Manado (ANTARA Sulsel) - Pengamat Ekonomi Universitas Sam Ratulangi Manado, Agus Tony Poputra mengatakan, investasi tanpa kajian yang matang serta tidak ditunjang dengan kebijakan pendukung lainnya, justru akan merugikan daerah.

"Usaha pemerintah untuk menarik investasi ke daerah merupakan hal yang dibutuhkan untuk meningkatkan perekonomian daerah serta menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan," kata Agus, di Manado, Senin.

Namun, lanjutnya, pemilihan investasi yang keliru serta tanpa ditunjang oleh kebijakan pendukung justru merugikan daerah itu sendiri.

Dia menjelaskan, kerugian-kerugian yang biasanya muncul yakni pertama, dapat merusak lingkungan dimana memerlukan biaya besar untuk memperbaikinya. Investasi besar yang masuk ke daerah kebanyakan adalah pertambangan dan perkebunan.

Jenis investasi tersebut memiliki korelasi kuat dengan perusakan lingkungan. Tanpa kebijakan pendukung dan pengawasan yang memadai untuk memitigasi dampak lingkungan dari aktivitas keduanya, maka kerusakan lingkungan merupakan suatu keniscayaan. Kondisi ini berpotensi menimbulkan bencana yang akan diderita masyarakat lokal.

Demikian juga, katanya, biaya yang ditanggung untuk menanggulangi bencana dan normalisasi lingkungan bisa jauh lebih besar dari pendapatan yang telah diterima pemerintah dari investor dalam bentuk pajak, royalty, retribusi, dan lain sebagainya.

Kedua, berpotensi menciptakan pengangguran struktural bagi tenaga kerja lokal yang bisa memicu konflik horizontal. Investasi yang masuk ke daerah akan memanfaatkan aset yang dikelola masyarakat. Walaupun masyarakat menerima uang pengganti atas aset tersebut namun mereka akan kehilangan pekerjaan.

Investasi yang masuk dapat saja mensyaratkan ketrampilan yang tidak dimiliki tenaga kerja lokal sehingga lapangan kerja baru yang terbuka akan diisi oleh warga pendatang.

"Banyak fakta lapangan menunjukan situasi seperti itu. Sebagai contoh, pada kegiatan pertambangan, tenaga kerja lokal yang terserap sangat sedikit dan itupun untuk mengisi formasi bawah, seperti satpam dan pekerja kasar. Kondisi ini memicu kecemburuan yang sering menjadi penyebab konflik horizontal," jelasnya.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di daerah tidak tercapai. Pada beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia yang memiliki banyak aktivitas pertambangan justru memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Bahkan sampai kegiatan pertambangan selesai tidak ada kontribusi berarti yang dinikmati daerah dan sekedar menciptakan "daerah-daerah hantu."

"Penyebabnya adalah kebanyakan pasokan untuk aktivitas pertambangan dan kebutuhan pekerja didatangkan dari luar daerah dan dana yang diperoleh perusahaan kebanyakan ditempatkan di pusat atau di luar negeri. Dana yang kembali ke daerah terutama hanya berupa penghasilan untuk pekerja lokal. Ini mengakibatkan dana perusahaan tidak menjadi sumber pembiayaan bagi perbankan di daerah," katanya.

Agus mengusulkan beberapa tindakan dan kebijakan yang perlu diambil pemerintah untuk meminimalkan dampak merugikan dari investasi di daerah.

"Pertama, pemerintah jangan memaksakan diri untuk menarik ataupun menerima investasi dalam bidang pertambangan ataupun perkebunan jika potensi yang dimiliki daerah tidak terlalu besar ataupun berbenturan dengan kegiatan usaha yang telah dilakoni masyarakat ataupun pengusaha lokal. Ini akan mendatangkan mudharat yang lebih besar ketimbangan manfaat bagi daerah. Biarkan itu menjadi warisan bagi anak cucu," jelasnya.

Kedua, katanya, pemerintah perlu membenahi kebijakan dalam bidang perlindungan lingkungan dari aktivitas ekonomi  yang merusak disertai pengawasan yang lebih baik. Di samping itu perlu memperketat perizinan dalam bidang pertambangan termasuk mengevaluasi izin usaha pertambangan yang telah dilimpahkan ke daerah.

Disinyalir pelimpahan wewenang tersebut telah menimbulkan kesulitan dalam mengendalikan aktivitas pertambangan di daerah. Ini mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan tanpa ada pihak yang bertanggung jawab, penggelapan pajak dan royalty, serta tumpang tindih lahan pertambangan dan perambahan wilayah hutan.

Ketiga, perlunya pengembangan lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah yang sesuai dengan sumber daya alam yang dimiliki. Hal ini sangat kritikal agar  lebih banyak masyarakat lokal yang memiliki ketrampilan dan dapat terlibat dalam aktivitas bisnis yang dilakukan investor di daerah.

Dengan demikian, dapat mengurangi pengangguran struktural serta menurunkan angka kemiskinan. Ujungnya dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah serta mengurangi potensi konflik horizontal. Fakta yang ada memperlihatkan bahwa daerah yang kaya sumber daya pertambangan seperti Papua, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi hampir tidak dijumpai sekolah kejuruan, politeknik, maupun balai latihan yang berbasis pertambangan.

Keempat, pemerintah perlu memperkuat pola "inti-plasma" di sub sektor perkebunan, peternakan, dan perikanan. Ini dibutuhkan untuk menyelaraskan kepentingan investor dengan masyarakat agar keberadaan investasi di daerah dapat bermanfaat bagi masyarakat dan mengurangi masalah antara masyarakat dengan perusahaan.  F.C. Kuen

Pewarta : Nancy Lynda Tigauw
Editor :
Copyright © ANTARA 2024