Makassar (ANTARA Sulsel) - Tahun 2014 menjadi antiklimaks dari kejayaan sejumlah petinggi pemerintahan serta kalangan legislatif di Sulawesi Selatan, terutama Kota Makassar, yang harus ditumbangkan dengan permasalahan hukum seperti tindak pidana korupsi.

Setidaknya ada tiga pejabat tinggi pemerintahan yang harus berurusan dengan hukum, dua orang berstatus mantan kepala daerah atau wali kota serta mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.

Adalah mantan Wali Kota Makassar dua periode Ilham Arief Sirajuddin (IAS), mantan Wali Kota Palopo HPA Tendriajeng dan mantan Sekretaris Daerah Pemprov Sulsel Andi Mullim yang berjibaku dengan institusi dan lembaga negara untuk membuktikan diri tidak bersalah dalam perkara tindak pidana korupsi yang membelit mereka.

Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin selama dua periode pemerintahannya menuai banyak prestasi baik tingkat nasional maupun internasional. Lebih dari 150 penghargaan berhasil diraihnya serta penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di akhir pidato kenegaraannya atas capaian membawa Kota Makassar sejajar dengan kota metropolitan lainnya.

Namun sehari sebelum masa jabatannya dinyatakan berakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi PDAM Makassar yang mengakibatkan kerugian negara lebih dari Rp38 miliar.

Ilham yang pada tanggal 7 Mei 2014, tepat pukul 17.00 Wita saat sedang memimpin geladi bersih serah terima jabatan itu di Anjungan Pantai Losari Makassar langsung dikagetkan status blackberry messenger (BBM) serta pesan berantai mengenai penetapannya sebagai tersangka.

"Saya manusia biasa, sepuluh tahun bersama mereka dan masyarakat, untuk mengubah wajah kota ini, lihatlah, untuk kita semua ini. Saya sangat terharu, agar program kami berlanjut, saya bersyukur ada DIA (Danny-Ical)," ujarnya.

Ia mengatakan, semua yang dilakukannya hanya untuk kota Makassar dan selama menjabat wali kota selama dua periode, perubahan telah terjadi di semua lini termasuk dalam reformasi birokrasi pemerintahan.

Mengenai penetapan status tersangka itu oleh KPK, dirinya mengaku sudah berbuat maksimal dengan adanya transparansi keuangan setelah dirinya membuatkan penandatanganan pakta integritas agar pegawai bisa mempertanggungjawabkan sumpahnya.

Dia menyebutkan jika secara teknis dalam pengelolaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sepenuhnya diserahkan kepada manajemen dan bukannya kepada wali kota karena wali kota hanya berfungsi sebagai pembina.

"Sebelum saya jadi wali kota, PDAM terus merugi, terpuruk. Saat saya jadi wali kota, kita bisa selamatkan PDAM dari keterpurukan. Kerugian bisa dikurangi bahkan sekarang yang ada adalah untung," katanya.

Menurut Ilham yang juga Ketua Demokrat Sulsel itu, air adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, sehingga tidak ada alasan PDAM harus jalan tanpa menggunakan uang negara atau APBD yang memang dianggap rawan.

"Dari dulu saya tidak mau menggunakan dana APBD untuk membiayai perusahaan. Kalau ternyata ada yang salah, selalu saya katakan, saya siap mengikuti prosedur hukum," jelasnya.

Ilham mengaku jika kasus yang menimpanya itu adalah bagian dari konsekuensi dari seorang pejabat publik. Dirinya heran ketika ditetapkan sebagai tersangka karena dalam pelaksanaan kontrak kerja itu tidak menggunakan anggaran daerah.

Karena, menurut dia, yang dilakukannya itu hanya untuk memberikan dan menyelamatkan PDAM dari keterpurukan. Selain itu, memberikan layanan distribusi air yang lebih maksimal kepada masyarakat, namun kemudian jika prosesnya dianggap salah dirinya tidak mengetahuinya.

Sebelumnya, KPK menetapkan Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajuddin sebagai tersangka dugaan kasus tindak pidana korupsi kerja sama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar tahun anggaran 2006-2012.

Pasal yang disangkakan, yakni Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 mengenai perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya dalam jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.

Selain Ilham Arif Sirajuddin, KPK juga menetapkan Direktur Utama PT Traya Tirta Makassar Hengky Widjaja dalam kasus yang sama dan disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1.

Badan Pemeriksa Keuangan pada tanggal 8 November 2012 sudah menyerahkan data hasil audit perusahaan milik Pemkot Makassar itu kepada KPK. Hasil audit tersebut adalah ditemukan potensi kerugian negara dari kerja sama yang dilakukan PDAM dengan pihak swasta hingga mencapai Rp520 miliar.

Keempat perusahaan tersebut adalah PT Traya Tirta Makassar (Rp38,1 miliar), PT Bahana Cipta dalam rangka pengusahaan pengembangan instalasi pengolahan air (IPA) V Somba Opu (Rp455,25 miliar).

Kerja sama dengan PT Multi Engka Utama dalam pengembangan sistem penyediaan air minum atas pengoperasian IPA Maccini Sombala tahun 2012-2036 dengan nilai investasi sebesar Rp69,31 miliar serta kerja sama antara PDAM Makassar dan PT Baruga Asrinusa Development dengan potensi kerugian sebesar Rp2,6 miliar.

Tepat setengah tahun berlalu, Ilham mengaku pasrah dan tetap yakin jika yang dilakukannya bukanlah merupakan sesuatu yang melanggar hukum dan diapun berharap kepada KPK agar segera memproses kasusnya dan menyidangkannya agar kasus yang dialaminya mendapatkan kejelasan hukum.

KPK juga tetap konsisten akan memproses kasus ini dan pada penghujung tahun 2014, tim penyidik KPK telah mengirim tim untuk menggeledah kantor PDAM Makassar demi mencari bukti-bukti pendukung lainnya.

Penyidik KPK yang melakukan penggeledahan selama 15 jam lebih di Kantor PDAM Makassar sedikitnya menyita dua koper dokumen keuangan dan aset lainnya.

Direktur Umum PDAM Makassar, Muh Akbar mengatakan, penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik KPK yang berjumlah sekitar 10 orang itu menyita sejumlah dokumen dari bagian keuangan dan aset.

"Teman-teman melihat sendiri berapa koper dokumen yang disita KPK. Kita tidak tahu apakah koper besarnya itu penuh dokumen atau tidak karena kita tidak mengetahui secara pasti," ujarnya.

Pengacara PDAM Makassar Nasiruddin Pasigai yang juga merupakan pengacara mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin mengatakan jika PDAM telah memberikan akses penuh kepada para penyidik.

"Kita di sini sangat terbuka dan akan senantiasa membantu para penyidik. Penyidik diberikan akses penuh untuk melakukan penggeledahan dan pemeriksaan sejumlah dokumen yang dianggapnya penting," katanya.

Pembuktian Hukum Dengan Vonis Penjara

Mantan Sekretaris Daerah Sulawesi Selatan Andi Muallim yang menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) Pemprov Sulsel senilai Rp8,8 miliar, divonis dua tahun penjara.

Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah dalam dakwaan subsidair dan membebaskannya dalam dakwaan primair. Terdakwa dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda Rp50 juta," tegas Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Muh Damis saat membacakan putusannya.

Terdakwa dinilai bersalah dengan melanggar pasal 3 Jo pasal 18 ayat (1) nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Muh Damis yang didampingi Suharso dan Rostansar itu menilai jika terdakwa tidak melakukan pengawasan penggunaan anggaran pada lingkup Sekretariat Daerah Sulsel pada tahun 2008 untuk jenis belanja bantuan sosial.

Karena belanja bansos dilakukan dengan cara menyimpang dari ketentuan, yaitu ketentuan pasal 133 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang pada pokoknya menegaskan:

Tata cara pemberian dan pertanggungjaaban subsidi, hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan ditetapkan dalam peraturan kepala daerah dan terbukti di persidangan penyaluran dana bansos dilakukan sebelum adanya pergub.

Terdakwa juga tidak menguji kebenaran materil surat-surat pemohon dana bansos yakni 202 lembaga, organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan yayasan yang menjadi penerima dana tersebut.

Diterangkan pula, perbuatan terdakwa yang mengakibatkan pengeluaran beban keuangan daerah pada lingkup sekretariat daerah adalah menandatangani kuitansi pembayaran serta surat perintah membayar (SPM) yang menjadi syarat formil pencairan uang daerah kepada pihak pengaju.

Dengan adanya hal itu, pembayaran dilakukan oleh bendahara pengeluaran yang selanjutnya berakibat pembayaran tersebut telah diterima oleh lembaga, ormas dan yayasan yang tidak jelas keberadaannya atau fiktif.

Adapun penyalahgunaan wewenang yang dilakukan terdakwa menurut jaksa, perbuatan yang dilakukan dengan cara melakukan pembayaran bansos terhadap 202 proposal lembaga yang tidak terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dengan nilai Rp8,8 miliar lebih.

Sebelumnya, dalam kasus itu juga, Sekprov Andi Muallim ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Sulsel karena dianggap bersama-sama dengan Bendahara Pengeluaran Anwar Beddu yang telah divonis dua tahun penjara melakukan upaya melawan hukum dengan cara memperkaya orang lain maupun korporasi.

Penetapan Muallim yang merupakan pamong senior di Sulawesi Selatan bertindak selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) dinilainya turut bertanggungjawab dalam setiap pencairan anggaran dana Bansos yang telah merugikan negara itu.

Sejak kasus ini bergulir di kejaksaan, Anwar Beddu dan Andi Muallim dinilainya telah memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun korporasi yang diperkuat dalam fakta-fakta penyidikan maupun persidangan.

Peranan Muallim yang sebagai kuasa pengguna anggaran itu terbukti telah menyetujui setiap pencairan maupun pemberian dana bantuan sosial kepada lembaga penerima dimana lembaga penerima itu tidak berbadan hukum alias fiktif.

Persetujuan pemberian dana bansos kepada setiap penerima itu dilakukan tanpa didasari verifikasi terhadap 202 lembaga penerima guna memastikan kebenaran dan keberadaan lembaga penerima tersebut.

Andi Muallim yang telah menyetujui semua lembaga penerima itu kemudian langsung diteruskan kepada bendahara dengan mengeluarkan dana bansos tersebut.

Bendahara sendiri saat mencairkan dan menyerahkan kepada 202 lembaga penerima itu dinilai lalai karena tidak melakukan penelitian dan pemeriksaan sehingga merugikan keuangan negara.

Empat Legislator Ditetapkan Tersangka

Sementara itu, empat anggota DPRD ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) Sulsel 2008 yang merugikan keuangan negara Rp8,8 miliar lebih.

"Sejak awal sudah kita katakan akan menuntaskan kasus ini dan berdasarkan fakta-fakta persidangan serta bukti-bukti yang ada, maka kita kembali menetapkan empat orang tersangka baru," tegas Asisten Pidana Khusus Kejati, Gerry Yasid didampingi Kasi Penerangan dan Hukum, Rahman Morra.

Keempat legislator yang ditetapkan, dua di antaranya adalah anggota DPRD Sulsel yakni Abdul Kahar Gani dan Adil Patu serta dua legislator Makassar Mustagfir Sabry serta Mujiburrahman.

Mantan Asisten Intelijen Kejati Aceh itu mengatakan jika penetapan empat tersangka tersebut karena alat bukti sudah cukup dan dinyatakan untuk dilakukan penuntutan.

"Kita masih mendalami Bansos Sulsel. Untuk sementara, baru empat orang yang ditingkatkan ke penyidikan. Keempatnya semua legislator, yakni AP, MJR, MS dan KG. Kemungkinan akan ada tersangka berikutnya. Kasus ini sementara berproses," katanya.

Menurutnya, penetapan keempat tersangka itu bukan karena adanya tekanan atau intervensi dari pihak lain, melainkan karena penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Gerry tidak takut untuk dilakukan pemeriksaan oleh siapapun termasuk dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menurutnya dia sudah melakukan tugasnya dengan profesional dan porposional.

"Saya tidak takut untuk diperiksa. Bukan karena pemberitaan, kita tetapkan tersangka. Hanya semata-mata untuk penegakan hukum. Kita tidak pernah takut untuk diperiksa. Semua anggota kami bekerja. Bahkan sampai jam 10 malam, kami masih kerja. Ini membuktikan kita serius berantas korupsi," jelasnya.

Kepala Bidang Penerangan dan Hukum, Rahman Morra menyatakan, penetapan keempat legislator itu karena sebelumnya terdapat ketidaksesuaian hasil penyidikan dan fakta persidangan yakni salah satunya, pada hasil penyidikan, penyidik hanya menemukan potongan cek atau bonggol cek.

Sementara pada persidangan yang dijadikan sebagai barang bukti adalah lembaran cek yang berhasil disita dari Bank BPD Sulsel. Namun sekarang, tim penyidik berhasil menemukan ratusan cek pencairan oleh keempat orang tersangka itu.

Sebelumnya, dalam kasus itu juga, Sekprov Andi Muallim ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Sulsel karena dianggap bersama-sama dengan Bendahara Pengeluaran Anwar Beddu yang telah divonis dua tahun penjara itu melakukan upaya melawan hukum dengan cara memperkaya orang lain maupun korporasi.

Penetapan Muallim yang merupakan pamong senior di Sulawesi Selatan bertindak selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) dinilainya turut bertanggungjawab dalam setiap pencairan anggaran dana Bansos yang telah merugikan negara itu.

Sejak kasus ini bergulir di kejaksaan, Anwar Beddu dan Andi Muallim dinilainya telah memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun korporasi yang diperkuat dalam fakta-fakta penyidikan maupun persidangan.

Peranan Muallim yang sebagai kuasa pengguna anggaran itu terbukti telah menyetujui setiap pencairan maupun pemberian dana bantuan sosial kepada lembaga penerima dimana lembaga penerima itu tidak berbadan hukum alias fiktif.

Persetujuan pemberian dana bansos kepada setiap penerima itu dilakukan tanpa didasari verifikasi terhadap 202 lembaga penerima guna memastikan kebenaran dan keberadaan lembaga penerima tersebut.

Andi Muallim yang telah menyetujui semua lembaga penerima itu kemudian langsung diteruskan kepada bendahara dengan mengeluarkan dana bansos tersebut.

Bendahara sendiri saat mencairkan dan menyerahkan kepada 202 lembaga penerima itu dinilai lalai karena tidak melakukan penelitian dan pemeriksaan sehingga merugikan keuangan negara.  T Susilo

Pewarta : Muh Hasanuddin
Editor :
Copyright © ANTARA 2024