Makassar (ANTARA Sulsel) - Pengamat sosiologi dari Universitas Teknologi Malaysia Dr Hurriah Ali Hasan mengatakan, pemberian stigma dapat mengikis semangat pluralisme di media, bahkan di kalangan masyarakat.

"Memberikan stigma atau label pada etnis atau suku tertentu dalam pemberitaan media massa, sedapatnya dihindari agar semangat pluralisme atau mengakui perbedaan itu tidak luntur," kata Hurriah di Makassar, Jumat.

Menurut dia, pengakuan adanya perbedaan dan menghormati perbedaan itu merupan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang telah dipatenkan oleh organisasi dunia yakni Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sementara di Indonesia, lanjut dia, pengakuan atas adanya perbedaan suku, agama dan ras itu pun sudah ada payung hukumnya pada psal 29 UUD 1945 dan juga falsafah hidup bangsa "Bhinneka Tunggal Ika".

Berkaitan dengan hal tersebut, dia mengimbau agar para pelaku media untuk tidak memberikan stigma ataupun label yang dapat mendiskreditkan kelompok tertentu.

"Peran media yang salah satunya adalah mendidik, hendaknya menjadi pertimbangan utama jika mempublikasikan suatu berita atau peristiwa," katanya.

Sementara itu, Tokoh masyarakat keturunan Tionghoa di Makassar Yonggris Lao mengatakan, kerap ditemukan pemberitaan yang mengangkat kasus yang mengikutkan etnis, padahal sebenarnya tidak ada kaitan langsung dengan persoalan itu.

"Ke depan, mungkin dapat digagas kesepahaman antara pengelola media dengan komunitas etnis, sehingga tidak ada lagi pemberitaan yang dapat menyulut terjadinya `disharmonitas` di kalangan masyarakat," katanya.

Hal tersebut bercermin dari dua contoh kasus di Kota Makassar yakni era 1980-an dan 1990-an yang menyebabkan terjadinya kerusuhan dan aksi pengganyangan etnis warga keturunan yang awalnya dipicu oleh pemberitaan media massa. Agus Setiawan

Pewarta : Suriani Mappong
Editor :
Copyright © ANTARA 2024