adanya kualitas tanah yang baik, tingkat kesuburan meningkat dan akhirnya produksi berlipat," katanya.

Untuk menerapkan bioteknologi, ujar dia, perlu memiliki komitmen yang kuat untuk membiayai riset di bidang ini dan pada umumnya riset tersebut memakan biaya yang sangat besar sekitar 1,2 juta dollar AS per tahun.

Menurut dia, pelaku industri kelapa sawit perlu beralih ke penerapan bioteknologi karena beberapa alasan, yakni mengurangi penggunaan bahan kimia sebesar 37 persen, kemudian meningkatkan hasil panen hingga 22 persen.

Selain itu meningkatkan profit petani hingga 68 persen, hasil panen dan profit yang dihasilkan lebih tahan terhadap serangan serangga.

Serta, hasil panen dan profit yang dihasilkan lebih besar di negara berkembang daripada negara maju," katanya. Subagyo

Pewarta : Agus Setiawan
Editor :
Copyright © ANTARA 2024